Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamparan
..."Walaupun kita baru, tapi selalu ada untuk bersatu. Tidak ada salahnya untuk mencoba hal baru, bukan?"...
...•...
...•...
Di taman rumah sakit yang ramai dengan suster dan para pekerja rumah sakit yang banyak berlalu-lalang. Seorang laki-laki dengan handuk dan air dingin di sampingnya. Ia tidak mengira, tubuh sekecil Aza bisa membuatnya kesakitan karena pipinya yang merah sebab tamparan keras gadis tersebut. Beruntung saja ia tadi berpapasan dengan Farhan dan memberinya air dingin berserta handuk untuk mengompresnya.
Kezia, Arden dan Arsa yang melewati taman menjadi salah fokus saat melihat Garrel di bangku taman dengan sedikit meringis kesakitan. Kezia pun menghampirinya dengan kedua Ar tersebut. "Kenapa, bang?" Tanyanya.
"Nggak apa-apa, cuman kejedot."
Walaupun sedikit heran dengan jawaban Garrel, tapi Kezia hanya mengiyakannya saja tanpa berkomentar. "Yang lain ada di sana, kok nggak ikutan?"
"Nanti aja, kamu duluan. Ngapain jalan-jalan?"
"Pengen aja, daripada cium bau-bau obat mulu."
Kezia akan melanjutkan langkahnya untuk masuk kembali, tapi tangannya ditarik oleh Arsa. "Aku di sini aja sama bang Garrel."
Kezia mengangguk dan melepaskan genggamannya. Garrel pun sedikit bingung dengan Arsa yang kembali dan duduk di sampingnya sambil memainkan kakinya yang bergelantungan. "Ngapain balik? Nanti dicariin bang Anka, lho."
"Mungkin enggak. Kan, nanti kak Zia yang ngomong."
Garrel hanya mengangguk lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti. Ia lupa bahwa hari ini Mamanya akan berkunjung untuk menemuinya sekaligus menemui adiknya, yaitu Gilang.
Sementara itu, suasana ruangan Rania sangat sepi walaupun banyak penghuninya. Apalagi kalau bukan mereka sedang tertidur dan hanyut pada ponselnya masing-masing. Sean yang tertidur dengan menyandarkan kepalanya di bahu Sheila dan Arzan yang berusaha untuk mencari posisi nyamannya dengan mata yang tertutup.
Fino menatap putri kecilnya yang sedang tertidur pulas dengan tersenyum. Sesekali juga ia menyentuh pipi putrinya yang sangat lucu. Benar-benar mirip dengan Naufal saat tertidur. Fino jadi ingat saat Naufal lahir dan menjadi putra pertamanya. Sebuah tangisan bayi yang memenuhi ruangan dan sangat rewel.
Bahkan, Fino saja kewalahan saat mengurus Naufal saat balita. Rania tidak kalah juga, ia jadi kurang tidur karena Naufal yang terus merengek saat malam hari. Walaupun seperti itu, kehadiran Naufal lah yang melengkapi keluarganya saat itu juga. Sebuah tangisan bayi yang selalu membuat seisi rumah ramai dan berusaha untuk membuat lelucon agar tersenyum.
Kini, Agatha terlahir sebagai putrinya. Sekaligus anak keduanya dengan istri tercinta yang sedang terlelap karena kelelahan. Fino berbalik untuk menatap wajah Rania lalu mengecup kening istrinya. Setelah itu, ia keluar untuk mencari udara segar dan membeli minuman di gerai sebelah rumah sakit yang tengah ramai pembeli anak remaja.
Saat akan kembali, mata Fino tidak sengaja menangkap sosok pria dan wanita yang ia kenal, yaitu Tara dan Gilang beserta seorang wanita yang bertubuh tinggi serta rambut sedikit kecoklatan. Ia tersenyum dan menghampirinya.
"Waduh! Lancar lahirannya?" sapa Gilang menepuk pundak Fino.
"Iya, lancar. Ke sini ngapain?" tanya Fino.
"Ngapain lagi? Tadi Anka yang ngasih info kalau Mamanya Naufal lahiran. Selamat ya, Fin!"
"HAHAHAHA. Iya, makasih. Masuk yuk! Tapi Rania lagi tidur sama yang lain tadi di dalam, mangkanya aku keluar aja cari udara sama minuman."
"Normal, kan?" tanya Tara.
Fino pun mengangguk cepat. "Iya, orang Mamanya itu kuat kok."
Tara tersenyum lega dan menarik tangan wanita yang berambut kecoklatan tersebut. "Kenalin ini Mamanya Garrel."
Fino berjabat tangan dengan wanita tersebut dengan tersenyum ramah. "Fino."
"Sofia."
Sofia celingak-celinguk menatap sekeliling untuk mencari seseorang yang sangat ia rindukan, siapa lagi kalau bukan Putra satu-satunya. "Garrel di mana?"
"Tadi dia keluar sama Zea. Nggak tau kemana," jawab Fino.
...••••...
