‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02 : Dia Ibuku
Terlambat, guci keramik berukuran setinggi setengah meter itu jatuh menggelinding, pecah menjadi beberapa bagian setelah didorong sekuat tenaga oleh ibunya Dahayu, bu Warni.
Dahayu langsung berlari mendekati ibunya – yang terduduk di lantai seraya menutup kedua telinga. Dia nyaris tersungkur kala menaiki dua undakan tangga sekaligus, batas bagian pintu depan dengan ruang tamu.
“Nggak apa-apa, Mbak War. Ada adik di sini!” Dayu memeluk erat ibunya, mencium pucuk kepala yang dihiasi rambut berwarna dua, hitam dan putih.
“Adik … pyar!” adunya layaknya anak kecil, tangannya pun masih menutupi telinga.
“Mbak War, coba lihat sini! Adik mau lihat senyum manisnya, boleh?” dirinya mencoba membujuk, memposisikan diri sendiri sebagai adik, sosok yang sudah meninggal dunia.
Berhasil, sedikit demi sedikit bu Warni mau mendongak menatap mata teduh Dayu, senyumnya pun terbit kala melihat bibir sosok yang ia anggap almarhumah adiknya itu tertarik lebar.
‘Alhamdulillah, terima kasih ya Rabb,’ dalam hati dirinya mengucapkan puji syukur dikarenakan ibunya tidak tantrum.
Tanpa Dayu sadari, interaksi dirinya dan sang ibu diamati oleh sepasang mata Elang layaknya mengamati mangsa.
Tiba-tiba sosok wanita cantik, mengenakan gaun selutut yang membentuk lekuk tubuh seksinya terlihat menuruni undakan tangga.
“Gucci kesayanganku!” teriaknya histeris.
“Siapa yang memecahkan benda itu?!” Tunjuknya saat sudah sampai di undakan tangga paling bawah.
Tidak ada yang berani menjawab, dua asisten rumah tangga memilih bungkam dan menunduk dalam.
Masira – wanita berumur 30 tahun tersebut lantas mendekati suaminya yang masih terlihat menatap tanpa ekspresi dua orang saling memeluk.
“Mas, siapa mereka?” kala tak mendapatkan jawaban dari sosok layaknya patung, Masira melangkah mendekati Dahayu.
“Kalian siapa?!”
Dahayu mengusap lembut kedua lengan ibunya, mencoba menenangkan. Menatap tanpa ekspresi pada wanita cantik berpenampilan modis. “Saya orang yang dikirim oleh Bandi!”
“Jadi, kau orangnya?” tanyanya seraya menelisik wanita yang sama sekali jauh dari kata seksi. Celana jeans longgar, kaos oblong dengan panjang menutupi paha, rambut pendek dibawah telinga.
“Iya!” jawab Dayu tegas, dirinya membantu sang ibu untuk berdiri.
Sira menatap aneh pada wanita paruh baya yang terlihat seperti orang bodoh. “Lantas, siapa dia?”
“Ibuku!” sahutnya tegas, tanpa sedikitpun terdengar nada ragu.
Kening Sira mengernyit dalam, matanya terbelalak saat melihat ibu si wanita menjatuhkan diri di lantai, tangannya memeluk erat betis. “Dia gila?!”
Dahayu tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan sesuatu dari saku samping celananya, lalu berjongkok, menatap penuh cinta wanita kesayangannya. “Ini kartunya, tapi Mbak main sendiri dulu ya, nanti Adik temani kalau sudah selesai urusannya.”
Bu Warni langsung merebut tumpukan kartu domino yang terbungkus plastik, lalu berjalan jongkok ke pojok ruangan, dirinya mulai mengocok dan mulai membagi kartu menjadi tiga.
“Dia tak gila, hanya mentalnya sedikit terganggu,” nadanya terdengar tenang nan rendah.
“Mereka betul-betul keterlaluan! Bagaimana bisa menyodorkan seseorang dari keturunan wanita gila kepada kami! Aku membatalkan kesepakatan ini!” Sira menghampiri suaminya. “Sayang, sebaiknya kita cari wanita lain saja!”
Amran Tabariq, atau yang sering dikenal dengan panggilan Tuan Amran, sama sekali tidak menanggapi rengekan istrinya, sebaliknya ia menoleh ke asisten rumah tangga yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya.
