Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.
Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.
Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
****
Malam itu.
Nathan duduk di ranjang tidurnya. Ponselnya ia genggam erat, jemarinya mengetuk-ngetuk layar seakan menahan sesuatu. Wajahnya masih memerah karena berdebat dengan Maria.
“Mommy mengatakan aku harus melupakannya, melupakan Elara? Tidak mungkin. Bagaimana mungkin aku melupakan seseorang yang lima tahun tinggal di bawah atap yang sama denganku? Bagaimana mungkin aku membiarkan dia, bahagia tanpa aku?” ucap Nathan tak terima.
Nathan membuka galeri di ponselnya. Foto-foto Elara masih tersimpan, sebagian besar candid yang dulu diambil diam-diam, saat Elara sedang membaca, saat dia menyiapkan sarapan, atau sekedar tersenyum kecil ketika berbicara dengan dirinya.
Ia menatap foto itu lama, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
“Lihat dia, dia bisa tersenyum tapi sekarang dia malah bisa bahagia tanpa aku. Tidak! Itu salah! Dia seharusnya tidak bisa baik-baik saja tanpaku!” ucap Nathan.
Nathan terdiam sejenak, matanya berkilat. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di kamar.
“Marvin Luther, pria itu. Apa yang sebenarnya dia lihat dari Elara? Sekretaris? Atau ada hal lain? Kenapa dia mendekat? Apa Elara sengaja mencari pengganti? Tidak. Tidak mungkin secepat itu atau mungkin memang dari dulu?” Nathan mulai menduga-duga.
Nathan mengepalkan tangannya.
“Tidak! Elara bukan tipe seperti itu, tapi kenapa dia bisa menerima pria lain begitu cepat? Apa dia memang tidak pernah mencintaiku?” lagi dan lagi Nathan dibutakan dengan rasa cemburunya.
Bruk!
Nathan melemparkan dirinya ke atas ranjang, ia mulai menutup matanya untuk meredakan rasa frustasi itu.
'Sial! Aku sangat merasa tidak terima dengan kenyataan ini!' batin Nathan.
**
Keesokan harinya.
Nathan sudah duduk di mobilnya, memarkir di seberang gedung tinggi tempat Elara kini bekerja.
Dari kaca mobil, ia bisa melihat karyawan keluar masuk dengan rapi. Tangannya mengetuk setir, rahangnya mengeras.
“Di dalam sana dia bekerja untuk pria itu. Marvin Luther. Apakah dia bahagia? Apakah dia tertawa ketika bersama pria itu? Sial!” emosi Nathan terlihat jelas.
Nathan meraih ponselnya, mencoba lagi menghubungi Elara. Panggilan berulang kali masuk, tapi tak pernah diangkat. Ia lalu mengetik pesan cepat.
[Elara, bisakah kita bicara sebentar? Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu. Tolong, angkat teleponku.] pintanya melalui pesan itu.
Beberapa menit kemudian, tanda centang dua terlihat. Tapi tetap tanpa balasan.
Nathan memukul setir keras.
“Elara! Kau tidak bisa terus mengabaikanku seperti ini. Aku masih mencintaimu, tidak, aku memang mantan suamimu, tapi aku masih punya hak untuk bicara padamu!” tegas Nathan.
Hingga akhirnya Nathan menyudahi keberadaannya di tempat itu, ia memilih pergi untuk kembali bekerja walau ia tidak akan pernah fokus dalam memimpin pekerjaan.
**
Malam itu.
Kembali Nathan berada di kediaman milik orang tuanya.
Nathan duduk di sofa dengan wajah gelisah. Maria masuk, baru pulang dari acara sosial. Ia melepaskan syal sambil menghela napas lelah.
“Nathan? Kau masih di sini? Lihat wajahmu makin kusut saja. Apa kau makan siang tadi?” tanya Maria.
Nathan tidak menjawab, hanya menatap kosong.
Maria menaruh tas dengan kesal.
“Apa lagi sekarang? Jangan bilang kau masih memikirkan Elara.”tebak Maria.
Nathan berbalik menatap Maria, suaranya terdengar berat.
“Aku tidak bisa melupakannya, Mom. Setiap kali aku menutup mata, aku hanya melihat dia. Dan yang paling menyiksa, aku tahu dia sedang baik-baik saja sekarang. Dia bisa bangkit setelah perceraian, sementara aku? Aku justru semakin hancur.” ucap Nathan membahas hal yang sama pada Maria.
