NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aurenhart

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung rendah di atas lembah Belvoir, menyelimuti ladang herbal luas yang terbentang sejauh mata memandang. Tanah masih basah oleh hujan malam sebelumnya, dan udara membawa aroma menyegarkan dari dedaunan Serac Bloom yang mekar sempurna. Di tengah pemandangan itu, Vanessa berdiri di antara para bangsawan dan ahli tanaman, mengenakan mantel berkerah tinggi berwarna gading dengan lapisan dalam beludru biru gelap yang memantulkan warna matanya.

Di sampingnya, Maxime—dalam mantel hitam berpotongan militer dan sarung tangan kulit halus—menatap sekeliling dengan tenang namun tajam. Ia tampak seperti bayangan pelindung di sisi Vanessa, selalu satu langkah di belakang tapi tak pernah jauh dari jangkauan.

“Ini proses pemisahan zat aktif dari ekstrak Gleira Mint,” jelas salah satu pengawas ladang, menunjuk sebuah alat pemanas dan pelat pengering tradisional. “Kami biasanya menggunakan panas matahari, tapi sejak musim ini terlalu lembab, banyak dari hasil panen membusuk.”

Vanessa mengangguk, lalu menunduk untuk mengamati tekstur daun mint kering di atas nampan. “Panas tidak langsung bisa menjaga kestabilan minyak atsiri mint, tapi hanya jika suhunya dijaga antara 40–50 derajat. Jika melebihi itu, senyawa volatil bisa menguap dan melemahkan efeknya.” Ucapannya tenang, matanya tak lepas dari daun-daun itu.

Beberapa kepala klan tampak saling berpandangan.

“Kau mempelajari ini dari Tabib Alana?” tanya seorang wanita tua berjubah cokelat—Kepala Klan Westworth, yang dikenal keras dan tak mudah terkesan.

Vanessa menoleh. Senyumnya kecil, percaya diri. “Sebagian besar, ya. Tapi sebagian lagi dari buku-buku tua yang saya temukan di ruang penyimpanan istana. Dan tentu, dari pengamatan langsung.”

“Pengamatan langsung?” tanya seorang ahli farmasi, matanya menyipit. “Pernah melakukan uji pengolahan?”

“Satu dua kali,” jawab Vanessa. “Meski tidak sebanyak kalian, tentu. Tapi cukup untuk tahu kalau pemrosesan tanaman ini seringkali lebih rumit dari sekadar dijemur di bawah matahari.”

Maxime menoleh pelan ke arah Vanessa, sedikit terkejut. Kata-katanya terdengar alami… bahkan dia sendiri tak bisa menemukan celah. Tidak seperti Vivienne yang dulu dikenalnya.

Di belakang, Lady Elowen mendekat, tersenyum kecil. “Saya hampir tak mengenali Anda, Yang Mulia. Vivienne muda yang dulu saya kenal lebih suka berbicara tentang bordir sutra dan parfum bunga.”

Vanessa menanggapi dengan anggun, “Seiring waktu, prioritas bergeser. Kadang… hidup memaksa kita melihat hal-hal yang dulu tak kita pedulikan.”

“Perubahan yang sangat… mengesankan,” gumam Lady Elowen.

Sementara itu, Theo—yang berdiri agak jauh bersama beberapa pemilik ladang besar—menatap Vanessa tanpa berkata. Tak seperti kemarin, kali ini ia lebih diam, lebih menahan diri. Entah karena ciuman yang dilihatnya semalam.

“Saya ingin melihat sistem penyimpanan tanaman kering kalian. Apakah boleh?” tanya Vanessa kepada kepala klan.

“Dengan senang hati,” jawab sang pemilik ladang. “Tapi, izinkan saya bertanya… Bagaimana Anda tahu tentang stabilitas suhu seperti itu? Bahkan tabib kami tak banyak bicara soal itu.”

