Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Tahu Malu
Begitu tiba di rumah, Nanda langsung ke kamar Alif, atau bekas kamar Haris dulu. Dia membersihkan area tersebut, tak lupa, dia juga menggantikan sprei baru untuk kamar itu.
Setelah memastikan semua bersih, baru lah, dia menyuruh Alif masuk untuk istirahat.
Di kamar Neli, Haris juga melakukan hal yang sama, dia membersihkan seluruh area kamar mendiang ibunya, harap-harap jika ia akan menemukan tujuannya.
Namun, sampai disetiap sudut telah di bersihkan, Haris tak kunjung mendapatkan surat rumah, seperti kemauannya.
"Bagaimana?" tanya Nanda, memasuki kamar Neli.
"Nihil," sahut Haris jengkel.
"Tak apa, kita jalani aja sesuai rencana. Tak mungkin juga kan, kalo kita langsung menjualnya. Bisa-bisa semua warga akan mencap kita buruk." cetus Nanda.
...🍁🍁🍁...
Faisal pulang dengan menenteng plastik berisi bakso untuk keluarganya.
Akan tetapi, begitu sampai rumah dia tidak melihat Alif dimana pun.
"Alif mana?" tanya Faisal, membawakan mangkuk, yang diambil dari dapur, karena Misna sendiri sedang menyusui bayinya.
"Alif dijemput sama ayahnya." sahut Misna.
Faisal mengernyit dahi, "Kenapa bisa? Kenapa kamu izinkan?" beruntun Faisal sedikit meninggi.
"Ya mau gimana lagi, dia sendiri yang keukeh mau ikut. Apalagi, ayahnya berencana tinggal di rumah bu Neli." ujar Misna.
Akhirnya Faisal menyerah, karena dia saat di bertanya pada Alif pun, Faisal sering mendengar jika Alif rindu rumah neneknya, dan ingin pulang, kembali kesana.
"Iya, bang Alif sampai nangis saat di peluk ayahnya. Dia mau kembali." sambung Raffa.
Hari-hari berlanjut, Nanda memutuskan untuk tinggal bersama Alif. Sedangkan Haris, dia kembali ke keramat, untuk melihat bagaimana perkembangan warung, sekaligus mencari karyawan baru, karena bisa di pastikan, jika ia dan Nanda akan menetap lama di kampung.
Kehadiran Nanda, perlahan-lahan membuat Alif nyaman. Setiap hari, dia di manjakan. Bahkan sekarang, tubuhnya sedikit lebih berisi dari sebelumnya.
Tak terasa sudah lima bulan Nanda menetap disana. Walaupun begitu, dia tak kunjung menemukan surat rumah peninggalan Neli. Padahal, saat Alif ke sekolah, Nanda berusaha mencari di setiap sudut rumah.
Ingin sekali dia bertanya pada Alif tentang hal itu, namun dia undurkan. Karena dia gak mau, usahanya selama lima bulan hancur lebur karena ketidak sabarannya.
Selama Nanda ada disana, orang-orang yang dulunya julit mulai melihat ke arah Alif. Bahkan, mereka mulai mengizinkan anak-anaknya untuk ikut bermain bersama Alif.
Seperti sekarang, Nila memanggil Alif untuk menemani Akmal. Karena hari ini dia dan Beni akan menghadiri rapat di kantor kecamatan.
Bahkan Nila memberikan password wifinya pada Alif.
Ya, Alif sudah diberikan ponsel oleh Nanda. Walaupun ponsel Alif bukan ponsel mahal, akan tetapi berhasil membuatnya bahagia bukan main.
"Kita main ff aja mau?" tanya Akmal.
"Aku gak mau main game, kata guruku kalo main game, nanti kita lupa belajar." ungkap Alif.
"Terus, apa gunanya ponselmu?" tanya Akmal mencibir. "O pantes, ram-nya hanya empat. Bukan seperti ponsel ku, dua belas." kekeh Akmal, menghina ponsel Alif.
"Untuk nonton, selebihnya untuk belajar. Lagipula, ibuku pasti marah jika aku keseringan main ponsel." terang Alif.
"Itu karena ibumu tidak menyayangimu, o lupa ... Kan, ibu tiri." Akmal tergelak.