Maria menatap putranya dengan sorot penuh frustrasi.
“Itulah konsekuensi dari keputusanmu sendiri, Nathan. Kau memilih jalannya. Kau sendiri yang melepaskannya. Jangan salahkan siapa pun.” ucap Maria.
“Tapi aku ingin dia kembali, Mom! Aku tidak peduli apa kata orang. Aku tidak peduli kalau dia bekerja dengan Marvin. Aku akan cari cara. Aku akan tunjukkan padanya bahwa dia masih milikku.” ucap Nathan sungguh gila.
Maria mendengus kesal, berjalan mendekat, lalu menatap Nathan lurus.
“Milikmu? Elara bukan sesuatu yang bisa kau klaim, Nathan. Kau harus berhenti berpikir seperti itu! Dia bukan milikmu lagi. Kau sudah menceraikannya. Kau yang mengusir dia dari hidupmu, dan sekarang kau datang seperti orang gila ingin merebutnya kembali? Apa kau sadar betapa memalukannya itu?” marah Maria.
Nathan terdiam sejenak, menelan ludah. Tapi matanya masih penuh obsesi.
“Aku tidak peduli kalau aku terlihat gila, Mom. Aku hanya tahu satu hal, aku tidak bisa membiarkan Elara dimiliki orang lain. Aku akan melakukan apa saja untuk membuat dia kembali.” ucap Nathan lagi.
Maria menghela napas panjang, lalu menutup wajah dengan tangannya.
“Tuhan, kenapa Putraku jadi seperti ini?” ucap Maria lelah.
Malam semakin larut...
Nathan duduk di depan meja kerjanya, kertas-kertas berantakan. Di laptopnya, terbuka profil perusahaan Marvin Luther. Ia membaca semua artikel, laporan media, dan foto-foto yang memuat Marvin bersama para pengusaha lain.
Matanya menyipit ketika melihat satu artikel tentang Marvin yang disebut-sebut sebagai “pengusaha muda dingin dan misterius.”
“Misterius? Jadi ini pria yang sekarang ada di samping Elara, pria yang tampak sempurna di mata semua orang. Tapi aku tahu, Elara bukan untuknya. Elara masih punyaku.” ucap Nathan yakin.
Nathan lalu membuka laci meja, mengeluarkan album foto lama berisi kenangan bersama Elara. Ia menatap salah satu foto saat mereka berdua masih tersenyum di taman, awal pernikahan dulu.
“Elara, kau masih ingat saat ini? Kau masih ingat bagaimana kau tersenyum padaku? Aku tidak akan membiarkan masa lalu kita lenyap. Aku akan membuatmu kembali, apa pun caranya.” Nathan sungguh sudah gila.
Air matanya jatuh, namun dalam suaranya terselip tekad penuh keyakinan.
***
Waktu berlalu...
Siang itu.
Elara sedang sibuk mengetik laporan di meja kerjanya, tepat di luar ruang kerja Marvin. Ponselnya bergetar, notifikasi panggilan masuk. Nama Nathan tertera jelas. Elara lelah, ia menatap layar itu sejenak sebelum menekan tombol hijau.
“Aku sudah bilang, aku tidak mau lagi terlibat denganmu, Nathan.” ucap Elara.
"Aku tunggu di lobi, kalau tidak kalau akan tahu jika aku bisa gila Elara." ucap Nathan mengakhiri panggilan itu.
Elara semakin tak habis pikir.
Suara riuh kecil terdengar dari lobi lantai itu. Karyawan lain berbisik-bisik. Elara mendongak dan hatinya terkejut, Nathan berdiri di depan resepsionis, mengenakan setelan rapi.
Elara buru-buru berdiri, menghampiri dengan langkah cepat.
“Nathan! Apa yang kau lakukan di sini? Ini tempat kerjaku!” kesal Elara muak.
Nathan menoleh, ia langsung tersenyum.
“Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Hanya makan siang, Elara. Tidak lebih.” ucap Nathan.
“Tidak! Aku tidak mau! Tolong jangan buat keributan di sini. Pergilah sebelum aku benar-benar marah.” Elara makin heran dengan jalan pikiran Nathan.