Zea mengelus punggung Aza dengan berjalan beriringan menuju ruang jenazah yang Aza sebutkan tadi. Masih ada sedikit isakan tangisan yang memang gadis itu tahan. Zea sangat-sangat iba melihat keadaan Aza yang seperti ini. Ia tidak mengira kalau Aza berada di sini dengan bapaknya yang sudah dipanggil oleh sang pencipta.
Liburan yang Aza susun telah hancur bersamaan dengan hatinya yang teriris. Rasa keputusasaan dan ketakutannya menjadi campur aduk yang membuatnya tersesat dalam dirinya sendiri karena terlalu tenggelam dengan keadaannya.
"Rumah kamu deket vila dulu itu, kan? Waktu kita pertama kali bertemu."
Aza mengangguk dengan mengelap air mata yang akan menetes. Saat sudah dekat dengan ruang jenazah. Zea tiba-tiba melihat Sean yang baru saja keluar dari ruangan dengan mengucek matanya. Sebuah ide pun terlintas di benaknya. Ia menghampiri Sean dengan menarik tangan Aza.
"Dari mana lo?" tanya Sean menatap Zea, sesekali melirik Aza di sampingnya.
"Ada, deh." Zea melirik Aza dengan tatapan yang tidak dapat Aza artikan. "Boleh aku ceritain ke dia? Sapa tau bisa bantu kamu."
Aza melirik Sean sekilas dan langsung menundukkan kepalanya karena sedikit takut dengan tatapan Sean.
Sean yang bingung langsung menaikan sebelah alisnya. "Ada apa sih?"
"Sini!" Pinta Zea, ke sebuah bangku di sisi pintu ruangan. "Kamu bantu cerita juga kalau mau," mata Zea menatap Aza.
Sean pun duduk dan mulai mendengarkan cerita dari Zea yang membuatnya meneguk salivanya dengan kasar. Ia ikut merasa iba, dan saat Aza akan angkat bicara. Sean mendengar suara gadis tersebut sedikit bergetar. Mungkin karena terpikirkan dengan bapaknya yang tergeletak tanpa nyawa di ruangan dingin, ruang jenazah.
"Rumah kamu beneran di situ?" tanya Sean lembut.
Aza menganggukkan kepalanya. "Iya."
Tiba-tiba pintu ruang inap Rania terbuka dengan menampilkan seorang gadis dengan matanya yang berair. Karena apa? Karena ia mendengarkan cerita kedua gadis tersebut dari balik pintu yang tertutup, alias menguping. Sheila mendekati Aza da menatap wajah gadis kecil tersebut. "Boleh peluk kamu nggak?"
Tanpa menjawabnya, Aza langsung memeluk Sheila dengan erat dan menyalurkan perasaan yang sedang terombang-ambing. Sean tadinya kaget karena melihat Sheila yang akan menangis, tapi ia urungkan karena tau kalau gadis itu menguping pembicaraannya. Sedikit kesal dengan kelakuan Sheila, tapi ia sudah terbiasa.
"Jangan bilang nguping," kata Sean.
Sheila sedikit cengengesan dan mengelap air mata. "Dikit. Maaf, ya?" Ia melepaskan pelukannya dan mengusap pipi Aza untuk menyingkirkannya air matanya, "nama kamu Aza?"
"Iya."
"Mau jadi temen aku nggak? Nama aku Sheila."
Ujung bibir Aza terangkat yang membuat sebuah senyuman tipis terbit di sana. "Boleh."
Sheila kembali memeluk gadis tersebut dengan mengelus punggung dan rambut Aza dengan lembut untuk menenangkannya. "Kamu perempuan yang tangguh, Za."
Zea dan Sean tersenyum melihatnya. Sheila memang anak manja, tapi dirinya dapat membuat orang di sekitarnya nyaman dengan keberadaan. Walaupun terkadang sikapnya suka malu-maluin dan membuat orang lain kesal.
Garrel berjalan dengan Arsa di sebelahnya dan sesekali menyentuh pipinya yang mulai mereda rasa sakitnya. Tiba-tiba langkah terhenti saat melihat Sheila memeluk Aza. Sean pun heran, ia juga melihat Garrel dan Arsa akan menghampirinya, tapi justru Garrel putar balik. "Ngapain lo balik? Sini!" titah Sean.
Garrel menghela nafasnya dan berbalik kembali untuk menghampiri Sean. "Apa?"
Aza mendongak saat mendengar suara Garrel. Sedikit kaget karena Garrel tiba-tiba ada di hadapannya dengan mengalihkan pandangannya. "Maaf." Suara Aza terlalu kecil untuk sampai di indera pendengarannya Garrel dah hanya sampai ke telinga Zea.
"Sedikit keras, Za," kata Zea.
"Maaf!"
Sheila, Sean sontak terkejut. Tidak tertinggal, Arsa langsung mendekati Sean dengan menggenggam tangan Abangnya. Aza melirik sekitarnya dan merasa bersalah karena membuat mereka merasa keanehan karena dirinya.
"Maaf," katanya lagi.
