Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 JAKARTA
Langit Jakarta siang itu sebenarnya cukup cerah. Tapi ya gitu, polusinya tetap setia menggantung, seolah awan pun malas mampir terlalu dekat. Udara panas menyengat, bikin AC mobil serasa kipas angin. Di jalan, kemacetan seakan nggak kenal waktu. Klakson bersahutan jadi backsound khas ibu kota.
Di dalam mobil, Alisa duduk dengan mata berbinar. Setiap beberapa detik, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Gedung-gedung tinggi, mobil-mobil mewah, dan hiruk-pikuk kota besar membuatnya takjub.
“Gila ya, Don. Gedung di sini tinggi-tinggi banget. Liat deh tuh! Mobilnya juga keren-keren semua. Ini baru Jakarta!” ujar Alisa antusias.
Dona, yang menyetir dengan wajah datar, hanya melirik sebentar.
“Lah iya lah, Lis. Ini Jakarta, bukan Garut. Biasa aja napa lo. Kayak baru liat gedung.”
“Emang baru,” jawab Alisa tanpa rasa malu. “Gue tuh dari kecil cuma liat Jakarta di TV. Sekarang bisa lihat langsung, itu kayak... mimpi yang dikasih promo tiket ke realita.”
Dona hanya tertawa pendek. “Dasar norak lo.”
Setelah beberapa jam bergelut dengan jalanan dan sinyal GPS yang kadang suka nge-prank, mereka akhirnya tiba di sebuah kompleks perumahan sederhana, tapi letaknya super strategis—cuma sekitar 10-15 menit jalan kaki ke kampus. Kalau naik ojek? Mungkin dua lagu dangdut di TikTok udah sampe.
“Wah, rumahnya cakep juga. Simpel tapi classy,” komentar Alisa saat mereka parkir di depan rumah.
“Ya iyalah. Bapak gue siapa? Doi udah keliling Indonesia buat nyari rumah nyaman buat anak perempuannya yang manja ini,” kata Dona bangga sambil turun dari mobil.
Rumah itu bergaya minimalis dua kamar tidur. Interiornya sudah lengkap, mulai dari perabot, kasur empuk, sampai teko listrik yang masih berplastik.
Alisa melongo. “Astaga, Don. Ini mah tinggal nyalain Netflix doang. Enak banget lo!”
“Kemarin udah gue suruh bersihin. Gue nggak mau masuk rumah yang debuan. Oh iya, kalau ada barang yang kurang, bilang aja ya. Kita bisa ke toko deket sini.”
“Oke. Bentar, kamar gue yang mana?”
“Sini, sini. Yang ini kamar lo, sebelahnya kamar gue. Lo beruntung, yang lo dapet jendelanya langsung ngadep ke jalan. Bisa ngintip tetangga,” goda Dona.
Alisa mendecak sambil ketawa. “Thanks, bos.”
Setelah masuk kamar, Alisa langsung menjelajah. Kamar itu memang nggak terlalu besar, tapi cukup cozy. Ada meja belajar, lemari, rak buku, kasur medium size dengan sprei krem bersih, dan kamar mandi pribadi.
Ia menjatuhkan diri di atas kasur dan mendesah lega. “Ah... surga dunia.”
Lalu ia meraih ponsel, menghubungi orang yang selalu ia rindukan—Bu Rianti, ibu panti yang mengasuhnya sejak kecil.
Tut... Tut... Tut...
“Halo, assalamu’alaikum Bu,” sapa Alisa lembut.
“Wa’alaikumsalam, Alisa. Gimana nak? Udah sampe Jakarta?”
“Udah, Bu. Alisa udah sampe dan sekarang lagi di rumah Dona. Nyaman banget, Bu. Kamarnya bagus, bersih.”
“Alhamdulillah. Ibu senang dengarnya. Kamu pasti capek ya, istirahat dulu aja.”
“Iya, nanti Alisa istirahat. Tapi sebelumnya pengen denger suara Ibu dulu.”
Suara di seberang terdengar tenang dan hangat. “Nak, Ibu cuma bisa ingetin satu hal. Jakarta itu gede, banyak tantangannya. Hati-hati ya. Jangan gampang percaya sama orang. Jangan sampe salah pergaulan.”
“Iya, Bu. Tenang aja. Alisa bakal jaga diri. Lagian kan ada Dona juga.”
“Bagus. Kalian harus saling jaga, jangan sampai bertengkar. Kalau ada masalah, bicarakan baik-baik.”