“Bi, bersihkan itu!” Dagunya menunjuk pada pecahan gucci.
“Baik, Tuan!”
Kemudian Amran memilih duduk pada sofa, disusul oleh istrinya yang bergelayut manja di lengannya.
“Kau!” panggilnya dingin, dengan nada menusuk. “Duduklah di sana!”
Tanpa kata apalagi membantah, Dahayu melangkah ke sofa mewah, duduk pada bagian ujung tepi, netranya sama sekali tidak menatap ke seberang.
“Apa Bandi sudah memberitahukan secara mendetail?” tanyanya, menatap wanita yang sedari tadi terlihat tenang, tidak mudah terkecoh, padahal mulut istrinya sudah sangat tidak sopan dalam berkata-kata.
“Dia hanya mengatakan telah menjodohkan – lebih tepatnya menjual saya kepada staf yang tinggal di villa bukit. Hanya informasi itu yang dia berikan,” jawabnya tanpa basa-basi, apalagi berusaha menutupi.
Memang benar adanya jika Bandi maupun Ijem, tidak ada memberitahu tentang siapa gerangan yang hendak menikahi Dahayu. Mereka juga menutup rapat mulut tentang hal penting, sengaja menyembunyikannya.
Amran menyipitkan mata, keningnya terlihat sedikit mengerut. Jelas dirinya terkejut atas pernyataan gamblang ini.
“Dasar manusia sampah! Bisa-bisanya tidak jujur, padahal mereka sudah menerima satu ruko di pajak kecamatan!” Sira terlihat marah, ia memang memiliki sifat sedikit tempramental.
‘Ternyata harga ku hanya satu buah ruko,’ batinnya terkekeh sinis.
“Bukan dijodohkan, tapi kau hanya akan dinikahi secara siri, sampai berhasil hamil dan melahirkan bayi yang sehat untuk kami, setelahnya – kau kembali pada status awal,” ungkap Sira, netranya menatap lekat sosok yang terlihat masih tetap tenang, tidak bereaksi sama sekali.
Namun, Amran melihat getar samar itu. Sekilas dan hanya sepersekian detik, ia memergoki tubuh wanita dihadapannya ini menegang.
‘Sebegitu tak berharganya kah diriku? Sampai seseorang yang seharusnya melindungi putri kandungnya, malah tega menjual serta mendorongku ke jurang penderitaan,’ Dayu sama sekali tidak menyangka, bila ayah yang selalu memaksa dirinya untuk tetap hormat, ternyata sosok begitu bejat.
“Apa lagi yang dia tawarkan kepada kalian?” tanyanya dengan nada dingin.
“Hanya Itu saja. Sebenarnya dia itu siapa mu?” kembali Sira bertanya.
“Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang perlu dibalas jasanya. Agar dikemudian hari tak lagi berani menggonggong,” ujarnya datar.
Wajah yang biasa selalu berekspresi datar itu, saat ini terlihat menyeringai samar. Amran tersenyum misterius. “Apa kau setuju?”
Dahayu mendongak, menatap berani sosok pria dewasa berkaos pas badan, celana selutut, postur tubuh atletis, wajahnya terbilang sedap dipandang, alis tebal, netra tajam, dagu terbelah. Pria dihadapannya ini, sama sekali tidak ia kenal. “Apa ada pilihan lain selain setuju? Tentu tidak bukan?”
Amran mengangguk, membalas tatapan lekat itu. “Berarti kau telah siap, bila suatu hari nanti berpisah dengan anakmu sendiri?”
‘Orang waras mana yang rela memberikan buah hatinya?!’ batinnya berteriak pilu, tetapi kepalanya mengangguk.
‘Semua demi Ibuk, agar dia bisa mendapatkan perawatan lebih baik, dan kami tak lagi menjadi pengemis hanya demi sebuah kartu kesehatan. Anggap saja aku menyewakan rahim ini.’ Dibalik bantal sofa, tangannya meremas lembut perutnya.
“Namun, saya menginginkan pernikahan resmi. Sah secara agama maupun negara!” ucapnya lantang, yang berhasil membuat istri Amran meradang.
“Siapa kau? Berani sekali meminta hal mustahil, hah?!”
Amran tidak mempedulikan istrinya, ia duduk tegak dengan siku bertumpu pada paha. “Apa alasan mu, sehingga memiliki nyali meminta hal tersebut …?”
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