Garrel meliriknya sekilas dan akan kembali berbalik untuk meninggalkan tempatnya. Tapi, ia membulatkan matanya saat melihat Tara, Gilang, Fino dan juga mamanya yang sedang berjalan ke arahnya.
Sean yang awalnya akan menanyakan sesuatu perihal kenapa pipi Garrel memerah menjadi terkurung karena Garrel yang berusaha untuk melarikan diri. Jika tidak, Sofia akan terus mengkhawatirkan pasal pipinya yang memerah.
Memang iya Garrel merindukan Mamanya. Tapi jika kondisinya seperti ini mungkin akan membuat Sofia khawatir dan akan terus-terusan menanyakan keadaannya. Sebelum Garrel kabur, Sofia terlebih dahulu melihat putranya dan berjalan lebih cepat menghampirinya.
Saat akan berlari, Garrel sudah merasakan tangannya ditarik seseorang. Dan dia yakin kalau itu mamanya. Sofia langsung menarik Garrel ke dalam dekapannya dan mengelus rambut Garrel dengan lembut. "Kamu nggak kangen Mama?"
Garrel tertawa kecil, lalu membalas pelukan Sofia dengan erat. Jujur saja, ia juga sangat merindukan sosok Sofia yang sangat ia sayangi. Hanya saja, ia tidak ingin membuat Sofia mengkhawatirkan dirinya.
Tangan Sofia melonggar dan akan melepaskan pelukannya, tapi Garrel langsung menariknya kembali karena takut mamanya melihat kondisi wajahnya. Tara dan Gilang juga sudah melihat wajah Garrel dan akan mempertanyakan.
"Wajah kamu kenapa, Rel?" tanya Gilang.
Sofia sontak melepaskan pelukannya dan menatap wajah Putranya yang berusaha mengalihkan pandangannya. "Tatap mama!"
Garrel meneguk ludahnya dan menatap wajah Sofia. Mentalnya menjadi ciut saat mendapatkan tatapan tajam dari wanita yang ia sayangi. "Kenapa wajah kamu?"
Garrel melirik Aza sekilas dan nyengir tanpa bersalah. "Jatuh tadi."
"Maaf, Tan. Saya yang tampar Garrel."
Zea mengakui kejujuran serta keberanian Aza yang mengucapkannya walaupun suaranya sedikit bergetar. Di sisi lain, Sean, Sheila, Gilang dan Tara kaget dengan seorang gadis mungil di samping Zea yang terlihat sangat mengenaskan karena matanya yang sembab. Bahkan Garrel membulatkan matanya saat mendengar ucapan kejujuran Aza.
"Kamu menampar anak saya?" tanya Sofia.
Aza menganggukkan kepalanya. "Iya, Tante. Maaf, aku nggak sengaja dan kelepasan."
"Apa? Nggak apa-apa, kok. Garrel emang suka ngeselin anaknya."
Lagi-lagi Garrel membulatkan matanya menatap Sofia dan akan merengek. Tapi ia tau tempat dan mengurungkan niatnya. "Mama nggak marah?"
"Kenapa marah? Kamu emang ngeselin kok," jawab Sofia.
"Tap-"
"Udah, nggak usah dibahas. Pipi kamu udah di kompres?"
Garrel mengangguk. "Udah."
Ada rasa lega di hati Garrel. Reaksi Mamanya sangat di luar dugaannya. Walaupun begitu, ia tidak akan menjelaskan perihal apa yang terjadi sehingga dirinya mendapat sebuah tamparan. Sofia bahkan mendekati Aza dan mengajaknya berbicara yang tidak dapat Garrel dengar.
Sofia menatap wajah Aza dengan saksama. "Mata kamu kenapa? Kamu abis nangis, ya? Apa karena anak Tante?"
Sontak Garrel membulatkan matanya. Beruntung saja ia sedikit menggeser tubuhnya agar lebih dekat dan mendengar apa yang Sofia katakan. "Enggak, aku nggak ngapa-ngapain, kok," sahut Garrel.
Sean menahan tawanya saat melihat wajah Garrel yang kepanikan karena dirinya sedang dituduh oleh orangtuanya sendiri. "Mungkin Garrel bikin ceweknya sakit hati, Tan," balas Sean yang langsung mendapatkan hadiah tatapan sinis dari sepupunya, Garrel.
"Beneran, Ka?" yakin Sofia.
"Enggak! Aku nggak ngapa-ngapain, Ma. Suer.." Garrel mengangkat jari telunjuk dan jari tengah bersamaan.
"Bener?"
"Iyalah, masa cowok sekeren gini bikin hati cewek sakit."
"Halah!" sahut Sean.
Tara geleng-geleng kepala melihat putra sulungnya yang sedang usil dengan Garrel. Bahkan Gilang saja juga tidak sempat berpikir dari sifat Sean yang terlalu random. Sementara Zea dan Sheila hanya diam tidak ingin ikut campur. Apalagi Arsa yang selalu nyerocos tiba-tiba terdiam seribu bahasa.
...••••...
...TBC....