Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tumbang
Beberapa menit sebelum Hail sampai.
Gadis mungil itu sebenarnya sudah tidur, tapi dia terbangun dan ingin minum susu. Cala pun keluar dari kamar dan menemui Evelyn yang bekerja di ruang tamu. Cala menghampiri Evelyn yang ketiduran di meja ruang tamu, dengan memeluk boneka kuda poni pemberian Hail.
"Mama, Cala mau susu," tutur Cala dengan setengah mengantuk.
"Mama."
Hening.
"Mama ... Mama ... Cala mau susu," rengek Cala, rasa takut mulai menyelimutinya.
Raga mungil Cala bergetar, tangan kecilnya terus mengerakkan tangan Evelyn yang terjuntai ke bawah.
"Mama ... banun Ma, .... ayo banun," suara kecil Cala mengema penuh harap.
Evelyn hanya diam, matanya terpejam, raga wanita itu lunglai tak sadarkan diri. Cala terus mengerakkan raga sang Mama, berharap mata yang terpejam itu akan segera terbuka dan memanggil namanya. Cala menyerah, memeluk bonekanya dengan rasa takut.
"Mama banun, Ma," lirih Cala dengan wajah tertunduk, tanganya memeluk kuda poni semakin erat.
Cala sedikit tersentak saat merasakan benda keras yang menganjal di perut bonekanya. Dengan tangan gemetar Cala mengambil ponsel khusus yang terselip di sana, sesuatu yang hampir Cala lupakan. Ibu jari mungi Cala segera menekan tombol merah.
"Papa ...! Mama panas, Papa! Mama ga mau banun!" teriak Cala panik saat mendengar suara Hail.
"Cala tenang ya, Papa ke sana sekarang," sahut Hail tak kalah panik.
"Cepat Papa .... cepat!" air mata Cala mulai turun. Sambungan telepon juga sudah ditutup oleh sang Papa.
Perlahan Cala terisak, tangan mungilnya kembali menguncang lengan Evelyn kali ini lebih keras. Gadis mungil itu berusaha sekat tenaganya untuk membuat sang Mama terbangun.
"Mama banun ...."
"Mama...."
"Mama ..."
Kelopak mata Evelyn mengerjap sangat pelan, suara kecil Cala menggema ditelinganya. Memaksanya untuk kembali sadar. Mata sipit Evelyn terbuka sangat pelan, dalam temaram cahaya ruang tamu, samar ia melihat malaikat kecilnya menangis, sambil memeluk boneka kuda poninya.
"Cala ..." lirih Evelyn hampir berbisik.
Mata Cala yang tadinya menagis, seketika diam.
"Mama!" Cala memeluk Evelyn.
Kuda poninya ia jatuhkan begitu saja. Evelyn tersenyum tipis, dengan sudah payah ia mengangkat tangan yang terasa amat lemah, merengkuh raga kecil semakin erat dalam pelukannya.
"Mama nggak apa-apa? Cala jangan nangis," ucap Evelyn yang sangat bertolak belakang dengan keadaanya.
Wanita berdaster batik itu memejamkan mata, menahan sakit seperti ditikam di kepala, berkali-kali. Tubuhnya pun lemah, terasa seperi tak bertulang, semua terasa nyeri. Sudah satu minggu lebih Evelyn tidak tidur dengan baik, malam hari dia harus bekerja di hotel dan siangnya dia gunakan untuk mengerjakan skipsi. makan pun dia hanya seadanya, lebih tepatnya hanya menghabiskan sisa piring Cala. Evelyn mendapatkan tiga skipsi yang harus dikerjakan, dan semua dalam proses revisi. Evelyn harus mengerjakannya dengan cepat, agar bisa segera mendapatkan upah.
Dia harus segera membayar cicilan hutang Almarhum Papanya.
Isak Cala perlahan mereda, gadis kecil itu melepaskan pelukannya. Menatap wajah pucat sang Mama. Evelyn berusaha tersenyum, meski rasa sakit di kepalanya semakin menjadi.
"Cala kenapa bangun hem?" tanya Evelyn dengan lembut.
"Ca-Cala mau susu Ma," jawab Cala, bahunya naik turun, sesegukan.
Evelyn tersenyum, tanganya berpegangan pada meja. Berusaha untuk bangkit dari kursi meski kakinya gemetar hebat.
"Mama buatin sebentarnya," kata Evelyn setelah berhasil berdiri. Cala mengangguk, memungut bonekanya dan memeluknya lagi.
Tap.
Gelap, semua lampu mati.
"Mama." Cala meraih tangan sang Mama.
"Nggak apa-apa, ada mama." Evelyn meraba meja, untuk mengambil ponselnya.
Seketika cahaya menyebar dari ponsel Evelyn. Tangannya mengandeng tangan kecil Cala, dua wanita beda usia itupun berjalan pelan menuju dapur. Namun dilangkah ke tiga, kepala Evelyn semakin sakit. Wanita itu mengigit bibirnya, meringis menahan sakitnya. Tubuh yang kelelahan tak mampu lagi bertahan, semua terasa berputar cepat, kaki yang gemetar menyerah untuk menopang.
Brugh
"MAMA!" jerit Cala yang melihat dunianya roboh.
Hail yang mendengar jerit kecil putrinya panik. Dia segera berlari dengan kardus yang masih ia peluk setelah turun dari motor.
"Cala! Cala ....buka pintunya, ini Papa!" panik Hail, tangannya berusaha memutar knop pintu. Tapi sialnya, pintu dikunci dari dalam.
Pria itu mundur selangkah, mengambil kuda-kuda dan mengayunkan kakinya dengan keras kearah pintu. Sekali, dua kali, dan akhirnya pintu berhasil terbuka dipercobaan ke tiga. Kegelapan menyambutnya, Hail meletakkan kardusnya sembarangan.
"Cala ... Cala dimana?"
Hail menyalakan senter ponsel, menyusuri sekitar ruang tamu.mengkuti suara isak tangis sang putri kecil. Cala yang terduduk di samping Evelyn mendongak, mata sipitnya bergerak liar menatap sekeliling saat medengar suara sang super hero.
"Papa!" teriak Cala.
Hail mempercepat langkahnya, mata pria itu melebar saat melihat wanita kesayanganya tergeletak tidak berdaya di lantai. Dan Cala menangis sesegukan di sampingnya.
"Eve!" pekik Hail tertahan.
"Papa," panggil Cala, gadis yang ketakutan itu seolah menemukan harapan melihat sosok Hail.
Hail segera menunduk memeluk Cala kecil yang gemetar. Tangis Cala semakin tumpah dalam pelukan Hail, seolah mengadukan berapa takutnya ia. Tangan besar Hail mendekapnya, memberikan rasa aman dan hangat.
"Ada Papa, semua akan baik-baik saja," tegas Hail dilanjutkan dengan kecupan lembut di kepala Cala. gadis kecil itu hanya mengangguk.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.......
....
Blurb: Setelah lari dari pernikahan paksa yang diputuskan oleh orang tuanya, Naila malah terpaksa menjalani pernikahan dengan seorang dokter, duda anak dua.
Bagaimana dilema yang harus dijalani oleh Naila, yang sedang meraih impian untuk menggapai cita-cita? Sementara itu, ia tak boleh menikah sebelum tamat sesuai ketentuan dan persyaratan beasiswa.
Apakah yang harus dipilih Naila? Meraih cita-cita? Atau bertahan sebagai istri Dokter Martin?
dan kalau kamu ragu, mending kamu bicara jujur saja sama hail. apalagi kalau ada sangkut pautnya sama cala. mending bicara in baik2