Vanessa sempat menegang, namun ia cepat menjawab. “Beberapa catatan kuno menyebutkannya. Dan… saya mengamati efeknya ketika beberapa tanaman yang saya pelajari berubah warna dan bau setelah penyimpanan. Dari sana, saya mulai menyimpulkan.”

Maxime menyimak diam-diam. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Vanessa makin menyudutkannya dalam diam—karena kini ia sadar, wanita di sampingnya bukan hanya mampu… tapi benar-benar menguasai. Bukan Vivienne yang dulu ia anggap tak berguna.

Theo melangkah lebih dekat, suaranya tenang. “Aku rasa Belvoir beruntung mendapat kunjungan dari Yang Mulia Ratu. Mungkin kami yang harus belajar lebih banyak dari pusat.”

Maxime menoleh tajam. “Belajar tidak butuh pujian. Cukup pengakuan terhadap yang pantas.”

Seketika suasana menegang.

Vanessa langsung menyela, “Kita semua belajar. Baik di pusat, maupun di distrik. Yang membedakan hanya siapa yang bersedia untuk memulai lebih dulu.”

Beberapa kepala klan tampak tersenyum, mengangguk pelan. Vanessa berhasil menyelamatkan suasana.

Namun ketegangan pribadi tetap terasa jelas. Maxime—yang masih terjebak dalam sisa-sisa ciuman semalam—terlihat diam, namun ekspresi matanya sulit dibaca. Dan Vanessa… meski tampil sempurna di mata orang banyak, di balik gaunnya yang elegan, napasnya belum tenang sepenuhnya.

Sementara Theo, menatap keduanya dari kejauhan. Satu hal pasti: di antara tanaman-tanaman penyembuh itu… luka-luka mereka justru tampak semakin dalam.

——

Langkah-langkah Selene bergema pelan di lorong bawah tanah yang lembap dan gelap, hanya diterangi lampu minyak redup yang tergantung dari paku-paku tua di dinding batu. Tempat ini jauh dari cahaya kerajaan, jauh dari sorotan istana yang selama ini mengenalnya sebagai pelayan yang anggun, lembut, dan penuh dedikasi.

Tapi di sini—di kedalaman tempat ini—Selene bukan siapa-siapa… kecuali sekutu dari rencana besar yang telah lama disusun dalam diam.

Di ujung lorong, sosok pria berselubung hitam telah menunggunya. Duduk di atas kursi batu tua, pria itu tampak seperti bayangan hidup, diam namun mengancam, dengan sorot mata yang menyala di balik kerudung panjangnya. Di atas meja di sampingnya terukir simbol tua: dua ular melilit tongkat berduri—sebuah lambang yang telah menjadi mantra bagi mereka yang ingin membebaskan Belvoir dari cengkeraman Aragon dan… keluarga Aurenhart.

“Dia benar-benar datang,” suara pria itu akhirnya terdengar. Dalam, dingin, dan berat oleh kebencian yang telah berkarat selama bertahun-tahun. “Permaisuri Vivienne d’Aurenhart. Masih hidup, dan dibawa kembali oleh tangan Kaisar sendiri. Ironi yang lucu.”

Selene melipat tangan di depan dada. “Dia tidak seperti dulu. Dia lebih tenang. Lebih cerdas. Bahkan membuat rakyat mulai mempercayainya kembali.”

Pria itu terkekeh pelan—suara yang lebih mirip geraman. “Itulah bahayanya. Dia membawa nama Aurenhart dan mengenakan wajah yang lebih mulia dari para pendahulunya. Tapi darahnya tetap sama… darah penindas yang menjadikan Belvoir hanya sebagai pabrik tanaman obat untuk kejayaan Aragon.”

Ia berdiri, melangkah pelan ke arah lambang di meja, lalu mengusapnya dengan ujung jarinya.

“Apa yang dilakukan leluhurnya terhadap kami… tidak bisa dimaafkan. Mereka mencabut hak tanah para klan, memonopoli perdagangan, dan membungkam tabib-tabib lokal demi aturan pusat. Klan kami… dijadikan pelayan di tanah kami sendiri.”

