Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Desa Tua Syrren
Sion dan Sissel kembali melangkah, meninggalkan gua dan menapaki jalan sempit yang berkelok seperti ular tua di bawah akar pepohonan. Tanah makin liat, bebatuan berlumut menyembul dari sela rumput kering. Pepohonan pun berubah: dari pinus megah ke batang-batang bengkok berdaun kelabu keperakan—seperti kabut yang membeku.
Langit meredup, bukan karena senja, melainkan kabut tipis yang menggantung seperti tirai sutra. Bau tanah digantikan aroma lumut tua dan batu lembah yang lembap.
Di depan, lembah batuan hitam membentang—jalan tanah merahnya meliuk seperti urat darah beku. Tak ada suara burung. Hanya angin yang menggetarkan lonceng angin di kejauhan.
“Kita sudah hampir sampai,” bisik Sissel, suaranya nyaris tenggelam oleh embusan angin gunung.
Dua tiang batu hitam keunguan berdiri senyap, tertutup lumut dan tanaman menjalar. Di antara mereka tergantung seutas tali angin keabu-abuan, dihiasi gantungan lonceng kecil berbentuk tetes air yang berdenting lirih saat angin gunung menggeseknya—seperti suara rindu yang nyaris padam.
Suasana tampak usang… bukan karena tak terawat, melainkan karena terlalu tua.
Desa Syrren tampak seperti bayangan dunia yang sudah lama ditinggalkan. Rumah-rumah batu beratap lumut hijau kecokelatan berdiri miring di antara semak liar. Beberapa jendela terbuat dari kaca tua yang sudah buram, selebihnya hanya ditutup kain kasar atau papan kayu yang menua bersama waktu.
Dari kejauhan, asap tipis mengepul dari salah satu cerobong rumah, menandakan bahwa masih ada kehidupan yang bertahan.
Namun—kedamaian itu tak bertahan lama.
Langkah mereka yang perlahan segera disambut oleh suara tawa sinis, seperti pisau tipis yang menyeret di atas logam.
“Tsk… Mestiz pulang membawa peliharaannya.”
Dua elf dewasa berdiri di tepi jalan setapak. Rambut mereka hitam pudar, pakaian mereka kusam oleh debu desa. Tatapan mereka penuh jijik, senyum mereka menyeringai seperti luka lama yang belum kering.
Elf itu mendengus. “Kupikir kau sudah mati di ladang Tallava. Ternyata masih sempat bawa lelaki juga.”
Yang satu lagi menimpali, “Pantas belum laku. Lihat, bahkan bawa lelaki dari ladang, siapa tahu mau dijadikan suami campuran.”
Sion ingin maju. Tapi Sissel menahan tangannya diam-diam.
“Biarkan,” bisiknya. “Kalau kita menanggapi, mereka akan makin menjadi.”
Sion menatap wajahnya—Sissel tampak jauh lebih dewasa dari yang ia kenal dulu. Ada ketegaran dalam sorot matanya. Namun, ia tidak bisa menyangkal rasa amarah yang perlahan menjalar ke dadanya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati elf-elf yang sebagian menyapa dingin, sebagian berpura-pura tak melihat. Rumah-rumah batu beratap lumut berjejer di sisi jalan kecil. Anak-anak kecil bermain dengan kaki telanjang, namun ibu-ibu mereka menarik mereka masuk ketika melihat Sissel.
Namun Sion juga melihat sesuatu yang berbeda: meskipun pandangan itu dingin, tak satu pun berani melempar atau menyentuh Sissel. Hanya ejekan yang tersisa. Seolah ayahnya, Krov, masih menyisakan sedikit rasa takut di antara penduduk desa.
“Tak banyak yang berubah, ya,” gumam Sissel.
Sion menatapnya. “Kau masih ingin tinggal di sini?”
Sissel tak menjawab. Tapi sorot matanya yang menatap langit menunjukkan jawaban yang rumit—antara rindu dan luka, antara ingin pulang dan ingin lari.
Mereka terus melangkah hingga mencapai sebuah tikungan di antara dua batu besar. Di baliknya, sebuah rumah batu berdiri sunyi.
Rumah Sissel.
Bangunan itu tak besar, hanya terdiri dari dua ruangan. Dinding-dindingnya terbuat dari batu abu-abu yang disusun rapat, atapnya dari batu pipih beratap lumut, sedikit miring ke satu sisi. Di samping rumah, tumbuh tanaman-tanaman obat dalam pot tanah liat yang retak, serta sebuah jemuran tua.
Jendela rumah ditutup kayu yang disangga dari dalam. Tapi dari sela-selanya, terlihat cahaya tungku menyala samar.
Sissel berjalan lebih cepat. Ia mengetuk pintu kayu dengan pola tertentu—tiga ketukan pelan, dua ketukan cepat.
Suara langkah kaki terdengar dari dalam. Bunyi engsel pintu yang berat membuka pelan.
Muncullah Krov.
