Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Tiga Fraksi
Luna baru saja akan membalas pertanyaan heboh Garam saat sebuah suara magis yang diperkuat menggema di seluruh taman, menginterupsi semua percakapan.
"PERHATIAN UNTUK SELURUH SISWA BARU. SEGERA BERKUMPUL DI AULA BARAT UNTUK MENGIKUTI TRADISI PENYAMBUTAN TERAKHIR."
Para siswa saling berpandangan bingung. Garam menggerutu. "Tradisi terakhir? Kupikir pidato tadi sudah yang terakhir. Ini menunda waktu makan siangku."
Namun, Luna tidak mendengar keluhan itu. Jantungnya berdebar kencang karena alasan yang berbeda.
"Ah, ini dia," batinnya. "Ritual Penyambutan, atau tepatnya ujian toleransi kepadatan energi sihir dari si botak gila itu. Event utama di awal permainan. Bagian pertama dari Iselyn dan Delapan Pedang, Labirin Harmonia!"
Ia teringat dengan jelas. Di dalam game, Iselyn, Valen, dan Garam saling menjaga satu sama lain saat teleportasi paksa, memberikan mereka sebuah ikatan pertemanan.
Untuk menjaga alur itu tetap sama dan menghindari kerumitan takdir yang tidak perlu, Luna tahu ia harus memisahkan diri dari Garam sekarang juga.
"Ah, gawat. Aku meninggalkan sesuatu di taman belakang," kata Luna tiba-tiba, suaranya terdengar panik dan meyakinkan. "Kau duluan saja ke aula, Garam. Aku akan menyusul setelah menemukannya."
Garam, yang tidak sabaran dan hanya ingin acara ini cepat selesai, mengangguk tanpa curiga. "Baiklah, jangan lama-lama!" Ia pun langsung berlari dan menghilang terbawa arus siswa lain.
Setelah memastikan Garam sudah tidak terlihat, Luna menghela napas lega dan berjalan santai menuju Aula Barat. Ia tiba di sebuah ruangan yang sangat luas dan benar-benar kosong, tanpa kursi atau dekorasi apapun. Ratusan siswa baru berdiri di tengah, tampak bingung dan berbisik-bisik.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, semua pintu masuk dan keluar aula tertutup dengan suara BLAM! yang keras dan menggema, membuat para siswa menjerit kaget.
Seketika, lantai marmer di bawah kaki mereka menyala. Sebuah lingkaran sihir raksasa yang sangat rumit dengan rune-rune kuno berwarna biru terang terukir di seluruh lantai, mengurung semua orang di dalamnya. kepanikan mulai menyebar.
"Apa ini!?"
"Kita dijebak!"
Di balkon atas, Dekan Oldyang muncul sambil tersenyum lebar. "Ini adalah tradisi penyambutan akademi Trisula! Sebuah ujian kecil untuk melihat ketahanan sihir kalian. Semoga berhasil!" teriaknya sambil tertawa, lalu ia menjentikkan jarinya.
Dunia Luna menjadi putih.
Sensasi teleportasi paksa ini jauh lebih brutal dari yang ia bayangkan. Sebuah tekanan sihir yang luar biasa menimpanya, seolah tubuhnya ditarik dan diremas secara bersamaan oleh kekuatan tak kasat mata.
Ia bisa mendengar teriakan para siswa lain sebelum semuanya ditelan oleh suara mendengung yang memekakkan telinga.
Kesadarannya meredup.
Kegelapan... lalu kehangatan yang familier. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya terbaring di kasur empuk di dalam Kuil Mimpi. Tawa menyebalkan badut dan suara mesin lotre Loki terdengar samar dari kejauhan.
[Loki Berkata: Selamat datang kembali, Pelanggan! Sepertinya kau sedikit pusing? Ingin mencoba keberuntunganmu untuk memulihkan diri?]
Luna terlalu pusing dan kesal untuk meladeni Dewa penipu itu. "Diamlah. Badut menyebalkan, lebih baik aku segera bangun daripada mendengarkan suara mesin penipu itu!"
Luna memejamkan mata, memfokuskan seluruh kekuatan mentalnya, menolak kenyamanan Kuil Mimpi, dan memaksa kesadarannya untuk kembali.
Kesadaran Luna kembali dengan sebuah guncangan. Hal pertama yang ia rasakan adalah aroma rumput segar dan silaunya cahaya matahari. Saat matanya berhasil fokus, yang pertama ia lihat adalah kepala botak Dekan Oldyang yang berkilauan, sedang menatapnya dari atas. "Ah... aku pikir itu matahari...."
"Hohoho, kau sudah sadar rupanya," kata Dekan.
