"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Lorong rumah sakit malam itu seakan menjadi saksi bisu retaknya hubungan seorang ayah dan anak. Suara keras Kyai Zainal barusan masih bergema di kepala setiap orang yang mendengar. Perawat yang kebetulan lewat pun menunduk, pura-pura tidak melihat, seolah mereka tahu bahwa yang sedang berlangsung bukan sekadar perselisihan keluarga—melainkan pertaruhan besar tentang masa depan sebuah pondok pesantren.
Dilara terisak keras, tubuhnya yang lemah makin gemetar. Air matanya tak henti-hentinya jatuh. Sementara Gus Zizan berdiri tegak, wajahnya pucat namun matanya menyala penuh tekad.
“Abi…” suara Gus Zizan bergetar, tapi ia tidak goyah. “Saya tahu ini kesalahan terbesar saya di mata Abi. Tapi apa Abi lupa? Bukankah Abi selalu ajarkan saya, bahwa mencintai dengan benar itu harus berani memperjuangkan? Bahwa cinta yang halal itu lebih mulia daripada sembunyi-sembunyi?”
“Diam, Zizan!!!” potong Kyai Zainal dengan suara menggelegar. “Jangan kau berani memutar balikkan dalil di hadapan Abi! Kau pikir Abi tidak tahu apa itu cinta yang benar? Kau pikir Abi tidak pernah merasakan? Tapi, Zizan… cinta itu harus ditimbang dengan akal dan iman, bukan dengan hawa nafsu!”
Nafasnya memburu, dadanya naik turun. Sorban putih di pundaknya jatuh, menandakan betapa ia kehilangan kendali.
“Abi…” suara Gus Zizan melembut, tapi juga getir. “Saya tidak sedang menuruti nafsu. Saya hanya ingin menjaga seseorang yang saya cintai, agar hubungan kami halal di hadapan Allah. Kalau Abi tetap melarang… berarti Abi ingin saya terus berdosa dengan mencintainya dalam diam?”
Ucapan itu bagai cambuk. Beberapa ustadz yang ikut menyaksikan percakapan itu berdeham, resah. Mereka tahu, kata-kata Gus Zizan ada benarnya. Tapi siapa yang berani menentang keputusan Kyai Zainal?
Kyai Zainal menutup mata, kepalanya menunduk. Tangannya mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
“Cukup, Zizan…” suaranya kini berat dan penuh luka. “Abi sudah tetapkan keputusan. Kamu tidak lagi pewaris pondok ini. Mulai malam ini, Abi tarik semua amanah darimu. Kalau kamu tetap pilih perempuan itu, maka kamu tanggung sendiri akibatnya. Jangan pernah datang minta restu lagi!”
Lalu beliau berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya tegas, sorot matanya tajam menusuk siapa pun yang berani menatap.
Suasana kamar perawatan hening. Hanya suara tangis Dilara yang pecah di udara.
“Ya Allah… ini salahku… semua salahku…” isaknya lirih.
Gus Zizan segera menghampirinya, tersenyum tipis. “Lara, jangan katakan begitu. Ini bukan salahmu. Ini keputusan aku. Aku yang memilih jalan ini.”
“Tapi Gus… Anda kehilangan segalanya… bahkan restu Abi Anda… semua karena aku…” Dilara terisak makin keras. “Aku hanya santri biasa… Aku tidak pantas… Aku harus pergi, Gus. Aku harus pergi jauh, agar Anda tidak hancur karena Aku…”
Kata-katanya membuat dada Gus Zizan sesak. Ia menggenggam tangan Dilara lebih erat.
“Tidak, Lara. Jangan pernah bilang pergi. Tanpa kamu, aku yang akan hancur. Biarlah Ku yang kehilangan pondok, biarlah aku yang kehilangan restu… tapi jangan biarkan saya kehilangan kamu.”
Air mata mengalir di pipi Gus Zizan. Ia jarang menangis, tapi malam itu, hatinya tak kuasa menahan.
Dilara hanya menangis tanpa menjawabnya lagi.
Kabar itu menyebar bagai api menyambar ilalang kering. Seisi pondok heboh mendengar keputusan Kyai Zainal mencabut amanah pewaris dari Gus Zizan.
“Benarkah, Gus Zizan sudah tidak jadi pewaris?” bisik seorang santri.
“Katanya gara-gara ingin menikahi Dilara…” sahut yang lain.
“MasyaAllah… santri biasa, tapi sampai segitunya…”
“Kasihan Ning Lydia… pernikahannya batal?”
Bisikan-bisikan itu semakin menjadi, hingga akhirnya menjadi bahan perdebatan di mana-mana. Sebagian santri membela Gus Zizan, menganggap keberaniannya mulia. Sebagian lain mencibir, menganggap ia telah durhaka pada ayahnya sendiri.
Di kalangan ustadz pun terjadi keguncangan. Beberapa ustadz senior menekan agar keputusan Kyai Zainal dipatuhi tanpa syarat. Namun sebagian ustadz muda mulai mempertanyakan, apakah benar cinta harus dikorbankan demi amanah, ataukah ada jalan tengah?
Malam berikutnya, di salah satu ruang musyawarah kecil, beberapa ustadz muda berkumpul diam-diam. Ustadz Rahman, yang dikenal bijak dan dekat dengan para santri, membuka suara.
