NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Beberapa hari berikutnya, Hanif kerap melewati farmasi. Matanya refleks mencari Sekar di balik kaca ruang racik. Tapi tak pernah ia lihat sosok itu lagi. Sekar seperti menghilang. Hanya namanya yang masih tercetak sebagai pemberi approval di lembar resep, seolah menandakan keberadaan yang abstrak—nyata tapi tak terlihat.

Hanif menduga ia sedang menghindar. Mungkin karena kejadian lift itu. Mungkin karena kata-katanya yang kelewat batas. Tapi ia tak tahu pasti. Dan rasa bersalah itu tumbuh pelan-pelan, menyesakkan.

Sampa akhirnya, pada satu siang yang sepi—jam tiga sore, saat sebagian besar pegawai sudah selesai makan siang dan kantin hampir kosong—Hanif masuk ke kafetaria. Perutnya keroncongan, dan ia baru sadar belum makan apa pun sejak pagi karena poli anak sangat ramai hari ini. Kemarin tanggal merah. Jadi semua pasien yang harusnya berobat kemarin, datang hari ini. Pekerjaan Hanif jadi double karenanya.

Begitu ia memasuki kafetaria tersebut, yang ia dapati hanyalah ... lengang. Hanya satu orang yang duduk di sana. Sekar. Sendirian. Dengan nampan makanan yang hanya disentuh sedikit. Kepalanya menunduk, seperti tenggelam dalam pikiran sendiri.

Jantung Hanif berdegup kencang. Rasa gugup menyelimuti dirinya. Dia ragu sesaat. Banyak tempat kosong. Tapi entah dorongan apa, ia justru berjalan ke arah wanita itu, lantas menarik kursi di seberang Sekar dan duduk di sana.

Hal itu membuat Sekar mengangkat wajah, jelas terkejut. Tapi ekspresi itu hanya bertahan dua detik. Dia kembali menunduk, tak berkata apa-apa.

“Tempat lain kosong, tapi saya lebih pengen duduk di sini,” ucap Hanif pelan, mencoba mencairkan suasana.

Sekar menatapnya, tatapan datar seperti biasa. Tapi kali ini... ada sedikit sesuatu. Bukan senyum. Bukan juga marah. Lebih ke... kebingungan.

“Saya... belum sempat bilang maaf,” lanjut Hanif. “Waktu itu. Saya terlalu jauh. Terlalu lancang.”

Sekar tak langsung menjawab. Ia hanya memindahkan sendoknya pelan. “Saya sudah lupa,” katanya singkat.

“Kalau kamu udah lupa, kenapa kamu ngilang?” Hanif balik bertanya, suaranya tetap lembut.

Sekar tak menjawab. Tapi matanya... mulai tidak sekuat biasanya.

Ada jeda. Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih ke... hening yang saling mendengarkan.

Dan saat itulah Hanif sadar. Ia tertarik pada Sekar bukan karena wajahnya. Tapi karena misterinya. Karena luka yang disembunyikan perempuan itu. Dan semakin ia tahu, semakin ia ingin melindungi.

Bukan sebagai dokter. Tapi sebagai laki-laki.

Hanif menarik napas pelan. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah, tapi tetap mencoba.

“Kamu nggak makan dari tadi?” tanyanya membuka percakapan, meski tahu pertanyaannya mungkin terdengar bodoh.

Sekar hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk. Tidak menjawab.

Hanif tersenyum kaku. “Saya tahu kamu bukan tipe orang yang suka ngobrol. Tapi nggak ada salahnya tanya kabar, kan?”

Sekar akhirnya bersuara. “Baik,” jawabnya singkat, tanpa menatap.

“Kerjaan di farmasi masih padat?”

“Biasa aja.”

Hanif tidak menyerah. “Saya lihat approval kamu masih muncul di sistem. Tapi kamu jarang kelihatan. Sakit, atau lagi cuti?”

Kali ini Sekar meletakkan sendoknya. Wajahnya yang datar itu jadi makin tegas.

“Kamu nanya terus. Udah kayak orang sensus data penduduk aja,” gerutunya.

Hanif mengerjap, tapi setelah itu terkekeh pelan. Kekehan yang membuat Sekar makin tak mau menatapnya. Dada Hanif menghangat. Tidak pernah melihat orang marah tapi wajahnya jadi selucu itu.

Alih-alih pergi  karena sekar menunjukkan tanda ketidaksukaannya, Hanif malah lebih aktif lagi bertanya.

“Kemarin... waktu di lift. Kamu kenapa?”

Seketika, Sekar membanting tangannya ke meja, cukup keras hingga sendok di atas piring bergeser dan bunyi logam menggema di ruang kantin yang sepi. Hanif terdiam, tubuhnya refleks mundur sedikit.

Sekar berdiri cepat, meraih nampan makanannya. “Jangan tanya apa-apa lagi,” ucapnya, dingin.

Tanpa menunggu reaksi Hanif, ia melangkah pergi. Langkahnya cepat, penuh amarah, dan menyisakan aroma perlawanan yang menggantung di udara.

