NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14: Cahaya dari Timur

Pagi itu, langit Batupute tampak lebih jernih. Pantai Lasonrai memantulkan sinar mentari yang berkilauan seperti butiran permata. Seolah alam memberi tanda, bahwa harapan baru sedang tumbuh perlahan di balik semak-semak ujian yang belum juga reda.

Farid, pemuda yang sebelumnya hanya dikenal sebagai anak kepala desa tetangga, mulai rutin datang ke rumah Aisyah dan Khaerul. Ketulusannya terlihat dari sikapnya yang rendah hati dan haus ilmu. Ia tak segan membantu Aisyah mengajar anak-anak, dan sering kali menemani Khaerul berdiskusi tentang strategi dakwah yang bijak.

"Farid, kau adalah anugerah yang Allah kirimkan di saat kami hampir kehilangan arah," kata Khaerul suatu sore saat mereka duduk di bawah pohon ketapang.

Farid tersenyum. "Saya hanya mengikuti cahaya, Ustaz. Dan cahaya itu ada pada perjuangan kalian. Saya ingin menjadi bagian darinya."

Dengan kehadiran Farid, perubahan mulai terasa. Beberapa pemuda desa yang awalnya ragu mulai membuka hati. Mereka datang secara diam-diam ke pengajian malam, mendengar dengan saksama walau belum berani bertanya.

Namun badai belum berlalu.

Tokoh adat seperti Pak Samad dan pengikutnya merasa posisi mereka mulai goyah. Mereka menyusun rencana untuk menjegal Aisyah dan Khaerul secara politik. Salah satu caranya adalah dengan mendorong kepala desa membuat peraturan baru yang membatasi kegiatan keagamaan yang tidak didukung oleh lembaga resmi adat.

Kabar ini membuat gempar. Aisyah tidak tinggal diam. Ia bersama Farid dan beberapa pemuda menyiapkan petisi, mengajak masyarakat yang sudah merasakan manfaat dakwah untuk bersuara. Mereka tidak ingin hanya diam ketika cahaya mulai menyinari desa mereka.

"Kalau kita diam, maka gelap akan kembali menyelimuti Batupute," ujar Farid penuh semangat.

Hari itu menjadi saksi. Lebih dari seratus warga, tua dan muda, berkumpul di balai desa. Dengan suara bergetar namun penuh keberanian, Aisyah menyampaikan isi hati masyarakat.

"Kami bukan ingin menggantikan adat, tapi menyucikannya kembali kepada nilai-nilai yang diridhai Allah. Kami hanya ingin anak-anak kami tidak buta huruf Al-Qur'an, dan orang tua mereka tidak tenggelam dalam takhayul dan kezaliman."

Suasana hening. Bahkan Pak Samad pun tak sanggup langsung membantah. Ada air yang menetes di sudut mata beberapa orang tua yang selama ini diam. Suara kebenaran itu menusuk hati mereka yang tulus.

Setelah hari itu, pelan-pelan suasana mulai berubah. Tidak semua berubah drastis, tapi jalan dakwah terasa lebih lapang. Pak Samad tidak lagi sekeras dulu, meski masih menjaga jarak. Beberapa warga yang sebelumnya mencibir, kini mulai menanyakan hal-hal kecil tentang agama.

Dan Aisyah, dalam sujud-sujud malamnya, tak henti memanjatkan syukur. Meski masih jauh dari kemenangan, tetapi cahaya itu kini benar-benar telah menyala dari timur.

Namun ketenangan itu hanya sesaat. Keesokan harinya, fitnah keji mulai berhembus. Bisikan-bisikan busuk menyebar cepat di antara masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa Aisyah sebenarnya hanya ingin mencari kekuasaan dan dana dari luar. Bahkan lebih buruk, ada yang menuduh hubungan Aisyah dengan Farid tidak suci.

"Itu perempuan hanya berselubung agama! Lihat saja, berduaan dengan anak muda, si Farid, malam-malam. Apa mereka pikir kita buta?" demikian kalimat yang beredar, menyebar seperti racun.

Aisyah mendengarnya. Dan untuk pertama kali sejak ia menjejakkan kaki di Batupute, ia menangis di pelukan suaminya. Tangisnya bukan karena malu, tapi karena begitu dalamnya luka dari tuduhan yang bahkan tak mampu ia sanggah satu per satu.

