Akad Yang Tak Kuinginkan
Malam itu kantor sudah sepi. Lantai tempat divisi keuangan berada hanya diterangi lampu neon putih pucat yang menyorot meja kerja penuh kertas. Di salah satu sudut, Jingga menahan kantuk. Gadis itu sudah menguap entah berapa kali. Matanya perih, lehernya kaku.
“Ayo, sedikit lagi, Jingga… kalau salah lagi bisa dipotong gaji. Mana cukup bayar listrik sama kontrakan kalau gaji tinggal setengah UMR,” gumamnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Tangannya cekatan mengetik, meski otaknya rasanya sudah seperti bubur. Laporan revisi yang diminta Savero, si bos besar yang terkenal perfeksionis dan jutek, harus selesai malam itu juga.
Jam di dinding berdetik lambat. Jarum panjang sudah melewati angka sebelas. Kantor benar-benar sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan ketikan laptopnya yang terdengar.
Jingga menarik napas lega ketika file terakhir berhasil tersimpan. Ia menutup laptop, merapikan meja.
Tiba-tiba…
Brak!
Pintu lantai terbuka kasar.
Jingga sontak terlonjak. Jantungnya berdetak kencang. Ia buru-buru berdiri, menoleh ke arah pintu.
“Saya udah mau pulang kok, Pak. Maaf kelamaan!” serunya refleks, mengira itu satpam yang patroli.
Namun langkahnya terhenti. Betapa kagetnya ia melihat Savero Pradipta, Direktur Utama, bos besarnya, berdiri di sana. Tubuh pria itu bersandar di dinding, wajahnya kusut, dasinya longgar, kemejanya kusut. Napasnya berat, matanya merah separuh terpejam.
Jingga melongo.
“Pak Bos…?” suaranya ragu.
Savero menggeram rendah, tangannya meraih tembok untuk menopang tubuh. Kepalanya sedikit terhuyung.
“Pak…? Astaga, Bapak mabuk ya?” Jingga spontan menutup hidung. Bau alkohol menyengat tercium.
Ia panik. Harusnya lari saja cari satpam. Tapi sebelum sempat berbalik, tangan Savero tiba-tiba menyambar pergelangan tangannya. Cengkraman kuat meski goyah.
“Tolong… saya…” suaranya serak, nyaris tak jelas. Ia menarik-narik dasinya sendiri, seperti orang sesak nafas.
“Ya ampun… Bapak kenapa sih?” Jingga gelagapan. “Lepasin dulu tangannya, biar saya panggil satpam… “
“Jangan… jangan satpam…” desis Savero, memaksakan langkah.
Jingga bingung setengah mati. Naluri pertamanya ingin kabur. Tapi melihat Savero nyaris roboh, wajahnya pucat, napasnya panas, ia tak tega.
“Aduh… ya udah sini, saya bantu,” gumamnya, setengah mengeluh.
Dengan susah payah, ia memapah Savero menuju ruangan pribadi bos itu yang tak jauh dari sana. Tubuh pria itu berat, bahunya lebar, membuat Jingga hampir terseret.
Begitu sampai, ia merebahkan Savero di sofa.
Pria itu terus menarik dasinya, wajahnya memerah, keringat bercucuran.
“Sesak… panas…” gumamnya.
Jingga ragu. Ia menelan ludah. Tapi rasa iba mengalahkan. Dengan tangan gemetaran, ia membuka dasi dan kancing atas kemeja Savero. Bos yang hari-hari jangankan ia bisa sentuh kancingnya, melihat Savero lewat saja sudah cukup membuat jantung berhenti sebentar.
“Pak, tenang aja… napas pelan-pelan. Ya Tuhan, ribet banget, baru kali ini saya liat Bapak kayak gini,” katanya setengah bergumam, mencoba tetap ceria meski jantungnya berdebar tak karuan.
Namun saat tubuh Savero sedikit tenang, matanya melirik ke arah Jingga yang membungkuk. Pandangan kabur itu menangkap lekuk dada Jingga di balik blus yang longgar.
