Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.35
Setelah panggilan video dengan Nathan berakhir, Neil memutuskan untuk masuk kedalam kamar miliknya. Dia merebahkan diri menatap langit-langit kamar yang berwarna biru. Dia masih sering mual di pagi hari juga sangat lemas setelahnya, melihat Nathan yang bahagia membuat Neil flashback ke hari dimana dia menikah.
Saat pernikahan dia tak menunjukan senyum bahagianya, malah menunjukan senyum sinis juga wajah datar. Tak ada foto pernikahan di kamarnya, hanya ada foto dirinya dengan Livia ternyata sejahat itu dirinya dulu pada Zahira. Neil mulai memasukan foto Livia kedalam kardus, dan akan dibuang atau dibakar esok harinya.
Neil sudah meminta Erik untuk mencari Zahira. Namun, tak ada kabar sampai sekarang. Bukan tak ada kabar hanya saja, anak buah Axel meminta Erik menghentikan pencariannya.
"Mommy pasti tahu dimana, Zahira.” Gumam Neil.
"Tapi, aku yakin Mommy pasti melindungi Zahira. Gak akan kasih tahu keberadaannya." Neil menghembuskan napasnya dengan pelan, dia memejamkan mata lalu membuka mata kembali, bergegas menuju kamar orang tuanya.
"Ada apa Neil? Heboh sekali kamu ini," ujar Axel, saat membuka pintu.
"Mom," panggil Neil, bukannya menjawab pertanyaan Axel. Neil, langsung masuk ke dalam dan menemui Melinda yang sedang melakukan perawatan wajah dimalam hari.
"Ada apa?" tanya Melinda, Neil memeluknya dari belakang.
"Manja," cibir Axel.
"Sirik aja sih Dad, istriku gak disini. Gak bisa peluk, mungkin Daddy umpetin," celetuk Neil.
"Makanya punya istri tu, jaga, lindungi. Bukannya kabur ketemu sama cewek lain," sindir Axel dengan nada kesal, membuat Neil memutar bola mata malas.
"Sudah-sudah, kalian ini kenapa sih? Kayak tikus dan kucing, berantem terus." Sela Melinda, saat melihat Neil akan membalas ucapan Axel.
"Ada apa?" tanyanya pada sang anak, Neil pun membisikan tentang Zahira. Membuat Melinda mengulum senyum, sayangnya Neil dan Axel tak melihat senyum tersebut.
"Ya mana Mommy tahu, memang Mommy pengasuhnya apa? Kamu kan suaminya, harusnya kamu cari tahu. Dimana dia?" Jelas Melinda, menatap tajam Neil.
"Sudah Mom, tapi Erik selalu bilang sedang dicari, sedang dicari. Memang Swiss itu seluas Indonesia, apa? Sampai susah ditemukannya," keluh Neil.
"Mungkin bukan di Swiss," balas Melinda terdengar aneh di telinga Neil.
"Maksudnya?"
"Sudahlah, kamu pergi saja ke kamar. Ini waktunya Mommy dan Daddy," usir Axel, dia menarik baju Neil dan mendorongnya keluar. Neil berdecak pelan dan menatap sinis sang Ayah.
"Awas aja, kalau aku punya adik."
"Biarlah, Daddy masih sanggup membiayai anak ke-4 Daddy." Cibir Axel. "jangan sampai kamu ... Keduluan Nathan, Neil."
Neil langsung mendelik menatap penuh permusuhan Axel, yang langsung menutup pintu.
"Hah ... Daddyyy!!" Pekik Neil.
Neil meninju udara, lalu kembali ke dalam kamar. Menikmati sepi yang tak tahu, kapan berakhirnya. Dia sangat pusing dan sedikit mual sekarang tapi masih bisa dia tahan.
****
Disisi lain, Zahira pun mulai merindukan Neil. Mungkin karena dia hamil ingin dimanja dan diperhatikan oleh suami. Tidak mungkin juga, dia meminta perhatian pada Ethan yang notabennya bukan siapa-siapa dirinya.
Zahira menatap malam yang tanpa bintang, bertanya apakah Neil juga merindukannya? Zahira mengirim pesan pada Melinda, bahwa dia merindukan Neil. Centang satu, mungkin Melinda sudah terlelap.
Keesokan harinya, seperti biasa Zahira sudah melakukan pekerjaannya di dapur. Walau Rosma sudah melarang, tapi bagi Zahira dia merasa tak enak hanya diam saja. Apalagi sekarang Jasmine, lebih banyak bersama Rosma.
"Tante, jangan terlalu lelah. Kasian loh dedek bayinya," celetuk Jasmine, yang sejak tadi memperhatikan Zahira memindahkan piring juga makanan yang sudah siap.
"Gak papa sayang, justru kalau diam. Badan tante jadi sakit," tutur Zahira, Jasmine pun hanya bergumam dan fokus ke makanannya yang sudah terhidang.
"Zahira, ini ada kiriman untukmu." Mira yang bekerja di rumah Rosma, memberikan paper bag pada Zahira.
"Apa ini?"
"Entahlah, tadi pas pulang dari pasar ada cowok yang pake baju serba hitam. Cegat aku dijalan terus dia ngasih itu, cuma bilang tolong berikan pada Nona Zahira." Jelas Mira menirukan ucapan laki-laki tadi, membuat Zahira tertawa sangat lucu. Memang selama disini, Mira lah teman bercerita Zahira saat Jasmine pergi bersama keluarganya.
