Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Perayaan Suci Lunar
Perayaan Suci Lunar dimulai dengan ritual sembahyang di Langgar Suci. Para Empu dan pengikut setia berkumpul untuk membaca kitab suci bersama dan mendengarkan khutbah yang disampaikan oleh Empu Agung, pemimpin keagamaan yang kharismatik dan dihormati.
Seiring waktu berlalu, suasana di Langgar Suci semakin ramai dengan kehadiran para penduduk kota yang datang untuk bersembahyang dan memohon berkat. Kirana merasa haru melihat keramaian dan semangat kebersamaan yang menyatukan hati semua orang.
Setelah acara sembahyang usai, orang-orang dari berbagai daerah datang berbondong-bondong menghadiri festival yang diadakan di alun-alun kota tua. Empu Agung mengizinkan Kirana dan teman-temannya untuk ikut bergabung dalam perayaan.
Di sepanjang jalan, pertunjukan seni dan budaya menghibur pengunjung, menciptakan atmosfer sukacita yang tak terlupakan. Ada pasar tradisional yang menjadi pusat kegiatan dengan penjual-penjual menjajakan barang-barang suci, pernak-pernik berhias bulan, dan makanan lezat khas perayaan. Waktu seakan terasa sangat singkat, karena setiap orang merasakan kebahagiaan yang meluap-luap.
"Lihatlah, Kirana! Betapa indahnya perayaan ini. Aku tidak sabar untuk melihat puncak acara nanti," ujar Aria dengan antusias.
Kirana dan Lima tersenyum mendengar celotehan Aria. Mereka sepakat dengan gadis itu. Perayaan kali ini benar-benar memberikan kebahagiaan di hati setiap orang.
Tanpa sengaja, telinga mereka menangkap percakapan orang-orang di sekitar. Kabar bahwa puncak acara akan dihadiri oleh putra mahkota membuat beberapa warga mulai membicarakannya.
"Kau tahu, kabarnya puncak acara nanti akan dihadiri oleh putra mahkota," ujar salah satu ibu di dekat mereka, suaranya penuh dengan kegembiraan.
"Apa benar? Aku tidak sabar melihat Putra Mahkota. Sudah lama sekali tidak melihat beliau," ujar lawan bicara ibu tersebut dengan mata berbinar-binar.
Kirana dan teman-temannya sama sekali tidak tertarik dengan cerita Putra Mahkota dan kehidupan kerajaan. Mereka tahu bahwa kehidupan istana penuh dengan intrik dan politik yang memuakkan, jauh berbeda dengan kehidupan Langgar Suci yang tentram dan damai.
"Menurutku, hidup di istana pasti sangat sulit." Aria kembali memberikan pendapat sambil memandang pertunjukan dengan mata penuh kagum.
"Betul, kita mungkin tidak pernah mengalami kehidupan seperti mereka, tapi aku lebih memilih ketenangan seperti yang kita miliki di Langgar Suci," balas Lima, setuju dengan perkataan Aria.
Kirana hanya diam mendengarkan perkataan dua sahabatnya itu. Dia tidak bisa memberikan komentar apa pun sebab dia sendiri tidak terlalu tahu mengenai kerajaan. Baginya, hidup di Langgar Suci dengan kedamaian adalah tujuannya, sementara dia terus mencari cara untuk kembali ke tempat asalnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, rombongan kerajaan melintasi kerumunan padat raya. Meskipun tanpa rasa penasaran, perhatian Kirana teralihkan pada rombongan kerajaan dengan perbekalan yang mereka bawa.
Tatapan Kirana tiba-tiba bertemu dengan seorang pria gagah yang menaiki kuda hitamnya. Ada sesuatu yang aneh dari pria itu, sehingga membuat Kirana mengernyitkan dahi.
Pria yang dipanggil sebagai Putra Mahkota itu memberikan ekspresi tak biasa saat melihat Kirana di antara para penduduk yang menyambut kedatangannya. Pandangan pria itu seolah hanya terkunci pada Kirana.
Kirana pun merasa aneh dengan pria itu. Wajahnya begitu familiar, mengingatkan pada seseorang yang tidak terlalu akrab dengan Kirana. Namun, Kirana lupa wajahnya mirip dengan siapa.
Seiring dengan berjalannya waktu, rombongan kerajaan terus bergerak, membawa pria itu menjauh. Tatapan Kirana dan pria itu pun akhirnya terputus.
Singkat cerita, ketika matahari meredup dan bulan purnama menaungi langit, kota tua Lunarterra berubah dalam sekejap menjadi dunia dongeng dengan gemerlap lampu-lampu yang memancarkan sinar lembut dan indah. Dekorasi khas bulan menggantung di tiap sudut desa, dan nuansa spiritual terasa menyelimuti udara. Jalan-jalan dihiasi dengan lentera-lentera berwarna pastel yang menari-nari seiring angin malam yang berembus syahdu.
Kirana dan teman-temannya bersiap untuk memulai puncak acara. Mereka mengenakan pakaian indah yang telah dipilih dengan teliti sehari sebelumnya. Pakaian-pakaian tersebut memancarkan keanggunan dan keindahan semara, juga identitas Langgar Suci yang sakral.
Empu Agung memimpin puncak acara dengan memanjatkan doa penuh makna, memohon keselamatan, kelimpahan, dan kedamaian untuk semua yang hadir. Doa khusus juga dipanjatkan Empu Agung untuk keberkahan kota Lunarterra yang telah menjadi pusat keagamaan sejak lama.
Kirana merasakan kehangatan dan ketenangan dalam doa tersebut, merasakan bagaimana semua yang hadir terhubung dalam satu kebersamaan spiritual.