Luna segera duduk. Kepalanya sedikit pusing, tapi selain itu ia merasa baik-baik saja. Ia melihat sekeliling. Mereka kini berada di sebuah padang rumput yang sangat luas. Di sekitarnya, puluhan siswa lain masih terkapar di rumput, tidak sadarkan diri.
Ia tidak sendirian.
Beberapa meter di kanannya, Grand Duke kesayanganya sudah berdiri tegak, dengan tenang membersihkan debu imajiner dari seragamnya. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah teleportasi paksa barusan hanyalah angin sepoi-sepoi baginya.
Melihat itu, Luna merasa kebanggan tersendiri. "Itulah My Riven!"
Di kirinya, seorang pemuda lain juga sedang bangkit, meregangkan lehernya. Rambut hitam legam dan mata merah darahnya yang tajam tampak menonjol di antara yang lain. Luna langsung mengenalinya. Darius Orphan, pewaris Menara Sihir Api. Salah satu dari lima target kencan Iselyn. Ia juga tampak sama sekali tidak terpengaruh.
Tawa Dekan Oldyang yang keras dan menggema tiba-tiba meledak. Ia menatap ketiga siswa yang berdiri tegak di antara lautan tubuh yang terkapar, matanya berbinar penuh minat.
Ia menunjuk ke arah Darius yang angkuh. "Fraksi Royalis." Kemudian, tatapannya beralih pada Luna yang tenang. "Fraksi Bangsawan." Dan terakhir, matanya tertuju pada Riven yang dingin. "Anti-fraksi."
Dekan tertawa sekali lagi, suaranya penuh kegembiraan.
"HAHAHAHA! Tahun ini penuh dengan anak-anak menarik!"
"Sebagai hadiah karena berhasil bertahan dari fluktuasi energi magis teleportasi paksa, kalian bertiga akan menerima ini!"
Dekan menjentikkan jarinya, dan tiga buah medali perak kecil muncul melayang di udara sebelum mendarat di telapak tangan mereka masing-masing.
"Itu adalah 'Token Perak'. Kalian bisa menukarkannya dengan sumber daya langka di bagian logistik. Gunakan dengan bijak!"
Darius menerima medalinya dengan senyum percaya diri. Riven hanya mengangguk singkat, ekspresinya tetap dingin.
Sementara Luna, sambil membungkuk anggun, mengucapkan, "Terima kasih, Kepala Akademi," dengan suara yang terlatih, menyembunyikan kepanikan di dalam hatinya.
Luna menatap medali di tangannya, jantungnya berdebar gugup. "Duh... Aku merasa tidak pantas menerima ini! Aku tidak bertahan, aku juga pingsan! Aku bangun karena efek unik cincin ruang ajaib. Apa aku pantas menerimanya?"
"Sekarang, kalian bertiga, mundur dan berdiri di belakangku," perintah Dekan.
Luna berjalan dengan kaku, kini ia berdiri sangat dekat dengan Riven. Aroma mint dan kertas tua kembali tercium, membuatnya semakin gugup.
Dekan Oldyang menatap lautan siswa yang masih pingsan dengan tatapan kesal. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Anak muda jaman sekarang tidak punya sopan santun!"
Tiba-tiba, Riven bergerak. Ia menarik bahu Luna dan Darius, membawa mereka lebih dekat padanya. "Tetap dekat," bisiknya, suaranya dalam dan tenang.
Sebelum Luna sempat memproses apa yang terjadi, Riven mengulurkan satu tangannya ke depan. Uap air di udara langsung berkumpul, membentuk sebuah dinding air transparan yang berlapis-lapis dan lembap di hadapan mereka.
Dekan melanjutkan, suaranya kini berbalut sihir yang kuat. "BERANINYA KALIAN TIDUR DI HARI PERTAMA SEKOLAH, BANGUN SEKARANG!!!"
Teriakan itu bukan sekadar suara. Itu adalah gelombang kejut magis yang mengguncang udara. Luna bisa melihat rumput di depan dinding air itu terdorong ke belakang oleh kekuatan tak kasat mata.
Namun, saat gelombang kejut itu menghantam dinding air Riven, keajaiban terjadi. Dinding air itu bergetar hebat, lapisannya yang padat dan lembap menyerap dan memecah getaran suara tersebut. Gelombang kejut yang tadinya berbahaya berubah menjadi pecahan embun air yang tidak berbahaya dan embusan angin sejuk. Dinding itu berfungsi seperti peredam suara raksasa.
Saat teriakan mereda, dinding air itu menguap menjadi kabut tipis. Di seluruh padang rumput, para siswa mulai mengerang dan bangun dengan wajah bingung.