Hanif hanya bisa menatap punggung Sekar yang menjauh, perasaan campur aduk di dadanya. Dia masih duduk di kursinya. Sedikit bingung, walau sebenarnya ia sudah menyangka hal semacam ini bisa saja terjadi. Sikap Sekar sejak awal memang tak pernah mudah ditebak—selalu penuh kejutan, dan sering kali sulit ditebak arah pikirannya. Tapi itulah Sekar, perempuan yang justru semakin menarik di mata Hanif karena ketidakterdugaannya.

Ia tahu langkahnya tadi nekat. Menyuarakan perasaan pada Sekar bukanlah hal ringan, apalagi setelah hubungan mereka beberapa hari ini bukanlah hubungan yang bisa dibilang baik untuk orang yang baru berkenalan. Reaksi Sekar barusan—datar, dingin, lalu marah—seolah menjadi konfirmasi dari keraguan yang sejak tadi menggerogoti pikirannya. Mungkin ia salah waktu, atau salah cara.

Memegangi jantungnya sendiri, Hanif bergumam, “benar kata Joe. Dia aneh.”

Dia lantas terkekeh pelan sekali. Samar. Suaranya sampai tak keluar.

Hanif tak tahu pasti sejak kapan melihat orang pemarah menjadi semengasyikkan ini.

******

Di lorong belakang kafetaria rumah sakit, Sekar berjalan cepat sambil menggertakkan gigi. Nampannya ia taruh sembarangan di meja kosong dekat wastafel. Matanya menajam, dan dalam hati ia mulai bersuara sendiri.

“Sialan. Sok perhatian. Sok tahu. Baru ketemu beberapa kali udah nanya-nanya kayak detektif. Siapa dia? Cuma dokter sok ganteng yang ngerasa bisa buka semua rahasia orang.”

Langkahnya melambat, dan ia menghela napas kasar.

“Tapi... kenapa harus seganteng itu, sih?”

Ia berhenti di depan kaca wastafel, menatap pantulan dirinya sendiri. Rambut sedikit berantakan, mata masih tajam... tapi ada rona merah di pipi yang tak biasa. Wajahnya hangat. Dan bukan karena marah.

“Kurang ajar.” Monolognya berlanjut. “Udah jelas bikin kesel, tapi wajahnya... kenapa nyangkut di kepala sih? Senyum dikit aja tadi bikin lupa cara marah.”

Matanya menyipit, menatap dirinya sendiri seolah ingin menceramahi pantulan itu. Tapi kemudian ia memalingkan wajah. Menahan senyum yang nyaris bocor.

Ia berbalik, hendak melangkah pergi. Tapi tepat saat ia membalik badan, seseorang berdiri di belakangnya.

Hanif.

Jantung Sekar berdegup kencang. Tubuhnya membeku sesaat.

Pria itu membawa dua kotak kecil dari kantin. Isinya—tebakannya benar—puding karamel kesukaan para karyawan.

“Saya lupa bilang,” ucap Hanif pelan. “Kamu belum makan banyak. Saya bawain ini. Buat cadangan energi, kalau-kalau kamu masih kesel sama saya.”

Sekar melotot kecil. “Kamu ngikutin saya?”

Hanif mengangkat alis. “Enggak. Kamu drama banget. Saya cuma... lewat sini.”

“Kamu tadi di sana.” Sekar menunjuk asal  kantin.

“Ya, terus saya ke sini. Emang salah?”

Sekar terdiam. Matanya menatap kotak puding di tangan Hanif. Ia menelan ludah. “Saya enggak suka manis.”

“Tapi tadi kamu ambil teh tarik, dan itu manis,” sahut Hanif cepat, senyumnya licik.

Sekar memutar bola mata. “Stalker.”

“Dokter,” sahut Hanif sambil nyengir.

Ada jeda di antara mereka. Sekar menatapnya lekat-lekat, mencoba tetap memasang wajah datar. Tapi gagal total.

“Satu aja,” katanya, mengambil satu kotak dari tangan Hanif.

Hanif ikut tersenyum, lalu menyerahkan sendok kecil. “Janji gak ngambek lagi?”

Sekar pura-pura berpikir lama. “Enggak janji. Tapi ... mungkin.”

Saat Sekar hendak pergi, ia berhenti sebentar di samping Hanif dan bergumam cepat, nyaris seperti bisikan, “Saya enggak suka ditanya-tanya. Tapi saya juga... enggak benci kamu.”

Hanif tak sempat bereaksi. Sekar sudah berjalan lagi, kali ini lebih pelan. Tapi pundaknya tidak lagi tegang. Ada irama ringan dalam langkahnya.

Hanif berdiri di tempat, senyum tak bisa ia tahan. Tangannya meremas kotak puding yang tersisa.

“Noted,” bisiknya, seolah menyimpan kode rahasia yang baru saja Sekar berikan.

Dan untuk pertama kalinya sejak kenal Sekar, Hanif merasa: perempuan itu tak sekaku yang ia kira.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!