Selene menatapnya tanpa berkedip. “Dan sekarang mereka datang lagi dengan janji perbaikan. Seolah semua bisa diperbaiki dengan satu senyuman lembut dari Vivienne.”

Pria itu menoleh, matanya menusuk. “Itulah tugasmu. Pecahkan citra suci itu. Tunjukkan pada dunia bahwa permaisuri mereka adalah bayangan dari kebusukan masa lalu. Bukan pemimpin—tapi simbol penindasan yang dibungkus emas.”

Selene menyunggingkan senyum miring. “Aku akan menjatuhkannya dari tempat tertinggi. Aku akan buat semua orang yang memujanya hari ini… mencampakkannya besok.”

Pria itu tampak puas. Ia berbalik perlahan, menyatu kembali dalam kegelapan lorong.

“Dan saat itu terjadi,” katanya pelan, nyaris seperti mantra, “Belvoir akan memisahkan diri. Tanpa mahkota. Tanpa Aurenhart. Tanpa Vivienne.”

Langkah-langkahnya menghilang dalam lorong sunyi, meninggalkan Selene berdiri sendiri dalam kegelapan. Tapi dalam dadanya, berkobar bara niat yang tak akan padam sampai wanita bernama Vivienne—atau siapa pun yang mengisi tubuh itu—runtuh sepenuhnya.

Keluarga d’Aurenhart bukan hanya sebuah nama tua dalam sejarah Aragon—mereka adalah fondasi dari banyak kejayaan, dan juga ketakutan.

Berakar dari garis keturunan bangsawan tertua di utara, para pendiri keluarga d’Aurenhart dikenal sebagai pelindung utama seni pengobatan kuno dan penguasa atas ladang herbal paling subur di wilayah kerajaan. Mereka bukan prajurit, bukan penakluk, tapi para pengetahuan dan politikus yang cerdas—yang tahu bagaimana mengendalikan kerajaan bukan lewat pedang, melainkan lewat kendali atas kehidupan itu sendiri: obat, ramuan, dan jaringan pengobatan yang membentang luas dari istana pusat hingga desa-desa perbatasan.

Di masa lalu, ketika Aragon dilanda wabah besar yang melumpuhkan tiga distrik sekaligus, d’Aurenhart-lah yang menyediakan formula penawar pertama. Saat banyak bangsawan sibuk melindungi harta mereka, d’Aurenhart turun langsung—menyumbangkan obat-obatan, membangun pusat penyembuhan, dan mendirikan aliansi dengan klan-klan medis. Bagi rakyat, mereka adalah penyelamat. Tapi bagi banyak klan herbal kecil dan independen… mereka adalah bayangan kekuasaan yang licik.

Rumor selalu menyertai kekuasaan. Ada bisikan tentang cara-cara kotor keluarga ini meluaskan wilayah, tentang ladang-ladang yang ‘diberikan secara sukarela’ oleh pemilik sebelumnya, dan tentang tabib-tabib yang ‘menghilang’ setelah menolak kerja sama dengan Aurenhart. Tapi tidak ada yang berani menyuarakannya lantang. Karena satu hal pasti: jika keluarga kerajaan adalah kepala Aragon, maka d’Aurenhart adalah nadi dan darahnya.

Di istana pusat, nama d’Aurenhart selalu disambut dengan anggukan hormat, senyum diplomatis, dan terkadang—rasa takut yang tersembunyi. Tak heran jika Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, sebagai satu-satunya putri sah dari garis utama keluarga, mendapat perlakuan istimewa sejak lahir. Ia adalah permaisuri bukan hanya karena pernikahan, tapi karena darahnya menuntut tempat itu.

Kepala keluarga saat ini, Alderic d’Aurenhart, adalah pria dingin dan sangat licin dalam politik. Di balik wajah tenangnya tersembunyi strategi panjang dan ambisi yang sulit ditebak. Ia adalah tipikal pria yang tidak membiarkan satu inci pun kekuasaan luput dari genggamannya. Baginya, keluarga adalah alat. Dan kekuasaan… satu-satunya alasan untuk bergerak.