Nathan mendekat, suaranya melembut meski sorot matanya dipenuhi keinginan agar Elara mau mengikutinya.
“Elara, dengarkan aku sekali ini saja. Kita tidak harus membicarakan sesuatu, kita hanya makan siang. Kau bahkan tidak perlu bicara kalau tidak mau. Aku hanya ingin duduk di hadapanmu, melihatmu sekali tanpa jarak dingin ini.” ucap Nathan.
Tentunya itu tidak masuk akal bagi Elara.
Elara melipat tangan di dada, menatap Nathan dengan tajam.
“Berhentilah, Nathan. Aku sudah katakan berulang kali, masa lalu kita sudah selesai. Aku tidak mau lagi ada hubungan apa pun denganmu. Bahkan sekedar makan siang pun tidak.” tolak Elara.
Nathan menelan ludah, wajahnya mulai murung tapi ia tetap berdiri di sana, keras kepala.
“Elara, lima tahun kita bersama, apa kau benar-benar tidak punya sedikit pun ruang untukku? Bahkan untuk sekedar duduk sebentar? Aku tahu aku salah.” ucap Nathan.
Elara menunduk sejenak, menarik napas panjang.
“Tidak ada. Lima tahun itu sudah berakhir saat kau memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Kau yang memilih perceraian, Nathan. Dan aku memilih untuk melanjutkan hidupku.” tegas Elara.
**
Pintu ruang kerja Marvin terbuka. Marvin keluar, langkahnya tenang tapi sorot matanya tajam. Tentunya keributan di kantornya sudah terdengar ke telinga, Marvin.
Ia menatap ke arah Nathan dan Elara yang berada di lobi perusahaan.
“Ada masalah di sini?” tanya Marvin yang kini sudah tiba.
Suasana langsung menegang. Nathan menoleh, melihat Marvin berdiri dengan wajah dinginnya.
Nathan berdecak.
Marvin melangkah lebih dekat, berdiri di sisi Elara.
“Kalau saya tidak salah, Anda bukan bagian dari perusahaan ini. Jadi, apa yang membuat Anda datang dan mengganggu staf saya di jam kerja?” tanya Marvin.
Elara buru-buru berusaha menengahi.
“Tuan, saya bisa urus...”
“Saya tidak suka orang luar membuat keributan di lingkungan kerja saya. Kalau Anda ingin bicara dengan sekretaris saya, silakan cari waktu di luar kantor. Tapi di sini, Anda tidak punya tempat.” ucap Marvin masih menatap Nathan.
Nathan mendengus, menahan amarah.
“Kau benar-benar cepat sekali mengambil tempat, ya? Aku baru saja berpisah dengannya, dan kau langsung berdiri di sampingnya seolah...”
Elara memotong dengan lantang.
“Cukup, Nathan! Jangan bicara seperti itu! Aku bekerja di sini murni karena pekerjaanku, bukan karena hal lain. Jangan campur adukkan semuanya.” marah Elara.
Marvin tetap menatap Nathan tanpa bergeming.
“Sudah jelas. Sekarang, saya harap Anda pergi. Saya tidak akan mengulangi permintaan ini dua kali.” ucap Marvin tetap dengan wajah dinginnya.
Nathan menatap Elara dengan mata merah, kemudian menoleh pada Marvin. Ada perasaan kalah bercampur marah di wajahnya.
“Elara, kita belum selesai.” ucap Nathan.
Nathan akhirnya berbalik, melangkah keluar dengan langkah berat. Bisikan karyawan kembali memenuhi ruangan.
Elara menunduk, wajahnya pucat. Marvin menoleh padanya, sorot matanya masih tajam.
“Kalau dia mengganggumu lagi, katakan padaku. Aku tidak akan membiarkan seseorang mengusik stafku seenaknya.” Ucap Marvin penuh peringatan.
Elara menganggukkan kepalanya pelan, mencoba menahan gemetar.
“Maafkan saya untuk kejadian hari ini, Tuan.” ucap Elara.
Marvin menatapnya sejenak, lalu mengangguk tipis, meski jelas ia menyimpan sesuatu di balik sikap dinginnya.
"Tidak perlu minta maaf, tidak ada kesalahan yang kau perbuat, Elara. Jangan meminta maaf atas nama orang lain." ucap Marvin berbalik pergi kembali ke arah lift.
Bersambung…