Alif mengedik bahunya, perkataan Akmal tak sedikitpun melukai hatinya. Karena dia tahu, itu lah kenyataannya.
Namun, dengan kehadiran Nanda, Alif berasa bersyukur. Karena pada akhirnya, dia tahu bagaimana rasanya di sayangi oleh makhluk yang di panggil ibu.
Pulang ke rumah, Alif langsung menyimpan ponselnya. Dia mulai mengambil sapu dari tangan Nanda, kehamilan yang semakin membesar membuat Nanda kepayahan.
"Kenapa ibu gak istirahat aja sih?" ujar Alif.
"Bagaimana aku bisa istirahat, sampai sekarang surat tanah itu tak terlihat dimana pun." batin Nanda.
"Ibu hanya ingin meregangkan otot. Kalo ibu hanya tidur saja, semua badan pasti terasa sakit." ungkap Nanda tersenyum. "Lagipula, besok kita akan ke keramat. Jadi, sebelum pergi, kita harus membersihkan semua area rumah ini." ungkap Nanda.
"Alif, bagaimana tanggapanmu, jika kita menjual rumah ini?" tanya Nanda dengan suara tertahan.
Alif langsung menghentikan, aktivitasnya.
"Aku gak setuju, selain banyak kenangan, rumah ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupku." ujar Alif menatap Nanda.
Nanda manggut-manggut, menyesali pertanyaannya.
Malamnya, Haris tiba di rumah, hubungannya dengan Alif memang tidak selayaknya ayah dan anak. Karena selama ini, Alif masih saja menjaga jarak dengan Haris. Dia tak pernah sekalipun bertanya lebih dulu pada Haris, akan tetapi saat Haris bertanya, dia akan berusaha untuk menjawabnya.
Seperti malam ini, Haris memberikan ayam utuh untuk makan malam. Itu semua, atas permintaan Nanda.
"Makan lah, kamu udah menyiapkan bajumu kan?" tanya Haris, dengan mulut yang penuh.
"Makan dulu, baru ngomong." tegur Nanda, memukul pelan bahu Haris.
"Udah ..." jawab Alif lirih.
"Kita disana hanya satu minggu, dan ayah minta satu hal sama kamu. Tolong, jangan ungkapkan indetitasmu disana. Bukan apa, semua demi kebaikanmu." Haris melirik Nanda sekilas, guna meminta izin pada istrinya.
Alif pun menghentikan suapannya, untuk mendengar kelanjutan dari perkataan ayahnya.
"Karena seluruh keluarga ibu Nanda melarang ayah untuk membawamu. Ini saja, Ayah membohongi mereka, mengatakan jika ibumu ini hanya ingin beristirahat sejenak. Makanya, tak pernah datang ke warung." jelas Haris.
Walaupun terdengar sangat mengada-gada, Alif memilih menganggukkan kepalanya, itu semua agar ibu tirinya tidak kepikiran.
Lagipula, selama ini ibu tirinya memang sudah menunjukkan betapa ibu sangat menyayanginya, jadi tak salah kan, jika ia hanya membalas dengan menuruti permintaan kecil itu?
"Wah, beruntung sekali kamu Lif, selama ada ibu Nanda, kamu bisa jalan sepuasnya. Bahkan, tak pernah memikirnya hari ini makan apa, besok makan apa." ucap Nila, kala melihat Alif memasukkan tas yang berisi bajunya ke mobil yang dibawa pulang oleh Haris semalam.
Tadi, Nila berencana ingin mengantar minum, untuk orang yang sedang menanam padinya di sawah.
Namun, tak sengaja matanya menatap Alif yang penampilannya terlihat bagus. Bagus, dari biasanya, dan dia langsung menanyakan tentang kemana tujuan Alif pergi.
"Alhamdulillah." lirih Alif.
Nila manggut-manggut, kemudian dia mendekati Alif. "Nanti, kalo kembali kesini lagi, jangan lupakan Akmal ya." bisiknya.
Alif mengernyit.
"Maksud bu Nila, jangan lupa bawakan Akmal oleh-oleh. Minta sama ayah atau ibumu untuk membelikan bolu viral itu lagi." sambungnya.