Pernikahan putrinya, Vivienne, dengan Maxime Leclair d’Aragon bukan bagian dari cerita cinta klasik. Itu hanyalah satu dari sekian strategi Alderic—hasil dari campur tangan yang licik, termasuk penggunaan ramuan yang menimbulkan skandal di balik pintu istana.

Namun, Ayah Maxime yaitu Alaric d’Aragon—saat itu masih menjadi kaisar—perlu menyatukan kerajaan yang tengah rapuh karena konflik perbatasan dan ketimpangan distribusi medis, ia memilih menjalin aliansi politik dengan satu-satunya cara paling aman dan efektif, sekaligus menghindari skandal Maxime dan Vivienne yaitu dengan menikahi keduanya.

Vivienne, kala itu baru berusia dua puluh satu, dikenal luas sebagai wanita cantik, berpendidikan, namun manja. Maxime adalah simbol kekuasaan tertinggi yang hanya bisa dimenangkan melalui taktik, bukan kasih sayang. Pernikahan mereka adalah hasil negosiasi panjang antara istana pusat dan klan Aurenhart—sebuah perjanjian dingin yang disusun lebih mirip kontrak dagang daripada kisah cinta.

Namun semua orang tahu: dengan bersatunya keluarga kerajaan dan keluarga d’Aurenhart, Aragon menjadi lebih stabil dari sebelumnya.

Sayangnya, stabilitas tidak pernah berarti kebahagiaan.

Pernikahan mereka berjalan hambar. Dingin. Tidak ada kehangatan antara Maxime dan Vivienne—selama lima tahun lamanya. Desas-desus tentang selir, tentang pelayan istana bernama Selene, dan tentang betapa Vivienne tidak pernah mendapat tempat di hati Kaisar mulai menyebar diam-diam…

Hingga sekarang.

——

Langit Belvoir sore itu dibalut jingga lembut. Sinar mentari menembus sela-sela dedaunan, menari di atas rerumputan dan menciptakan bayangan bergerak yang tenang. Di sudut taman istana yang rindang, Vanessa duduk di bangku batu berukir, bersandar santai sambil menikmati sepiring kecil kudapan kue rempah dan teh hangat yang mengepul harum.

“Yang Mulia, mau saya tambah tehnya?” tanya Sera lembut, tangannya sudah terulur ke teko porselen yang terletak di atas meja kecil di samping mereka.

“Boleh. Tapi yang banyak gulanya ya,” sahut Vanessa sambil tersenyum kecil. “Teh pahit membuatku merasa seperti sedang menghadapi rapat majelis.”

Sera terkikik. “Baik, Yang Mulia. Saya akan pastikan tehnya manis seperti mood Anda hari ini.”

Sera menuang teh perlahan, aroma rempah dan madu menguar lembut di antara mereka. Setelah mengisi cangkir, gadis itu berkata pelan, “Saya tahu, Yang Mulia tidak suka teh pahit.”

Vanessa tersenyum kecil, menoleh dengan tatapan penuh arti. “Tentu saja. Di dunia ini, siapa lagi yang paling tahu seleraku selain kau?”

Sera tertawa pelan, rona bangga terselip di wajahnya. “Itu karena saya yang selalu diam-diam mencicipi sisa teh Anda.”

Vanessa mengangkat alis, berpura-pura kaget. “Jadi selama ini kau mencuri tehnya?”

“Bukan mencuri, hanya… memastikan kualitasnya,” jawab Sera cepat, membuat keduanya tertawa bersamaan.

Suasana perlahan berubah hening. Hanya gemerisik dedaunan dan desir angin sore yang menyapu taman, menerbangkan beberapa helai rambut panjang Vivienne dari balik bahunya.

