Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Nongkrong yuk?” ajak Hana sambil menggantungkan tas di bahunya, ekspresinya penuh semangat.
“Mager,” jawab Yura cepat, tanpa berpikir dua kali. Ia terlihat sudah lelah dan ingin segera pulang.
“Ayoo…” sahut Febi dengan senyum lebar, mencoba mengimbangi semangat Hana.
“Next time deh, gue ada acara keluarga,” ucap Rizki sambil mengecek ponselnya.
“Gue juga ada janji. Mumpung libur PKL, sekalian refreshing,” Aldin pun ikut menolak halus.
Yura menutup ritsleting tasnya dan berdiri, “Kalian berdua aja, gue ngantuk banget. Mau langsung pulang.”
“Yah, gak asik kalian,” keluh Hana sambil cemberut pura-pura. “Tapi yaudah deh. Hati-hati ya semua.”
“Ayo, nongkrong di mana?” tanya Febi antusias, tetap mendekat ke Hana.
“Bye guys,” ucap Yura sambil melambaikan tangan sebelum melangkah ke arah parkiran di ikutin oleh Aldin.
Sedangkan Rizki pergi ke arah berlawanan.
Hana dan Febi hanya bisa saling pandang, lalu tertawa kecil.
“Kayaknya cuma kita yang punya energi buat santai hari ini,” ucap Hana sambil menghela napas.
“Mereka ngilang semua,” timpal Febi.
“Gak apa-apa, kita tetap seru walau cuma berdua.”
“Setuju,” kata Febi sambil menarik tangan Hana. “Ayok sebelum tempatnya rame!”
"Gooo..." teriak Hana dengan semangat.
Hana dan Febi meluncur ke tempat nongkrong favorit mereka, Kafebook. Tempat yang menggabungkan suasana santai ala kafe dengan rak-rak buku di tiap sudutnya. Meski niat awalnya untuk baca, ujung-ujungnya lebih sering ngobrol dan foto-foto lalu pulang.
Karena membawa kendaraan masing-masing, mereka pun berangkat beriringan.
“Rame kali,” ujar Hana sambil memarkirkan mobilnya.
“Rame banget,” sahut Febi, menghampiri Hana. Ia memutar pandangannya ke arah dalam kafe.
“Ada promo kali,” duga Hana.
“Mungkin.”
Mereka melangkah masuk. Suasana di dalam Kafebook jauh lebih padat dari biasanya. Hampir semua kursi penuh, obrolan dan tawa bercampur jadi satu. Wangi kopi dan pastry menyambut mereka.
“Hai cewek-cewek cantik,” sapa kasir yang mereka kenal, senior kampus mereka juga. “Tumben cuma berdua. Yur-Yur mana? Si duo tampan juga gak kelihatan tuh.”
“Biasa lah, sok sibuk semua,” jawab Hana sambil tertawa kecil.
“Rame banget hari ini ya?” tanya Febi sambil melihat ke sekeliling.
“Kalian kan PKL, jadi gak tau. Tempat ini sekarang jadi tongkrongan baru anak-anak muda,” ujar sang kasir. “Mau pesen kayak biasa atau beda?”
“Seperti biasa,” jawab Hana tanpa pikir panjang.
Febi sempat menatap menu di atas meja, lalu mengangguk. “Seperti biasa juga deh.”
“Gak usah mikir harusnya,” goda kasir sambil tertawa. Ia memberikan pager coaster. “Belakang masih agak kosong, sana duduk dulu.”
“Thanks!” sahut Febi lalu berjalan ke arah halaman belakang kafe bersama Hana.
Berbeda dengan ruangan utama, area belakang lebih tenang. Hanya beberapa meja yang terisi.
“Yah, pojokan udah ditempatin,” gumam Hana kecewa. Ia tadinya ingin duduk di sudut, tempat favorit mereka.
“Situ aja,” Febi menunjuk ke meja yang masih kosong.
Mereka berjalan menuju meja, obrolan ringan mengiringi langkah. Baru saja duduk, pager coaster bergetar pesanan mereka sudah siap.
“Gue ambil dulu,” kata Febi sambil bangkit.
Beberapa menit kemudian, Febi kembali dengan nampan di tangan. Namun ekspresinya berubah, dahi berkerut.
“Kenapa?” tanya Hana, melihat wajah temannya.
“Eh itu... bukannya pacar Yura ya?” bisik Febi pelan, matanya menatap ke meja pojokan.
“Hah!?” Hana langsung menoleh ke belakang.
“Si tetangganya itu... Kak Ardhan!”
Hana menyipitkan mata, mencoba memastikan. “Iya itu Kak Ardhan! Tapi... perempuan itu siapa?”
“Gak tau!” Febi masih memandangi mereka.