“Saudaraku, apa yang terjadi pada Gus Zizan adalah ujian besar bagi kita semua. Saya tidak membela kedurhakaan, tapi saya melihat tekad beliau bukan semata hawa nafsu. Beliau ingin menjaga marwah dengan pernikahan. Bukankah itu jalan yang benar?”
“Benar, Ustadz,” sahut yang lain. “Tapi bagaimana mungkin kita menentang keputusan Kyai Zainal? Beliau adalah pimpinan pondok. Semua harus patuh.”
Ustadz Rahman menghela nafas. “Saya tidak meminta kalian menentang. Tapi setidaknya, jangan ikut-ikutan mencaci Gus Zizan dan Dilara. Jangan sampai kita jatuh pada ghibah dan fitnah. Ingat, kita semua hanya hamba. Jangan sampai kita menilai cinta seseorang tanpa tahu isi hatinya.”
Beberapa mengangguk, beberapa masih ragu. Namun benih simpati untuk Gus Zizan mulai tumbuh.
Sementara itu, di kamar rumah sakit, Dilara makin gelisah. Tubuhnya memang perlahan membaik, tapi hatinya remuk redam.
Salsa yang setia menemaninya mencoba menenangkan. “Lara, jangan mikir yang aneh-aneh. Fokus sembuh dulu.”
Tapi Dilara menggeleng. “Tidak, Salsa. Aku tidak bisa. Selama aku ada di sini, Gus Zizan akan terus dimusuhi. Aku harus pergi. Aku tidak boleh menjadi penyebab kehancurannya.”
Salsa terperanjat. “Pergi? Maksudmu keluar dari pondok?”
“Ya,” jawab Dilara lirih. “Aku akan pamit baik-baik. Kalau tidak diizinkan… aku akan pergi diam-diam. Aku lebih rela menderita sendiri daripada melihat Gus Zizan kehilangan segalanya.”
Air mata Salsa jatuh. Ia memeluk sahabatnya erat-erat. “Lara… kamu terlalu mulia. Tapi jangan lupa, Gus Zizan juga manusia. Kalau kamu pergi, dia bisa lebih hancur.”
Dilara terdiam. Dadanya bergetar hebat.
"Lara... Aku.. "
"Maafkan aku Salsa, tapi mungkin ini lebih baik."
Beberapa hari kemudian, ketika kondisi Dilara mulai membaik dan ia dipulangkan ke pondok, Kyai Zainal memanggil Gus Zizan sekali lagi. Suasana jauh lebih tegang dari sebelumnya.
Di ruang utama pondok, para ustadz senior sudah berkumpul. Ning Lydia pun hadir bersama ayahnya, ustadz Yusuf. Wajahnya tertunduk, matanya sembab, jelas ia terluka mendengar kabar batalnya khitbah.
“Zizan,” suara Kyai Zainal dingin. “Abi beri kesempatan terakhir. Kembalilah ke jalan yang Abi tetapkan. Lupakan santri itu. Lanjutkan pernikahanmu dengan Ning Lydia. Kalau kamu patuh, Abi akan cabut semua hukuman. Pondok ini tetap milikmu.”
Semua mata tertuju pada Gus Zizan. Nafasnya berat. Ia menunduk lama, sebelum akhirnya mengangkat wajah.
“Abi… maafkan saya. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak bisa menikahi Ning Lydia, karena hati saya sudah milik Dilara. Kalau pun Abi memaksa, itu hanya akan menyakiti semuanya.”
Suasana gempar. Ning Lydia terisak, ayahnya marah besar. “MasyaAllah! Gus Zizan, kamu mempermalukan keluarga saya di depan semua orang!”
Tapi Gus Zizan tetap teguh. “Saya minta maaf, ustadz Yusuf. Tapi saya tidak bisa membohongi hati saya. Saya lebih memilih jujur daripada mendzalimi putri ustadz.”
Kyai Zainal berdiri, wajahnya merah padam. “Kalau begitu, mulai detik ini, aku anggap kamu bukan lagi anakku! Jangan pernah kembali ke pondok ini lagi!”
Ucapannya membuat semua orang terperanjat. Beberapa santri yang ikut hadir menutup mulut, tak percaya apa yang baru saja terjadi.
Gus Zizan hanya menunduk, lalu berbalik pergi. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Malam itu, Gus Zizan mengemas beberapa barangnya. Ia tidak membawa banyak, hanya kitab-kitab kesayangannya, sajadah, dan pakaian sederhana.
Di depan ndalem, beberapa santri laki-laki muda menangis. “Gus… jangan tinggalkan kami…”
Gus Zizan tersenyum pahit, mengusap kepala mereka. “Doakan saja, adik-adikku. Doakan agar saya tetap kuat. Ingat, ilmu dan iman harus dijaga, meski saya tidak lagi di sini.”
Ia berjalan keluar dari pondok dengan langkah berat. Hatinya remuk, tapi tekadnya bulat.
Di sisi lain, Dilara baru saja pulang dari rumah sakit. Ia belum tahu apa yang terjadi malam itu. Namun ia merasa sesuatu yang besar sedang menunggu.
Salsa masuk dengan wajah muram. “Lara… aku harus bilang. Gus Zizan sudah pergi dari pondok. Dia diusir.”
Jantung Dilara serasa berhenti. “Apa…? Tidak… tidak mungkin…”
Tangisnya pecah. Ia merasa dirinya penyebab segalanya.