NovelToon NovelToon
Membawa Benih Mafia

Membawa Benih Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Lari Saat Hamil / Aliansi Pernikahan / Iblis
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: CantiknyaKamu

Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MBM

Alaska harus segara kembali ke mansion milik nya,karena mama nya secara tiba-tiba datang marah-marah mencari Sancha.

kepala Alaska semakin mumet,ia tiba di mansion melihat ada mama nya,Tio,Nadya dan paman lalu tante nya..Alaska menghembuskan nafas berat lalu berjalan ke arah mereka.

Suara tinggi dan nada emosi mendominasi.

Tio (mengepal tangan):

“Apa kau sudah gila, Alaska!? Mengurung seorang perempuan! Itu bukan cara keluarga kita menyelesaikan masalah!”

Nadya:

“Dan dia hamil! Apa kau bahkan punya sedikit nurani untuk berpikir sebelum bertindak?”

Paman Dirja:

“Ini akan menghancurkan reputasi keluarga jika media tahu! Apa kau ingin semua nama Alchui Mahendra jadi bahan hinaan?”

Alaska berdiri di depan jendela, memunggungi semua orang. Tubuhnya tegap, dingin.

Ia tidak menjawab sepatah kata pun.

Uca (suara tajam, penuh luka):

“Aku tidak tahu anak macam apa yang aku besarkan. Bahkan binatang pun tak memperlakukan induknya seperti ini…”

Alaska akhirnya berbalik. Tatapannya tajam, tapi ekspresinya datar.

Alaska:

“Cukup. Kalian sudah selesai bicara? Karena aku sudah bisa mengambil keputusan untuk hidup ku sendiri,jangan mencampuri…!”

Tio (berdiri, mengejar):

“ini bukan soal bisa apa tidak mengambil keputusan, tapi soal benar dan salah!”

Alaska (tenang tapi dingin):

“Aku akan tanggung jawab. Tapi dengan caraku. Bukan dengan kalian menyetir hidupku seperti bocah 12 tahun.”

Semua terdiam.

Kata-katanya memang dingin, tapi tidak ada yang bisa membantah bahwa Alaska selalu bertindak atas kendali penuh—meski caranya salah.

Saat keributan itu masih bergema… pintu depan terbuka.

Sancha masuk, dikawal sopan oleh pengawal, dan matanya langsung melihat ke arah ruang tengah. Ia melihat keluarga besar berkumpul, semua mata menoleh ke arahnya.

Wajah Sancha pucat. Matanya sembab, tubuhnya gemetar menahan dingin dan tekanan. Ia sangat lelah—hari ini ia baru saja menguburkan ayahnya.

Mereka semua memandangnya. Beberapa dengan rasa ingin tahu. Sebagian dengan iba. Dan beberapa lagi, dengan penilaian diam-diam.

Sancha menundukkan kepala.

Ia tidak ingin bicara. Tidak ingin menjelaskan. Tidak ingin jadi pusat perhatian.

Langkahnya pelan… satu per satu menuju tangga.

“Sancha…”

suara Uca nyaris berbisik memanggilnya. Tapi Sancha hanya menoleh sedikit, memberikan senyum kecil, lalu kembali menunduk.

Ia tidak bicara. Ia bahkan tidak menatap Alaska.

Langkahnya naik tangga, dan akhirnya hilang di balik lorong menuju kamar.

Semua yang tersisa di ruang tengah hanya bisa terdiam.

Tatapan Uca mengarah tajam ke Alaska.

Uca:

“Kau lihat sendiri. Bahkan luka hatinya tidak butuh satu patah kata untuk menjatuhkanmu.”

Alaska menghela napas. Tapi lagi-lagi, ia memilih diam.

___

Langit di luar kamar mendung.

Petir sesekali membelah langit kota, tapi di dalam kamar itu hanya terdengar isak tangis Sancha yang tak tertahan lagi.

Sancha merebahkan dirinya di atas ranjang ukuran king. Gaun hitamnya dari pemakaman masih melekat di tubuhnya yang kurus.

Ia membenamkan wajahnya ke bantal—dan di sanalah semua beban meledak.

“Haaahhh—!!”

“Papa…”

“Kenapa semua ini harus aku yang tanggung…?”

Tangisnya tak beraturan. Ia menjerit, menggigit bantalnya, memukul kasur, berusaha melepaskan semua rasa: dikhianati, kehilangan, dipenjara, dan dihina.

Beberapa menit berlalu… lalu ia kehabisan tenaga.

Tubuhnya lunglai. Ia perlahan terdiam.

Napasnya masih tersengal, tapi tubuhnya menyerah pada kelelahan emosional dan fisik.

Ia tertidur… dengan mata masih basah.

Layar besar memenuhi dinding ruangan.

Amar dan Ali duduk terpaku, memandangi salah satu layar yang menampilkan feed dari CCTV kamar Sancha.

“Dia menangis…” ujar Amar pelan.

“Ini… keterlaluan, Tuan menyuruh pasang kamera di kamar perempuan hamil…”

Ali menoleh cepat.

“Jaga ucapanmu.”

Langkah kaki terdengar masuk.

Alaska masuk ke ruangan. Matanya menatap lurus ke arah layar yang memperlihatkan Sancha tidur dalam kelelahan.

Ia tidak berkata sepatah kata pun.

“Tuan… dia terlihat sangat hancur,” gumam Amar memberanikan diri.

Alaska masih menatap layar. Tangannya mengepal pelan.