Dan tiba-tiba…
Dengan tenaga tersisa, Savero menarik tubuh Jingga ke arahnya.
“Pak! Apa-apaan?!” Jingga kaget, berusaha melepaskan diri.
Namun tubuh pria itu besar dan berat. Napas alkohol menyapu wajahnya. Tangan Savero meremas kasar, bibirnya memaksa.
“Lepasin! Jangan! Saya teriak, ya!” Jingga menjerit, tangannya memukul, bahkan mencoba jurus karate seadanya. Tapi cengkraman pria itu terlalu kuat.
Satpam di lantai bawah entah tertidur atau tak mendengar apa-apa. Kantor sunyi, hanya teriakan Jingga yang teredam oleh dinding ruangan.
“Astagaaa! Tolong!!” suaranya pecah.
Savero, dalam mabuknya, tak peduli. Ia menindih, mencabik, memperkosa habis-habisan. Jingga menangis, melawan sekuat tenaga, mencakar punggung pria itu hingga berdarah. Namun semua sia-sia.
Waktu berjalan lambat, seolah malam itu tak ada habisnya. Hingga akhirnya, beberapa jam kemudian, Savero terengah, separuh sadar.
Jingga tergeletak di sofa, tubuhnya hancur, blusnya kusut, rok dan dalamannya bercecer di lantai, hatinya remuk. Air mata mengalir tanpa henti. Ia menatap langit-langit ruangan, napas tersengal, tubuh sakit luar biasa.
Dengan sisa tenaga, ia merapikan diri seadanya, lalu melangkah tertatih keluar. Setiap langkah bagai belati menusuk harga dirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Satu hari setelah petaka itu…
Rumah kontrakan sederhana itu hanya disinari lampu lima watt yang menggantung redup di langit-langit. Lantainya sudah retak-retak, dindingnya kusam, dan sofa tua di ruang tamu tampak usang.
Ketukan keras di pintu mengejutkan keluarga kecil itu. Bu Sari buru-buru melepas celemek dan mengelap tangannya, sementara Pak Adiputra melangkah ke depan dengan wajah waspada.
Begitu pintu dibuka, berdiri tiga orang. Savero, dengan wajah kaku. Di sampingnya, seorang pria paruh baya berwibawa, Panca Pradipta, pemilik Pradipta Group sekaligus ayah Savero. Dan seorang wanita anggun yang wajahnya pucat pasi, ibu Savero.
“Permisi,” suara Panca berat dan dingin.
Pak Adiputra menahan napas, menatap tajam. Melihat tampilan ketiganya ia paham, mereka orang besar. “Ada perlu apa malam-malam begini?”
Panca menunduk sedikit. “Boleh kami masuk?”
Ada jeda sesaat sebelum Pak Adiputra akhirnya menggeser pintu. “Silakan.”
Ketiganya melangkah masuk. Ruangan sempit itu terasa makin padat dengan kehadiran mereka. Panca melirik sofa tua yang sudah sobek di salah satu sisinya. “Boleh kami duduk?” tanyanya singkat.
Pak Adiputra mengangguk kaku. “Silakan.”
Mereka duduk berhadapan, suasana hening menekan sebelum akhirnya Panca membuka suara.
“Kami tidak datang untuk membela Savero,” katanya pelan, tapi tegas. “Dia sudah mengaku. Dia bilang… apa yang terjadi dua malam lalu di kantor. Tentang… pemaksaan yang dilakukan Savero pada Jingga.”
Suasana langsung pecah.
Bu Sari terbelalak, tangannya gemetar, lalu ia menoleh pada Jingga yang baru muncul dari dapur dan syok melihat tamu yang datang. “Nak… benar?” suaranya bergetar, nyaris tak keluar.
Jingga langsung memeluk ibunya, air matanya menetes deras. “Iya, Bu… Dia memperkosa Jingga… Dia menghancurkan Jingga…”
Pak Adiputra berdiri, wajahnya merah padam. Tangannya mengepal keras, urat di leher menegang. “Apa karena anda orang besar, anda merasa berhak melakukan apa saja pada putri kami, hah?” ucapnya, jarinya lalu menunjuk. “Tunggu saja sampai saya lapor polisi!” Desisnya sebelum duduk kembali dan mengusap wajahnya frustasi.