Seorang pria paruh baya bertubuh kekar dengan rambut hitam yang mulai memutih di sisi pelipis. Wajahnya keras seperti batu yang sudah lama diterpa badai. Matanya tajam, namun ada guratan kelelahan dalam sorotnya. Lengan kirinya dibalut kain kulit, dan satu kakinya sedikit pincang ketika melangkah.
Begitu melihat Sissel, matanya melunak. Garis-garis di dahinya seolah mengendur.
“Sissel?” suaranya serak, rendah, seperti batu yang bergesekan dengan pasir.
“Ayah,” jawab Sissel pelan. Suaranya nyaris pecah.
Krov membuka pintu lebih lebar. Tanpa kata-kata, ia memeluk anaknya sebentar—gerakan kaku namun tulus. Lalu ia menatap ke arah Sion yang berdiri beberapa langkah di belakang.
Tatapannya berubah. Bukan curiga… tapi bingung. Aneh. Heran.
Sudut matanya menyipit.
Sudah bertahun-tahun tidak ada satu pun elf yang mau berdiri dekat dengan Sissel, apalagi mengikuti pulang sampai ke desa. Dan kini, seorang pemuda dengan tatapan lembut berdiri tenang di bawah atap rumahnya.
“Siapa dia?” tanya Krov, nada suaranya datar tapi dalam.
“Temanku. Namanya Sion,” jawab Sissel, lalu menoleh sebentar pada Sion untuk memberi isyarat agar mendekat. “Dia bekerja di perkebunan Tallava. Aku bertemu dengannya di sana.”
Krov memandangi Sion dari kepala hingga kaki. Mata tajamnya seperti menilai.
Sion membungkuk sedikit dengan sopan. “Senang bertemu Anda, Tuan Krov.”
Krov mengangguk pelan, tapi tidak menjawab. Ia melangkah mundur dan membuka pintu sepenuhnya.
“Masuklah,” katanya singkat.
Di dalam rumah, suasananya hangat meski sederhana. Perabotannya hanya sedikit: meja kayu tua, dua kursi anyaman, dan rak buku kecil berisi catatan serta gulungan daun kering. Dinding dipenuhi ukiran kayu dan tanda-tanda lama peperangan—ada satu pedang besar yang tergantung di atas tungku api, dan sebilah pisau pendek dengan hiasan bulu di dekat jendela.
Sissel langsung menuang air panas dari kendi ke dalam dua mangkuk kayu dan memberikannya pada ayahnya dan Sion.
Krov duduk perlahan di kursi panjang dari batang kayu gelondongan yang sudah aus, sementara Sion menempati sisi dekat pintu, tetap tenang meski sorot mata tajam lelaki tua itu tak pernah benar-benar lepas darinya.
Sissel menggenggam mangkuknya dengan dua tangan. “Maaf, Ayah. Kehadiran kami pasti membuatmu terkejut. Sion bilang ingin melihat lembah di desa kita, jadi aku mengajaknya.”
Krov menoleh, matanya menyipit. “Lembah? Mau apa ke sana??”
Sissel menoleh sebentar ke arah Sion, lalu menjawab seperti yang sudah mereka rencanakan sejak awal. “Katanya… dia penasaran dengan legenda naga di lembah dekat Syrren. Dia ingin melihat sendiri tempatnya. Aku juga baru tahu ternyata desa kita punya cerita seperti itu.”
Krov menatap keduanya bergantian, lalu kembali menatap isi mangkuknya. Uapnya mengepul tipis di udara dingin rumah batu itu.
“Naga? Omong kosong macam apa itu?” gumamnya pendek.
Sion tersenyum tipis. “Kadang legenda lebih jujur daripada sejarah,” ujarnya.
Krov menoleh, kali ini lebih tajam. “Kau dari mana?”
Sion menjawab tenang, “Saya lahir di wilayah barat, dekat ladang bawah Tallava. Setelah dewasa, saya ikut paman saya. Kami pindah ke perkebunan.”
"Tatapanmu menyimpan beban yang bahkan lelaki tua sepertiku bisa rasakan. Bukan rasa ingin tahu, tapi... seolah kau sedang menunda sesuatu."
Sion tidak menyangkal, tidak juga membenarkan.
Krov menyesap air panasnya, lalu bersandar. “Aku bukan tua yang bodoh. Kau tidak datang hanya untuk mencari naga. Tapi kalau kau tidak berniat buruk pada anakku… aku tidak peduli untuk saat ini.”
Sissel menatap ayahnya, sedikit bingung. “Ayah?”
Krov melambai pelan dengan tangannya. “Sudahlah. Dia boleh tinggal. Tapi selama di sini, dia ikut aturan rumah ini. Tidur di lantai, bangun sebelum matahari, dan tak ada tempat untuk malas.”
Sion mengangguk hormat. “Saya menghargai itu.”
Sissel menghela napas lega. Meski ayahnya masih sekeras batu dan setajam mata pedang, setidaknya mereka tidak diusir.