**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Gadis Penggoda
Malam semakin larut. Lampu-lampu kafe mulai diredupkan, menandakan akhir dari kesibukan hari itu. Para pengunjung sudah pulang, menyisakan aroma kopi, dan para karyawan yang sedang bersiap menyudahi tugas.
Nadra yang sedang duduk di ruang ganti memegang baju ganti miliknya, berdiri perlahan dan masuk ke kamar mandi untuk melepas seragamnya. Ia membersihkan wajahnya dengan air dingin, berusaha menenangkan diri dari hari yang panjang. Rambutnya ia ikat asal, sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar mandi.
Tapi langkahnya langsung terhenti. Di depan wastafel kaca besar, berdiri Cynthia, dengan tatapan seperti pisau yang sudah siap ditikamkan.
Nadra mencoba tersenyum kecil. "Permisi," katanya pelan, hendak berjalan keluar.
Namun baru satu langkah ia ambil, pergelangan tangannya ditarik kasar. "Eh, mau ke mana kau, gadis penggoda?" suara Cynthia tajam, dingin, menusuk langsung ke jantung Nadra.
Nadra menahan napas, tak ingin membuat keributan. Ia mencoba melepaskan genggaman Cynthia dengan lembut.
"Kalau mau bicara, silakan. Tapi tolong, jangan pakai kekerasan seperti ini." Matanya jernih dan tenang, tapi penuh tekanan.
Cynthia justru semakin tersulut. Ia mengubah genggamannya menjadi cengkeraman ke rambut Nadra, menariknya hingga kepala gadis itu menegang ke belakang.
"Oh, sudah berani atur aku, ya?" desisnya, penuh kebencian.
"Aduh, kenapa sih! Apa salahku?" rintih Nadra, berusaha berdiri tegak meski kesakitan.
"Salahmu!" bentak Cynthia. "Kau nggak tahu malu! Arven itu milikku. Jadi jangan pernah dekat-dekat dia lagi!"
"Aku sama Arven nggak ada hubungan apa pun," ucap Nadra tegas, meski air mata mulai menggenang karena sakit.
"Alasan!" geram Cynthia.
Dengan satu tarikan kuat, Nadra terjatuh ke lantai, punggungnya membentur keras. Tak puas, Cynthia membungkuk, meraih wajah Nadra dengan satu tangan, mencengkeram pipinya kasar.
"Muka manis ini kalau besok aku lihat kau dekat-dekat Arven lagi, aku pastikan wajahmu nggak akan sama lagi," bisiknya tajam di telinga Nadra. Tatapannya seperti hendak membunuh.
Nadra memejamkan mata. Ia menahan tangis, menahan marah, menahan trauma. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi, karena luka-luka lama dalam dirinya seperti ditarik keluar paksa oleh seseorang yang bahkan tak mengenalnya secara utuh.
Setelah puas melukai dan mengancam, Cynthia melangkah pergi meninggalkan kamar mandi. Suara langkah hak sepatunya menggema di antara dinding kosong, seperti irama kemenangan penuh kebencian.
Nadra masih terduduk di lantai, tangan memegang rambutnya yang kusut. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha bangkit. Dalam hati, ia berbisik lirih.
"Ibu, kenapa semua orang ingin menyakitiku?"
Dengan rasa ngilu yang terus menyengat di punggungnya, Nadra akhirnya berdiri tegak. Tangannya meraba belakang tubuhnya, menahan perih, tapi bukan itu yang membuat matanya terasa panas, melainkan semua kenangan dan suara ibunya yang kembali terngiang.
"Jangan pernah biarkan orang merendahkan mu, Nadra. Kau harus kuat untuk hidupmu sendiri."
Nadra berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangan dirinya, berantakan, lelah, dan nyaris menyerah. Tapi di balik itu semua, ada bara kecil yang masih menyala. Ia mengencangkan ikat rambutnya, membasuh wajahnya dengan air dingin, lalu menatap pantulan matanya sendiri.
"Aku nggak akan jatuh lagi," bisiknya pelan. Lalu ia menarik napas panjang dan keluar dari kamar mandi.
Saat tiba di area loker, Nadra melihat Arven sedang berdiri, bersandar santai di dinding dekat loker. Senyum pria itu langsung muncul begitu melihatnya.
"Kok lama banget?" tanya Arven, nada suaranya ringan tapi terdengar tulus.
"Aku sekalian cuci muka tadi." Jawab Nadra sambil membuka loker dan memasukkan seragamnya ke dalam tas. Dengan cekatan, ia menyampirkan tas itu ke pundaknya.
Arven mengangguk kecil. "Mau pulang? Kalau gitu, biar aku antar, ya."
Nadra menoleh, dan pandangannya sekilas menangkap sosok Cynthia yang berdiri tak jauh dari sana, membelakangi mereka. Hanya terlihat punggungnya, namun hawa dari arah sana masih menyisakan ketegangan. Nadra menarik napas perlahan.
Ia menoleh ke Arven, menatap mata pria itu dengan ketenangan yang ia paksakan. "Maaf, rumah aku dekat, kok. Lagian lebih enak jalan kaki. Sambil menikmati udara malam." Senyumnya tipis, penuh ketegangan, meski hatinya masih menyimpan luka.