“Bukan salahku dia berakhir seperti ini…” bisiknya pelan, tapi dalam.

Sancha menggeliat kecil di tidurnya. Tangan mungilnya memeluk perutnya sendiri secara naluriah, seolah tubuhnya berusaha melindungi janin kecil di dalam sana.

Ia tak tahu—bahwa setiap detik dirinya terpantau.

Setiap tangis, jerit, desah napas, hingga gumaman lirihnya… menjadi saksi bisu bagi orang yang tak seharusnya menyaksikan.

Pagi Ruangan Kerja Pribadi Alaska 07:45

Pagi itu tak seperti biasanya.

Langit cerah, tapi wajah Alaska pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia duduk di sofa ruang kerjanya sambil menekan pelipis dan perut bagian atas.

“Tuan, Anda belum menyentuh kopi atau sarapan pagi Anda…” ujar Amar sambil menyodorkan tablet kerja.

Alaska mengangkat tangan tanda cukup.

Tubuhnya membungkuk pelan, lalu dengan cepat ia berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi—

…dan muntah.

“Tuan!?” Amar panik.

Setelah beberapa menit, Alaska terbaring di sofa ruang istirahat. Selimut tipis menutupi tubuhnya. Wajahnya masih lemas.

Ali segera memanggil dokter keluarga, Dr. Hans.

Dr. Hans (memeriksa nadi Alaska):

“Aneh… tekanan darah stabil, jantung baik, tapi gejala seperti morning sickness…”

Alaska (masih pucat, gumam):

“Apa kau bilang?”

Dr. Hans:

“Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh wanita hamil muda. Mual-mual, muntah tanpa sebab, lemas, sensitif terhadap bau. Tapi ini… Tuan yang mengalaminya.”

Amar:

“Apa mungkin ini… dampak psikologis?”

Dr. Hans mengangguk pelan.

“Ada teori medis, sympathetic pregnancy atau Couvade Syndrome. Kadang pria yang sangat terikat secara emosional dengan wanita hamil bisa merasakan gejala yang sama. Tapi ini… kasus langka.”

Sementara itu, Sancha masih di kamarnya.

Ia duduk di pinggir jendela, memeluk lututnya. Matanya memandangi langit pagi, tampak tenang—padahal pikirannya masih berkecamuk.

Ia tidak tahu bahwa di ruangan lain, pria yang membuatnya menderita justru mulai merasakan penderitaan itu sendiri.

___

Siang Hari Mansion Alaska.

Matahari sudah tinggi, tapi kamar Sancha tetap remang, tirai tipis menghalangi cahaya langsung masuk ke dalam.

Sancha duduk termenung di tepi tempat tidur. Wajahnya kosong, matanya sembab. Di tangannya, segelas susu hangat yang bahkan tak disentuh.

Pintu kamar terbuka perlahan.

Naif, maid muda yang biasanya pendiam dan penuh kehati-hatian, masuk dengan nampan sarapan di tangannya.

Naif:

“Nyonya… ini makan siangnya. Saya… bawakan yang hangat.”

Sancha menoleh tanpa semangat, hanya mengangguk kecil. Naif mendekat dan meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur.

Naif mencuri pandang, lalu duduk perlahan di kursi di dekat kasur. Ia mengatupkan tangannya—ragu.

Naif (pelan):

“Nyonya… maaf kalau saya lancang. Tapi… boleh saya tanya sesuatu?”

Sancha menoleh, masih tanpa emosi.

Sancha:

“Apa lagi sekarang, Naif?”

Naif menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk sebelum bicara.

Naif:

“Tadi pagi… saya lihat Tuan Alaska tidak pergi ke kantor.”

Sancha hanya diam.

Naif (lanjut, dengan suara lebih pelan):

“Beberapa orang bilang… beliau muntah-muntah, lemas. Dokter datang pagi-pagi buta. Sejak itu… tidak ada yang boleh mendekat.”

Alis Sancha terangkat sedikit. Baru kali ini ia mendengar Alaska sakit. Biasanya pria itu seperti batu—dingin, keras, tak tergoyahkan.

Sancha:

“Mual…?”

Naif mengangguk cepat.

Naif:

“Seperti gejala orang hamil muda, Nyonya. Tapi… anehnya yang mengalaminya justru beliau.”

Sancha terdiam.

Ada sesuatu dalam kalimat itu yang menghantam batinnya, tapi ia tidak tahu apa.

Naif melanjutkan sambil melirik pintu.

Naif:

“Saya tak tahu kenapa, tapi Tuan tampak sangat kacau pagi ini. Dokter bilang… mungkin karena ikatan emosi dengan Nyonya.”

Sancha memejamkan matanya. Tangannya mengepal di atas pangkuan.

Sancha (lirih):

“Bodoh… dia yang mengurungku, memperkosaku, menghancurkan hidupku… tapi malah dia yang sakit?”

Naif menunduk dalam. Ia tahu tak ada jawaban yang bisa menghibur Sancha saat ini.

Naif:

“Saya tahu… saya bukan siapa-siapa. Tapi… saya bisa rasakan, Tuan Alaska bukan sepenuhnya jahat. Entah apa yang mengikat kalian, Nyonya… tapi sesuatu sedang berubah.”

Sancha menatap kosong ke arah jendela.

Di luar, langit mulai mendung.

Di dalam, hatinya makin bingung—antara membenci dan mulai memikirkan ulang semua luka yang ia alami.

1
Faulinsa
lanjut kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!