Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kejutan manis dan undangan mengejutkan
Pagi itu, gue bangun dan nemuin Rayyan gak ada di kamar.
Awalnya gue panik. Tapi pas gue turun ke bawah…
Jreng!
Vila udah didekor penuh bunga putih, lilin kecil, dan di tengahnya ada sarapan lengkap yang gak biasa—bubur ayam buat gue, dan kopi hitam favorit dia.
Rayyan berdiri di sana, pake kemeja santai dan celana pendek. Tapi yang bikin deg-degan… dia megang kotak kecil beludru merah.
Gue langsung panik.
"Jangan bilang lo mau ngelamar beneran?"
Dia ketawa pelan. “Bukan lamaran. Tapi ini... simbol perasaan gue.”
Dia buka kotaknya.
Isinya liontin kecil berbentuk kunci.
“Lo udah punya kunci hati gue, Nay. Dan kalo lo siap... lo juga bisa buka semua pintu masa depan bareng gue.”
Gue diem, gak bisa ngomong. Mata udah berkaca-kaca.
Ini bukan tentang mahalnya hadiah, tapi ketulusan dibaliknya.
Gue peluk dia.
“Thanks, Ray... gue juga ngerasa, makin hari, lo tuh bukan cuma suami kontrak gue. Tapi... pelan-pelan jadi rumah buat gue.”
Dia bisik pelan di telinga gue,
“Mulai sekarang, kita gak pake kata ‘kontrak’ lagi, ya?”
Gue angguk.
Hari terakhir di Bali, kita jalan-jalan naik vespa keliling desa. Sore-sore nonton sunset di pantai. Pegangan tangan, tanpa banyak kata, tapi... hatinya nyambung.
Gue ngerasa tenang.
Tapi begitu kita balik ke Jakarta…
Tiba-tiba ada pengumuman di grup keluarga Rayyan.
"Pertemuan keluarga besar diadakan lusa. Mohon Rayyan hadir bersama istri. Akan ada pengumuman penting dari Mama."
Rayyan langsung buang napas berat. “Fix. Ini bakal jadi ribet.”
Gue melotot. “Emang kenapa?”
“Mama gue tuh... kalo udah bilang ada ‘pengumuman penting’, pasti ada sesuatu yang bisa bikin gempa satu rumah.”
Dan bener aja. Malamnya, Mama Rayyan nelepon langsung ke HP gue.
“Nayla, ibu pengen kamu dateng dengan penampilan yang pantas sebagai istri Rayyan. Pakai kebaya ya. Dan jangan lupa, jangan terlalu banyak ngomong.”
Mampus.
Rayyan ngeliat gue yang lagi diem megang HP sambil pucet. “Dia ngomong apaan?”
“Gue disuruh pake kebaya… dan jangan banyak ngomong.”
Rayyan langsung ketawa.
“Fix, ini mau kondangan atau rapat keluarga?”
Gue cuma bisa nyengir kecut. “Gue siapin mental dulu deh.”
Dan lusa... gue bakal berdiri di tengah keluarga konglomerat, pake kebaya, sambil pura-pura kalem... padahal hati gue udah keringetan dingin.
Hari pertemuan keluarga akhirnya datang juga.
Gue berdiri depan cermin, pake kebaya biru muda yang udah disiapin Rayyan dari semalam.
Rambut disanggul simpel, makeup tipis, tapi jantung… deg-degan gak karuan.
“Lo yakin mau ajak gue ke sini, Ray?”
“Yakin. Mereka harus tau, lo istri gue. Bukan mainan. Bukan iseng-iseng.”
Rayyan pake batik lengan panjang, keliatan rapi dan keren banget. Dia ngeluarin tangan, nyuruh gue genggam.
“Kita bareng-bareng, ya. Gak ada yang bisa hancurin kita… kecuali lo nyerah.”
Gue senyum. “Gue gak bakal nyerah. Tapi… gue juga gak janji bakal diem aja kalo disindir, ya.”
Dia ketawa. “Itu Nayla banget.”
Sampai di rumah keluarga Rayyan, langsung disambut karpet merah. Literally.
Semua anggota keluarga udah kumpul, meja panjang, piring-piring mewah, dan… tatapan-tatapan menghakimi. Terutama dari Mama Rayyan.
Dia berdiri, pake kebaya hitam elegan.
“Akhirnya kalian datang.”
Dia ngelirik gue dari atas ke bawah. Bibirnya senyum… tapi matanya sinis.
“Nayla, kamu cantik juga ternyata. Tapi agak sayang, kamu nggak dari keluarga terpandang.”
Duh. Baru lima detik udah kena mental.
Gue senyum tipis. “Terima kasih, Bu. Untung saya gak dari keluarga terpandang, jadi gak terlalu repot jaga image.”
Rayyan batuk nahan ketawa.
Mama Rayyan nyipit.
“Baik. Sebelum makan dimulai, Mama ingin kenalin seseorang.”
Lalu muncullah seorang wanita cantik, tinggi, putih, dan super anggun.
Nama dia? Clarissa.
“Ini Clarissa. Anak sahabat Mama. Lulusan luar negeri. Pintar, sopan, dan punya masa depan cerah. Mama dulu berharap Rayyan bisa dekat sama dia…”
Rayyan langsung nyeletuk.
“Tapi sekarang gue udah nikah, Ma.”
“Pernikahan bisa diakhiri kalau memang tidak sepadan.”
Boom.
Hening. Semua mata ngeliat gue.
Gue nyengir. “Wah, kayaknya saya harus tambah lauk biar kuat denger omongan gini.”
Clarissa maju, senyum manis. “Hai, Nayla. Aku suka banget kebaya kamu… sederhana ya.”
Buset, ini pujian atau nyindir?
Gue jawab pelan. “Iya, aku juga suka banget cara kamu senyum... palsu tapi meyakinkan.”
Rayyan hampir kesedak air putih.
Gue? Tetap senyum. Tapi dalam hati udah pengen pulang.
Setelah acara, di mobil, Rayyan ngegenggam tangan gue.
“Maaf ya, Nay… kamu jadi bahan serangan.”
Gue nyender ke bahunya. “Gue gak apa-apa. Tapi Ray…”
“Hmm?”
“Lo yakin gak bakal tergoda Clarissa? Dia tinggi, cantik, pintar…”
Rayyan noleh, mukanya serius.
“Tinggi? Gue lebih suka lo yang pendek dan bisa gue peluk dari segala arah. Cantik? Buat gue, lo paling cantik waktu bangun tidur. Pintar? Lo bisa bikin gue ngerasa dicintai tanpa basa-basi.”
Duh. Meleleh.
“Gue milih lo, Nay. Bukan karena gak ada pilihan lain. Tapi karena… lo satu-satunya yang bisa bikin gue ngerasa ‘rumah’.”
Gue diem, lalu senyum. “Oke. Tapi kalo Mama lo ngundang Clarissa lagi, gue duduknya di pelaminan sama lo, biar dia tau posisi gue.”
Rayyan ketawa. “Deal!”