Khaerul memeluknya erat. "Sabar, istriku. Rasulullah pun difitnah lebih keji. Ini hanya ujian untuk mengangkat derajatmu."

Farid pun merasa terpukul. Ia datang, bersujud di hadapan Aisyah dan Khaerul. "Maafkan saya, semua ini gara-gara saya. Saya akan pergi dari desa ini kalau itu bisa menghentikan fitnah."

Namun Aisyah menatapnya dengan mata yang penuh keimanan. "Tidak, Farid. Jangan mundur. Ini bukan tentang kita lagi. Ini tentang perjuangan. Selama kita jujur, Allah akan membersihkan nama kita."

Kondisi ekonomi semakin sulit. Para donatur yang tadinya mulai melirik kegiatan mereka tiba-tiba menarik dukungan karena terpengaruh isu. Pengajian tetap berjalan, tapi kini dengan peralatan seadanya. Anak-anak tetap datang, meski tikar tempat belajar sudah robek dan papan tulis mulai pudar.

Di tengah semua itu, semangat tak pernah padam. Justru dari penderitaan itu muncul sinar yang lebih terang. Warga yang selama ini hanya diam kini mulai bergerak. Seorang ibu tua bernama Mak Lela berdiri dalam majelis desa, membela Aisyah dengan suara lantang.

"Saya sudah tua! Tapi belum pernah saya lihat perempuan seperti dia. Kalau kalian biarkan dia pergi karena fitnah, maka kalian juga menolak cahaya Allah yang datang menyapa!"

Kata-katanya membekas. Perlahan, satu per satu warga mulai bicara, menyatakan dukungan. Bahkan beberapa tokoh adat muda mulai mempertanyakan tindakan Pak Samad.

Pak Samad sendiri merasa posisinya semakin terdesak. Namun ia belum menyerah. Ia merasa kehormatan adat adalah segalanya. Ia mulai menekan kepala desa dan tokoh masyarakat agar menjatuhkan sanksi sosial terhadap keluarga Aisyah.

Namun malam itu, Aisyah bersujud lebih lama dari biasanya. Dalam doanya ia berkata, "Ya Allah, jika ini jalan-Mu, maka kokohkan kaki kami di atas kebenaran. Biarlah tubuh ini lelah, asal jiwa ini tetap hidup dalam perjuangan."

Namun keesokan harinya, tubuh Aisyah tiba-tiba melemah. Ia jatuh pingsan saat sedang mengajar anak-anak. Khaerul segera membawanya pulang, dan sejak itu kondisi Aisyah terus menurun. Demam datang dan pergi tak menentu, tubuhnya menggigil tanpa sebab, dan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan terus menyiksanya.

Para tetua yang datang menjenguk hanya menggelengkan kepala. Dokter desa tidak menemukan penyebab pasti. "Mungkin ini bukan sakit biasa..." bisik salah seorang warga.

Farid yang mendengar bisikan itu mulai curiga. Ia melakukan penyelidikan diam-diam. Hingga ia mendapat kabar dari seorang perempuan tua yang dulu pernah menjadi pengikut Pak Samad. Ia menceritakan bahwa Pak Samad datang ke seorang dukun tua seminggu sebelum Aisyah jatuh sakit.

"Dia datang malam-malam, membawa seikat rambut dan selembar kain putih bertuliskan nama Aisyah..." ujar perempuan itu dengan suara bergetar.

Kabar itu menambah kesedihan Khaerul. Namun ia tidak langsung menuduh. Ia memilih menguatkan istrinya dengan rukyah dan doa. Setiap malam ia bacakan surat-surat Al-Qur’an di telinga Aisyah, berharap rahmat Allah turun dan membalikkan semua siasat keburukan.

Aisyah dalam keadaan lemah masih sempat berkata, "Kalau ini ujian dari Allah... maka aku akan menerimanya. Tapi jika ini adalah perbuatan zalim manusia... maka biarlah Allah yang membalasnya."

Dan malam itu, angin dari pantai Lasonrai bertiup kencang. Seakan membawa pesan: bahwa pertarungan belum berakhir, tapi cahaya tak akan padam selama ada yang bersujud di sepertiga malam terakhir.