Alisa terdiam sejenak. Matanya mulai memanas.
“Bu... doain Alisa ya. Biar bisa kuliah lancar, dapet nilai bagus... dan bisa banggain Ibu sama adik-adik.”
“Ibu selalu doain kamu, nak. Kamu anak baik, anak hebat. Jalan kamu mungkin nggak mudah, tapi Ibu yakin kamu bisa.”
“Aamiin... makasih ya, Bu.”
“Sekarang istirahat, ya. Jangan lupa makan. Jangan kebanyakan mikir.”
“Iya. Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikumsalam.”
Panggilan ditutup. Alisa meletakkan ponsel di dada. Matanya menatap langit-langit kamar, dan seperti ada tombol tak sengaja terpencet di kepalanya, nama itu muncul...
“Rayyen...” bisiknya pelan.
Tanpa disuruh, air mata mengalir. Ia memukul pelan dadanya. Sakit. Masih ada bekas luka di sana. Pria yang dulu pernah menjanjikan bulan dan bintang, kini bahkan tak meninggalkan bayangan.
Ia menangis pelan. Lama. Sampai akhirnya tertidur.
Tok… Tok… Tok…
Tok… Tok… Tok…
“ALISA! Bangun woy! Udah sore!” teriak Dona sambil menggedor pintu.
“Nih anak tidur apa jadi fosil?”
Tok… Tok… Tok…
Akhirnya pintu terbuka. Dona berdiri di ambang pintu, tangan bersedekap.
“Lis, lo bikin gue deg-degan. Gue pikir lo mati di dalam.”
“Maaf Don... kebablasan. Hehehe.”
Dona memandangi wajah temannya. “Kebablasan atau abis nangis lagi?”
“Hehehe... bukan gue, mata gue aja iseng keluarin air.”
“Udah ah, nggak usah ngeles. Mandi sono. Kita keluar sebentar, biar otak lo disegerin dikit.”
“Keluar? Kemana?”
“Keliling kota, terus makan. Gue laper. Lo pasti juga, kan?”
Alisa mengangguk lemas. “Oke deh, tungguin ya.”
Sore itu mereka menyusuri jalanan Jakarta pakai mobil Dona. Macet? Pasti. Tapi mereka cuek, nyetel lagu, ngobrol, sesekali ngeluh, sesekali ngakak.
“Gue baru nyadar Don, di Jakarta orang-orang tuh mukanya kayak buru-buru semua ya?” tanya Alisa sambil mengunyah permen.
“Ya iyalah, Lis. Di sini waktu tuh duit. Beda sama di panti lo yang waktu tuh rebahan.”
Alisa cekikikan. “Ya ampun. Tapi bener juga sih.”
Mereka mampir ke rumah makan Padang untuk makan malam. Ramai, suasananya hangat, dan rendangnya luar biasa. Alisa sedikit kaget liat harga menu, tapi pura-pura santai.
“Don, tadi tuh ayam bakarnya dua kali lipat harga makan di warteg deket panti.”
“Hahaha. Ya iyalah. Ini Jakarta, bukan warung Umi.”
Pulangnya, mereka singgah ke swalayan buat belanja bahan makanan.
“Ini buat stok seminggu. Biar hemat,” ujar Alisa sambil menghitung total belanjaan di kalkulator ponsel.
“Lo serius banget. Kayak ibu-ibu muda.”
“Daripada lo belanja harian terus kebablasan jajan boba tiap sore.”
“Ya udah, ya udah. Gue nurut. Lo emang cocok jadi manajer keuangan gue,” kata Dona sambil mendorong troli ke kasir.
Malam itu, setelah semua belanjaan dibereskan dan perut kenyang, Alisa duduk di balkon kecil depan rumah. Ia menatap jalanan yang mulai sepi, lampu-lampu jalan menyala kekuningan. Dona datang membawa dua gelas teh hangat.
“Nih, buat nenangin pikiran.”
Alisa mengambil gelas itu dan mengangguk pelan.
“Thanks, Don. Lo baik banget.”
Dona duduk di sebelahnya. “Udah lah. Gue tahu lo lagi banyak pikiran. Tapi percaya deh, pelan-pelan semuanya bakal baikan. Lo punya gue di sini. Jadi jangan mikir lo sendirian.”
Alisa tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Jakarta, ia merasa punya rumah, meski bukan rumah sesungguhnya.