“Pacarnya kah? Tapi... ceweknya gak secantik itu,” celetuk Hana setengah kesal.
“Setuju sih,” timpal Febi cepat.
“Eh leher gue pegal,” Hana mengeluh sambil membetulkan posisi duduk. “Tapi dia gak kayak biasanya.”
“Maksud lo?” tanya Febi.
“Inget gak, kalau sama Yura tuh dia senyum mulu. Ini mah enggak.”
Febi kembali menoleh dan mengamati. “Bener juga... tapi itu siapa ya?”
“Jangan-jangan lagi berantem,” ujar Hana tiba-tiba.
“Makanya jangan sampai Yura tau. Bisa hancur hatinya,” kata Febi waspada.
“Bener. Jangan sampai.”
Obrolan mereka lalu berpindah ke topik lain, drama Korea yang lagi viral. Tapi pandangan mereka tetap sesekali melirik ke arah Ardhan.
Beberapa menit kemudian...
“Eh, mereka pergi!” bisik Febi.
Mereka memperhatikan dari jauh. Meski tanpa senyum khasnya, Ardhan terlihat membawakan tas si perempuan dan bergandengan tangan.
“Fix mereka pacaran,” gumam mereka hampir bersamaan.
“Tapi Aldin sama Rizki juga sering bawa tas kita, jangan gandengan rangkulan pun sering.” Hana mencoba realistis.
“Lah itu kan teman kita. Ini mah beda!” balas Febi dengan cepat.
“Iya juga sih!” Hana pun mengangguk.
“Kayaknya Yura harus tau. Ntar dikira ngerebut pacar orang,” ucap Febi was-was.
Hana reflek membuka ponselnya, berniat menghubungi Yura.
“Eh tapi, besok aja deh. Jangan sekarang. Bisa-bisa langsung nangis bombay dan gak masuk PKL.”
“Bener juga,” Hana mengangguk, akhirnya menaruh lagi ponselnya.
Mereka saling pandang. Hati mereka campur aduk memikirkan, siapa perempuan itu dan bagaimana perasaan Yura nantinya jika tau.
...****************...
Langit sudah gelap saat Yura akhirnya terbangun. Alarm yang sedari tadi berbunyi tidak terdengar olehnya, maklum, ponselnya tertinggal di ruang tengah. Ia terbangun dengan kepala sedikit pusing dan badan pegal-pegal, seperti baru selesai kerja bakti seharian.
“Uuugh... aduuuh...” keluhnya sambil memijat leher dan menggerakkan bahunya pelan-pelan.
Ia meregangkan tubuh sejenak, lalu melangkah keluar kamar. Rumah sudah sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Ia melirik ke jendela.
“Udah gelap ternyata...” gumamnya, lalu duduk di ruang tamu dan meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
Begitu melihat layar, matanya langsung membesar. “Astaga, jam 10!?” serunya terkejut. Tadinya ia mengira baru jam 7 atau 8 malam.
“Pantesan badan gue pegel semua...” ucapnya sambil mengusap wajah, antara kesal dan pasrah.
Notifikasi WhatsApp menumpuk. Grup "Manusia" grup obrolan mereka berlima ramai luar biasa. Puluhan pesan belum dibaca. Yura membuka grup itu dan mulai menggulir ke atas, membaca pesan-pesan yang terlewat sambil terkekeh sendiri.
Ternyata, Sebelum Hana dan Febi pulang dari Kafebook, mereka mengalami kejadian kocak. Saat Febi hendak pulang, seorang laki-laki asing tiba-tiba masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok belakang tanpa basa-basi.
Awalnya Febi mengira itu cuma salah paham biasa. Tapi orang itu malah menyuruhnya segera jalan, mengira Febi adalah sopir taksi online.
Hana yang melihat dari kejauhan langsung menghampiri karena curiga. Saat Febi hendak menegur, laki-laki itu justru marah-marah duluan, menuduh Febi lambat dan tidak profesional.
“Gue bukan driver! Ini mobil pribadi!” tulis Febi di chat dengan emoji gondok.
Tapi orang itu masih ngotot, bahkan sempat berdebat dengan Hana juga. Akhirnya Hana harus mengusirnya sambil marah-marah sendiri. Orang itu pun pergi sambil ngomel, sepertinya ia malu karena orang-orang menonton.
Yura tertawa terpingkal-pingkal membaca cerita itu. Bahkan sampai keluar air mata karena geli.
“Ada-ada aja... hahahahaha!” Ia sampai menepuk-nepuk bantal sofa. Badan pegalnya pun terasa sedikit ringan karena tawa yang lepas.
Setelah puas membaca cerita absurd itu, Yura bersandar dan menghela napas.
"Hidup emang gak pernah kehabisan kejutan," ucapnya sambil tersenyum kecil.