"Ya sudah terima kasih, Mir." Balas Zahira, dijawab anggukan oleh Mira dan Mira kembali ke belakang, sedangkan Zahira masuk kedalam kamar. Karena dia masih belum ingin sarapan, penasaran dengan isinya, Zahira membuka paper bag tersebut.
Satu buah kemeja bekas pakai. Namun, parfum yang dia kenal membuat Zahira tahu siapa pemilik kemeja tersebut. Juga satu buah guling dengan foto Neil, membuat Zahira terkejut.
[Mommy, gak bisa pertemukan kamu dengan Neil. Sebagai hukumannya yang sudah ninggalin kamu, dia juga yang menerima akibat dari kehamilan kamu Zahira. Dia mengalami morning sickness, juga lemas seperti orang hamil. Mommy sengaja mengirim baju bekas pakai Neil kemarin, agar rindu kamu terobati. Ingat yah! Apa pun yang kamu mau, kasih tahu sama Mommy.]
Satu pesan panjang masuk ke aplikasi chat berwarna hijau, Zahira tersenyum membaca pesan dari mertuanya. Sekaligus kasihan pada Neil yang selalu mengalami morning sickness tiap pagi.
"Terima kasih, Mom." Balas Zahira, walau singkat Melinda mengirim balasan emoticon cium yang banyak.
Sementara Neil, dia sedang tersiksa dengan morning sickness.
"Mommy kok, santai aja sih."
"Ya terus, Mommy harus bagaimana, Neil?" omel Melinda, sementara Ana terkikik geli saat sang kakak mendapatkan omelan.
"Ya pertemukan aku, dengan Zahira misalnya. Siapa tahu, aku baik-baik saja." Celetuknya. “Mungkin anakku mau ketemu, Daddynya. Mom,” rengek Neil.
"Engga," tolak Melinda dengan cepat, dia memberikan air lemon hangat dengan jahe. Agar perut Neil enakan.
"Jahat banget sih, Mom." Keluhnya.
"Biarin, kamu juga jahat. Biarin istri di negeri orang sendirian, dan lebih memilih wanita lain." Omel Melinda, membuat Neil bungkam dia tahu dia memang salah.
***
Miller menatap foto USG yang tertinggal di ruang rawat Livia, yang sudah pergi menurut perawat. Livia dibawa pulang oleh keluarganya.
"Bagaimana Egi, apa sudah ada kabar?" tanya Miller.
"Maaf Tuan, kami tidak bisa menemui alamat Nona Livia."
Miller menghembuskan napasnya dengan pelan, beberapa hari tak menemui Livia. Dia malah kehilangan Livia, juga anak yang ada dalam kandungan Livia anak yang sudah dia tahu jenis kelaminnya.
"Cari terus, aku menginginkan mereka berdua." Titahnya dengan lirih.
"Baik tuan." Jawab Egi.
****
"Livia, makan dulu." Titah Lia.
"Nanti saja Bu, aku belum lapar." Jawab Livia, seraya mengelus lembut perutnya yang sudah mulai terlihat.
Saat pertama kali datang ke tempat kelahirannya, semua tetangga menatap Livia dengan lekat. Berbagai macam cemoohan juga cibiran dia terima, Livia jarang keluar dari rumah karena merasa malu. Dengan kehamilannya yang tanpa suami, Livia lupa jika di Jakarta tak hanya ada dirinya.
"Setidaknya, kasihanilah anakmu Via. Dia perlu nutrisi." Lia mencoba membujuk sang anak, yang terkadang melupakan makan juga vitaminnya.
"Jangan pernah menghukum bayi yang tak berdosa, Livia. Dia tak tahu apa-apa, kamu yang menghadirkannya dengan cara yang salah." Ujar Lia, dia sempat berpikir jika Livia sengaja melakukan itu pada anaknya.
"Aku tidak menghukumnya, Bu. Tidak, aku menyayangi bayi ini dia satu-satunya yang aku miliki." Lirih Livia.
"Aku hanya sedih, dia tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Aku menyesal telah mengkhianati orang yang tulus mencintaiku. Bu, aku menyesal." Isak Livia, menutup wajahnya dengan kedua tangannya tubuhnya bergetar. Membuat Lia iba dengan nasib sang anak.
"Sabar nak, ini semua takdir yang harus kamu jalani."
"Masih ada, Mas, yang akan menyayangi anakmu Via. Mas akan jadi paman juga Ayah untuk anakmu sekaligus," cetus Rayhan, yang muncul dari arah dalam.
"Tidak Mas, seharusnya kamu menikah lagi." Ujar Livia, Rayhan menggeleng enggan untuk menikah lagi. Karena pengkhianatan perempuan membuatnya trauma untuk menjalin hubungan yang serius.
"Tidak, Mas akan fokus sama kamu, anakmu dan Ibu." Tegas Rayhan, menatap Livia yang menangis.
"Mas." Lirih Livia, tak bisa berkata-kata lagi.
Rayhan memeluk adiknya dengan erat, Lia mengusap punggung Rayhan dan juga Livia bergantian. Dia menyeka sudut matanya, karena haru melihat kasih sayang Rayhan pada Livia.
Bersambung ...
balik cari bini minta ma"af minta di kesempatan,,pintu ma"af istri mu terbuka lebar lebar ko jadi ga usah pusing ok ok