Savero menunduk, tak ada bantahan.
Panca menghela napas, lalu menatap langsung pada Pak Adiputra dan Jingga. “Saya tahu ini tak termaafkan. Tapi melapor polisi hanya akan mempermalukan putrimu sendiri. Percayalah, media akan berisik, orang-orang akan menuding macam-macam. Pada akhirnya yang hancur… Jingga juga.”
Jingga menoleh cepat, suaranya lantang. “Saya korban! Saya enggak salah! Kenapa harus saya yang dipermalukan?!”
Bu Sari terisak, memeluk anaknya erat. “Nak… sabar dulu… mungkin ada jalan lain…”
“Enggak, Bu!” Jingga meronta kecil. “Saya harus lapor polisi! Biar semua tahu apa yang dia lakukan!”
Panca menatap tajam, lalu merogoh saku jasnya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal, meletakkannya di atas meja kayu kecil. Bunyi jatuhnya berat, membuat semua orang terpaku.
“Apa-apaan ini?!” Jingga menatap amplop itu dengan jijik. “Kalian pikir harga diri saya bisa dibayar pakai uang?!”
Panca menatap sekeliling ruangan… cat dinding yang mengelupas, kipas tua yang hampir mati, sofa robek. “Kami hanya ingin sedikit meringankan beban. Kami tahu kalian… orang sederhana.”
Jingga menggeser amplop itu dengan kasar. “Saya bukan barang murahan! Uang kalian enggak akan pernah bisa beli harga diri saya!”
Pak Adiputra menatap amplop itu lama, wajahnya menegang. Tangannya gemetar, lalu perlahan ia menarik amplop itu ke sisinya. Bu Sari menutup wajahnya, menangis.
“Ayah!” Jingga terkejut, suaranya pecah. “Kenapa ayah terima?! Saya enggak butuh uang mereka!”
Suara Pak Adiputra bergetar, tapi tegas. “Kau pikir gampang, Jingga? Lihat rumah kita! Lihat dapur kita! Setengah gajimu saja sudah tak cukup buat makan sebulan. Mau apa? Lawan mereka? Hidup kita digilas habis-habisan?”
Jingga membeku, matanya membesar. Air matanya jatuh semakin deras.
Panca menghela napas lega, lalu menatap mereka dengan sorot mantap. “Satu-satunya jalan keluar adalah pernikahan. Hamil atau tidak hamil, Jingga tetap harus menikah dengan Savero. Itu menjaga nama baik, dan menyelamatkan kalian semua.”
Jingga menggeleng cepat, suaranya lirih tapi penuh perlawanan. “Tidak… Saya enggak mau…”
Namun Bu Sari menggenggam tangannya erat, memohon dengan mata sembab. “Nak… ikuti saja. Ibu mohon… demi kita…”
Pak Adiputra mengangguk kaku, masih menggenggam amplop itu. “Kamu dengarkan ibumu.”
Jingga memandang wajah kedua orang tuanya. Hatinya hancur. Ia ingin menjerit, tapi ia tahu ia tak pernah bisa menolak keinginan mereka.
Akhirnya, dengan suara nyaris patah, ia berbisik, “Baiklah…”
Savero menutup mata, rahangnya mengeras. Ibunya menangis lagi, sementara Panca bersandar ke belakang, lega bercampur kecewa pada anaknya, pada takdir yang membuat anaknya harus menikah bukan dengan perayaan, bukan juga dengan menantu dari kalangan mereka.
Dan malam itu, nasib Jingga sudah diputuskan… dengan paksa.
(Bersambung).
Note: Halo readers tercinta, bagi yang kemarin sudah membaca episode 1, mohon untuk membaca kembali dari awal ya, karena ada perubahan outline episode agar ceritanya berkesinambungan, terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Nuriati Mulian Ani26
aku sangat tertarik kekanjutanya ..keren dari awal ceritanya
2025-10-24
0
Mar lina
aku mampir
2025-10-24
0