Setelah upacara selesai, kembang api mewarnai langit malam, menyimbolkan kebahagiaan dan harapan yang menyala di hati setiap individu. Sangat menyenangkan bisa menjadi bagian dari Perayaan Suci Lunar yang penuh keindahan dan kebahagiaan ini bersama dengan teman-temannya dan semua orang yang hadir.
Puncak perayaan adalah ritual cahaya, di mana ribuan lilin dan lentera dinyalakan, menciptakan panorama gemerlap yang memukau. Para penduduk berbondong-bondong datang ke sisi danau Lembayu, membawa lilin dan lentera dengan penuh harapan dan doa.
Di tepi danau, suasana penuh dengan kekhidmatan dan keindahan. Setiap orang menghadap ke arah danau, mengangkat lilin atau lentera mereka, dan memanjatkan doa kepada Sang Hyang Tunggal. Cahaya lilin dan lentera bersinar lembut, menciptakan pemandangan yang memukau di permukaan air.
Setelah doa-doa dipanjatkan, satu per satu, lilin dan lentera tersebut dilepaskan ke tengah danau. Lilin-lilin berlayar pelan di atas air, membentuk jalur cahaya yang memantulkan keindahan dan ketenangan malam. Lentera-lentera yang terbang ke angkasa menambah kesan magis, seakan-akan membawa harapan dan doa penduduk ke langit.
Malam itu, danau Lembayu menjadi lautan cahaya yang mengambang, simbol dari setiap harapan, doa, dan impian para penduduk. Suara gemericik air dan bisikan doa-doa menciptakan atmosfer yang damai dan menenangkan. Semua orang merasa terhubung dalam kebersamaan dan spiritualitas yang mendalam, sejenak melupakan kesibukan duniawi dan merayakan keindahan yang ada di sekitar mereka.
Selama acara puncak berlangsung, kota Lunarterra dihiasi dengan cahaya bulan dan rasa hormat terhadap alam. Ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga wujud rasa syukur dan kesadaran pada alam yang telah memberikan banyak hal terhadap keberlangsungan hidup umat manusia. Untuk sejenak, Kirana bisa melupakan kesedihannya. Dia akan menjalani dan ikut merayakan hari raya Sembah Suci Lunar ini dengan bahagia.
***
Hari ini sangat menyenangkan. Kirana merasakan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya saat menikmati perayaan semegah ini. Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa lelah mulai menyelinap dalam tubuhnya. Energi Kirana tersedot banyak selama perayaan berlangsung. Kirana ingin segera kembali ke Langgar dan beristirahat dengan tenang.
"Aria, Lima. Sepertinya aku harus kembali ke Langgar," ucap Kirana pada dua sahabatnya.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, tiba-tiba saja mereka merangkul Kirana dengan penuh kekhawatiran, memeriksa tubuhnya dengan cermat.
"Kamu tidak apa-apa, kan, Kirana? Apa kamu merasa tidak enak badan?"
"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit lelah, hari ini sangat menyenangkan, dan aku ingin beristirahat lebih cepat," ujar Kirana seadanya.
Kirana bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah kedua sahabatnya itu. Mereka berinisiatif ingin mengantar Kirana pulang, namun Kirana menolaknya dengan halus. Dia yakin bisa kembali ke Langgar sendiri tanpa masalah.
Dalam perayaan yang ramai seperti ini, Kirana merasa tidak ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi padanya. Dia ingin Aria dan Lima bisa menikmati sisa perayaan dengan bahagia. Meski terlihat agak kecewa, akhirnya Aria dan Lima mengalah. Mereka membiarkan Kirana pergi karena sepertinya dia bersikeras untuk pulang sendiri.
Kirana melambai pada kedua sahabatnya sambil tersenyum, merasa bersyukur memiliki sahabat-sahabat seperti Aria dan Lima. Meski berpisah sejenak, mereka tahu bahwa hubungan persahabatan mereka tetap kuat dan solid.
Kirana pun melangkah menjauh, meninggalkan teman-temannya yang kembali terlibat dalam riuhnya perayaan, sementara dia menuju Langgar Suci untuk meraih ketenangan di malam yang masih panjang.
Saat di perjalanan pulang, Kirana melangkah dengan hati-hati melalui kerumunan perayaan yang masih berlangsung. Namun, dia merasakan sesuatu seolah sedang mengawasinya. Ketika gadis itu menoleh, matanya bertemu dengan pria yang sama yang menatapnya intens tadi siang. Kirana merasa aneh getir di hati, firasatnya merasakan sesuatu akan terjadi.
Pria yang mengikutinya adalah Putra Mahkota. Dia sengaja menyamar dengan menggunakan tudung hitam untuk menghindari perhatian banyak orang.
Kirana mundur, memberi jarak, hatinya berdebar-debar, dia harus tetap waspada meski masih berada di tengah keramaian sekalipun. Lagi dan lagi, Kirana merasakan kesedihan menembus dari tatapan Putra Mahkota terhadap dirinya.
Sementara itu, di sisi lain, Putra Mahkota sedang berusaha untuk menahan diri. Jika saja hanya ada mereka berdua di sini, dia mungkin akan langsung memeluk Kirana. Tapi tidak, dia harus menahan dan menekan perasaannya sebisa mungkin, karena siapa saja bisa mengenali dirinya.
Kirana tampak menunjukkan ekspresi kebingungan dengan tatapan Putra Mahkota yang begitu dalam terhadap dirinya. Ketika Putra Mahkota mengajaknya bicara dan menawarkan untuk pindah ke suatu tempat yang lebih aman, Kirana merasa agak ragu. Dia tidak mungkin percaya dengan orang yang baru saja ditemui, meski dia adalah seorang Putra Mahkota sekalipun.
Bersambung
Selasa, 30 September 2025