Vanessa memandang lurus ke cangkir tehnya yang masih mengepul, sebelum akhirnya bersuara pelan, memecah keheningan yang menggantung di antara mereka.

“Omong-omong, Sera… sejak insiden racun itu, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Ada… bagian-bagian dalam ingatanku yang terasa kabur. Tentang keluargaku, misalnya. Bisa kau bantu mengingatkanku?”

Sera membelalakkan mata. Panik terpancar jelas di wajahnya. “Yang Mulia… apakah racun itu sampai merusak ingatan Anda?”

Vanessa berpaling, menatap rerumputan yang bergoyang pelan, menyembunyikan kegugupan yang menggerogoti dirinya. Ia sebenarnya hanya ingin tahu—tentang masa lalu Vivienne, tentang keluarga Aurenhart. Tapi tentu ia tak bisa mengaku datang dari masa depan, atau bahwa jiwanya bukan milik wanita yang kini ia gantikan.

Ia menarik napas. “Entahlah. Ada yang samar, ada yang terasa asing. Tapi jika kau tak nyaman membicarakannya, tidak apa-apa. Aku tidak ingin memaksamu.”

Sera menggeleng cepat, lalu menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya dengan penuh ketulusan. “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Anda berhak tahu, dan saya akan menceritakan semua yang saya tahu… setidaknya dari apa yang saya lihat dan alami selama bekerja untuk Anda.”

Senyum tipis muncul di sudut bibir Vanessa. Hangat—tapi ada luka yang tak bisa disembunyikan di balik tatapan matanya.

“Yang Mulia berasal dari salah satu keluarga tertua dan paling dihormati di Kerajaan Aragon. Keluarga d’Aurenhart sudah ada jauh sebelum Kaisar Alaric memegang takhta. Mereka dikenal bukan hanya karena darah bangsawan yang mengalir dalam nadi mereka… tapi karena kebijaksanaan dan pengaruh politik yang mengakar kuat di berbagai wilayah.”

Vanessa mengangguk pelan, menyimak dengan perhatian penuh.

“Ayah Anda, Tuan Alderic d’Aurenhart, adalah seorang bangsawan tulen—keturunan langsung dari garis utama Aurenhart yang pernah menduduki posisi penting di dewan istana selama beberapa generasi. Ia bukan pria sembarangan. Meskipun wajahnya tak sering terlihat di istana pusat, setiap keputusan yang dikeluarkannya di balik layar… punya bobot yang bahkan membuat para Adipati tua berpikir dua kali sebelum menentangnya.”

Sera menarik napas pelan, menundukkan kepala sejenak.

“Dan Lady Celestine, ibu Anda… adalah putri dari keluarga Laverne. Seorang wanita yang penuh wibawa, anggun, dan berpendidikan tinggi. Katanya, saat muda, beliau dikenal sebagai salah satu penyair paling cemerlang yang pernah muncul dari Istana Utara. Ia dan Tuan Alderic… pasangan yang kuat, tapi tak pernah memperlihatkan kekuatan mereka dengan suara tinggi—hanya dengan ketenangan yang menaklukkan.”

“Lalu, saudara-saudara Anda—Tuan Jay dan Tuan Eiden…” Sera tersenyum samar. “Tuan Eiden sangat tenang dan bijaksana. Ia yang biasanya menjadi penengah jika terjadi ketegangan dalam keluarga. Sedangkan Tuan Jay… blak-blakan dan keras kepala. Tapi tak ada yang lebih protektif darinya. Terutama… pada Anda, Yang Mulia.”

Vanessa menunduk, jantungnya seperti memanggil nama-nama itu—meski ia tak punya kenangan pribadi tentang mereka.

“Lalu dimana mereka sekarang? Aku tak ingat mereka pernah mengunjungiku,” tanya Vanessa.