Tubuh Aisyah terkulai lemah di atas tikar pandan, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi dahinya, dan matanya yang biasanya penuh semangat kini meredup seperti pelita kehabisan minyak. Khaerul duduk di sisinya, wajahnya tak lagi menyimpan tenang, melainkan diliputi kecemasan yang tak terbendung.

"Ini sudah ketiga kalinya dalam sebulan, Yah... Kenapa selalu mendadak begini?" suara Khaerul parau, gemetar menahan kekhawatiran.

Aisyah hanya mampu menggenggam tangan suaminya pelan, mencoba tersenyum meski nyeri di perutnya semakin menyesakkan. Tak ada luka, tak ada demam, tapi rasa sakitnya seperti tikaman halus yang datang dan pergi seenaknya.

Malam itu, suara rintik hujan di luar bersahutan dengan bisikan penduduk desa yang mulai gaduh. Rumor menyebar cepat di Batupute. Ada yang mengatakan Aisyah terkena guna-guna. Ada yang menuduh bahwa Pak Samad—tokoh adat yang sejak awal menolak dakwah mereka—telah mendatangi dukun tua di luar kampung.

"Aku mendengar sendiri dari anak Pak De, katanya Pak Samad bawa sesajen ke pantai Lasonrai... lalu air laut diambilnya dalam kendi, sambil komat-kamit." suara bu Hajar, tetangga, penuh ketakutan.

Khaerul yang mendengar itu langsung terpaku. Segala kejanggalan yang menimpa Aisyah seolah mendapat benang merah. Namun ia menolak gegabah.

"Aku tak akan menuduh siapa pun tanpa bukti. Tapi satu yang pasti, kita harus kembali menguatkan diri, dan menunduk hanya pada Allah, bukan pada rasa takut," ucapnya mantap.

Esok harinya, ia membawa Aisyah ke ustadz tua di desa tetangga. Ustadz Malik dikenal karena keilmuannya dalam ruqyah dan pemahaman mendalam tentang sihir. Setelah mendengar kronologi dan memeriksa Aisyah, sang ustadz mengangguk pelan.

"Ini bukan penyakit medis biasa. Ada sesuatu yang mengganggu dari dunia yang tak terlihat. Kita akan coba membersihkannya dengan zikir dan ayat-ayat ruqyah. Tapi kalian harus banyak-banyak beristighfar dan menjaga amalan harian. Ini ujian yang bukan hanya untuk Aisyah, tapi untuk dakwah kalian di sini."

Sejak malam itu, rumah mereka menjadi tempat lantunan ayat suci. Air ruqyah ditebarkan di sudut-sudut rumah. Khaerul mendampingi Aisyah setiap malam dengan membaca Yasin dan Al-Baqarah. Tubuh Aisyah masih lemah, tapi jiwanya seolah semakin kuat. Ia tidak lagi menangis, tidak lagi mengeluh. Justru ia mengisi kelemahannya dengan doa yang terus mengalir.

"Jika benar ini karena sihir, maka biarlah aku membersihkan jalan ini dengan tubuhku. Kalau dakwah ini harus dibayar dengan rasa sakitku, maka aku ikhlas..." lirihnya suatu malam.

Khaerul memeluknya erat. "Tidak, kita tidak sendiri. Dan Allah takkan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya."

Di tengah malam yang hening, saat lantunan ayat-ayat ruqyah semakin dalam, Aisyah menggeliat keras, tubuhnya seperti menolak kekuatan yang masuk. Tangannya mencengkeram tikar, dan air mata mengalir deras. Tiba-tiba ia berteriak—panjang dan nyaring—seolah ada sesuatu yang terlepas dari dalam tubuhnya. Setelah itu, tubuhnya terkulai tenang. Nafasnya kembali teratur. Dan untuk pertama kalinya dalam sebulan, Aisyah tidur dengan damai.

Subuh itu, Khaerul menatap langit yang perlahan cerah. Suara azan yang ia kumandangkan dari mushalla kecil di Batupute menggema lebih lembut namun penuh kekuatan.

Perjuangan belum usai. Tapi cahaya sudah mulai tampak di ujung gelap.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!