"Kalau gitu, hati-hati ya," sahut Arven pelan. Tak ingin memaksa.
Nadra mengangguk dan melangkah pergi.
Arven menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Namun, dari sudut matanya, ia melihat gerakan lain. Bayangan wanita lain, ikut berlalu dari lorong itu. Arven menajamkan pandangan. Matanya menyipit, penasaran.
Langkah kaki Arven pelan tapi pasti mengikuti bayangan wanita itu. Saat sosok Cynthia baru saja keluar dari ruang loker menuju lorong sepi yang menuju pintu dapur kafe, Arven mempercepat langkah dan langsung menarik tangan Cynthia.
"Jadi ternyata kamu, Cynthia," ucap Arven dingin, sorot matanya tajam. "Kau sudah menakut-nakuti Nadra, kan?"
Cynthia mengangkat alis, berusaha santai tapi sorot matanya gugup.
"Hah? Buat apa aku nakut-nakutin anak miskin itu?"
Arven mengepalkan tangannya. Suaranya tetap tenang, tapi nadanya sarat kemarahan. "Berhenti, Cynthia. Sebenarnya apa maumu?"
Cynthia menatap lurus wajah Arven, bibirnya tersenyum miring, "Maumu aku jelasin di sini?" bisiknya pelan. "Mauku-"
Tanpa peringatan, Cynthia meraih tengkuk Arven dan menariknya ke dalam ciuman. Sekilas saja, cepat, namun cukup kuat, cukup licik untuk membuat satu momen berubah kacau.
Karena tepat dari ujung lorong, Nadra yang tadinya hendak kembali ke loker untuk mengambil barang yang tertinggal, berdiri membeku. Matanya menangkap jelas pemandangan itu. Mulutnya sedikit terbuka, namun tak ada suara yang keluar.
Sejenak, waktu seperti berhenti. Lalu Nadra menunduk, memutar tubuhnya cepat dan melangkah pergi menembus malam yang lebih dingin dari biasanya.
Arven langsung sadar, tangan Cynthia segera ia lepas, napasnya memburu. "Nadra!" teriaknya, melempar pandangan ke arah lorong kosong, lalu berbalik ke Cynthia. "Aku belum selesai denganmu!" dengusnya dengan penuh kebencian, matanya seolah membakar.
Langkah kaki Nadra menurun cepat menuruni tangga kafe. Pintu kaca berayun di belakangnya, disusul suara langkah Arven.
"Nadra! Dra, tunggu! Aku bisa jelasin! Dra, dengar aku dulu!"
Nadra tak menjawab. Napasnya masih sesak. Tapi langkahnya terhenti, bukan karena panggilan Arven, melainkan karena sosok pria dewasa yang berdiri tenang di halaman kafe, bersandar pada mobil SUV hitamnya.
"Nadra?" panggil Agra pelan, menyipitkan mata melihat ekspresi tegang gadis itu.
Nadra berdiri di hadapannya, belum menjawab. Belum sempat satu kata pun keluar, Arven sudah meraih lengannya dari belakang, buru-buru ingin memberi klarifikasi.
"Dra, tadi itu Cynthia yang narik aku duluan. Aku nggak pernah niat cium dia, aku nggak pernah suka dia. Tadi itu cuma-"
Suara Arven terhenti karena Agra kini melangkah maju, berdiri tepat di antara keduanya.
"Ada apa ini?" tanya Agra datar, pandangannya berganti pada Nadra dan Arven.
Arven terdiam. Matanya melirik ke arah samping, canggung.
Nadra menghela napas. Dengan ekspresi biasa, ia menjawab santai, "Cuma masalah asmara, Om."
Agra mengangguk perlahan. "Oh."
Arven masih menggenggam lengan Nadra. Tapi tatapan gadis itu membuatnya sadar. "Arven," ucap Nadra tenang. "Tangan."
Arven segera melepas genggamannya. "Maaf," katanya. "Aku hanya mau menjelaskan kalau aku dan Cynthia itu nggak ada hubungan apa-apa. Aku nggak punya perasaan apa-apa ke dia."
Dari kejauhan, terlihat Cynthia melirik ke arah mereka dari balik dinding kaca, lalu melangkah ke parkiran dengan wajah kosong.
Nadra sempat melirik kepergian Cynthia. Lalu berkata pelan, hampir seperti gumaman, "Cynthia itu wanita baik. Mungkin kamu dan dia bisa jadi 'kalian'." Guraunya tipis, tapi cukup untuk membuat Arven tertunduk.
Agra menepuk pelan bahu Nadra. "Ehem, Nadra, sudah malam. Ayo, aku antar pulang, ya."
Nadra mengangguk sopan. "Baik, Om."
Ia menoleh sekali lagi ke Arven. Tak ada senyum. Tak ada kata. Lalu membuka pintu mobil Agra, dan duduk di dalam. Pintu menutup pelan. Mobil melaju perlahan, meninggalkan Arven yang kini berdiri sendiri di bawah lampu kafe yang menggantung temaram.
...Bersambung.......