Sera terdiam sesaat, seolah menimbang bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Tatapannya turun ke pangkuannya, dan ia menggenggam jemarinya sendiri dengan ragu sebelum akhirnya berkata pelan,

“Tuan Jay dan Tuan Eiden… tidak berada di Belvoir, Yang Mulia. Setelah pernikahan Anda dengan Yang Mulia Kaisar, hubungan antara keluarga Aurenhart dan istana pusat… menjadi renggang.”

Vanessa mengerutkan dahi. “Karena aku menikah dengan Maxime?”

Sera menggeleng perlahan. “Saya tak sepenuhnya tahu tentang urusan antara Aragon dan Aurenhart. Tapi yang saya tahu, setelah kabar bahwa pernikahan Anda dan Yang Mulia tidak berjalan harmonis tersebar… jarak antara Anda dan Tuan Jay maupun Tuan Eiden pun makin terasa.”

Vanessa terdiam, dan Sera melanjutkan dengan nada lebih lembut, nyaris seperti bisikan yang takut menyakiti.

“Saya masih ingat… hari ketika Anda dan Tuan Jay terlibat adu mulut yang cukup sengit di lorong sayap barat. Tak seorang pun tahu apa yang diperdebatkan. Tapi setelah itu, Anda kembali ke kamar dengan mata sembab dan wajah penuh amarah. Pelayan-pelayan bahkan tak berani mendekat malam itu karena suara pecahan kaca terdengar dari dalam.”

Sera kembali membuka suara—kali ini dengan nada yang lebih hati-hati, nyaris seakan tak yakin harus mengatakan atau tidak.

“Dan… mengenai Lady Celestine…”

Vanessa menoleh cepat. “Ibuku?”

Sera mengangguk pelan. “Beliau… telah lama meninggalkan kediaman keluarga Aurenhart. Sejak peristiwa pernikahan Anda—lebih tepatnya, sejak beliau mengetahui alasan sebenarnya mengapa Tuan Alderic memaksakan penyatuan itu.”

Vanessa membeku. “Apa maksudmu… alasan sebenarnya?”

Sera menggigit bibirnya sebelum menjawab. “Desas-desusnya, Tuan Alderic mencampurkan ramuan perangsang ke dalam minuman Anda… demi memastikan pernikahan Anda dengan Yang Mulia Kaisar tak bisa diganggu gugat. Lady Celestine… merasa dikhianati. Ia tak bisa menerima bahwa putrinya sendiri dijadikan alat politik.”

Suasana taman mendadak sepi. Bahkan suara burung pun terasa jauh.

Sera menunduk, lalu melanjutkan perlahan, “Setelah perceraian mereka, Lady Celestine memilih menetap di sebuah desa kecil di wilayah Ethelwen. Ia menjalani hidup tenang di pesisir, dekat pelabuhan—di antara ladang rempah dan angin asin laut. Tak banyak yang tahu keberadaannya. Tapi saya pernah mendengar salah satu pelayan lama berkata… bahwa Lady Celestine kerap mengirim surat ke Belvoir, meski tak pernah ada satu pun yang sampai ke tangan Anda.”

Vanessa menggenggam ujung gaunnya erat-erat. Ada getir yang menyesak di tenggorokannya. Surat? Apakah ada yang sengaja menyembunyikannya? Apakah Vivienne—yang dulu—benar-benar tidak tahu… atau pura-pura tidak peduli?

“Kau… tahu isinya?”

Sera menggeleng cepat. “Tidak, Yang Mulia. Tak seorang pun pernah membaca isinya. Tapi saya percaya… ia menulis bukan karena benci, melainkan karena masih mencintai Anda.”

Vanessa memejamkan mata, membiarkan aroma teh dan rerumputan basah mengisi paru-parunya yang terasa berat.

Lady Celestine. Ibunya. Yang memilih pergi… demi melindungi harga dirinya—dan mungkin juga demi menyelamatkan diri dari luka yang lebih dalam.

Dan sekarang, Vanessa hanya bisa duduk di bawah langit Belvoir, dengan segelas teh dan ratusan pertanyaan yang tak berjawab.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!