NovelToon NovelToon
Sang Pewaris Takdir

Sang Pewaris Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Kelahiran kembali menjadi kuat / Perperangan / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]

Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.

Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.

Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 13 - Janji Seorang Ayah, Tekad Seorang Anak

Figur Abirama dan Sora.

...----------------...

Angin berhembus pelan, menyapu dedaunan kering yang berserakan di tanah. Sora terus mengumpulkan kayu bakar, meski pikirannya masih dipenuhi kejadian yang baru saja terjadi. Ia masih bisa merasakan sisa panas dalam tubuhnya, seolah kekuatan itu belum sepenuhnya menghilang.

Abirama diam dalam keheningan. Tangannya tetap bekerja, tetapi pikirannya melayang jauh. Kekuatan Sora… Itu bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.

Klan Strein dikenal sebagai klan dengan fisik yang luar biasa, tetapi Sora tidak dibesarkan di antara mereka. Tidak pernah dilatih atau dipersiapkan untuk menjadi seorang pendekar. Namun, dalam usianya yang masih muda, kekuatannya sudah melebihi batas normal manusia.

“Seberapa jauh batas kekuatannya?” gumam Abirama dalam hati.

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tidak ada gunanya membuat kesimpulan tergesa-gesa. Yang terpenting sekarang adalah memastikan bahwa Sora tidak menarik perhatian siapa pun.

Mentari hampir tenggelam. Suara dedaunan yang tertiup angin bercampur dengan langkah kaki Abirama dan Sora yang berjalan pulang ke desa, membawa kayu bakar dalam keranjang mereka. Namun, pikiran Abirama tak kunjung tenang.

Di sisi lain, Sora tampak lebih ceria dari biasanya. Ia terus melirik tangannya sendiri, sesekali menggenggam dan melepaskannya, seolah masih mencoba memahami apa yang terjadi sebelumnya.

“Jangan terlalu dipikirkan,” suara Abirama akhirnya memecah keheningan.

Sora menoleh, matanya berbinar. “Tapi Ayah, aku benar-benar kuat, ya?”

Abirama tersenyum kecil. “Ya, kau kuat. Tapi kekuatan itu harus dikendalikan.”

Sora mengangguk mantap. “Kalau begitu, ajari aku, Ayah! Aku ingin belajar bagaimana cara menjadi sekuat Ayah.”

Abirama terdiam sesaat, menimbang jawabannya. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Namun, melihat semangat di mata anaknya, ia tak bisa hanya mengabaikannya begitu saja.

“Baik,” katanya akhirnya. “Tapi ada syaratnya.”

Sora mengangkat wajahnya dengan penuh antusias. “Apa itu?”

“Kau harus belajar disiplin, mendengarkan setiap instruksi yang kuberikan, dan yang paling penting, kau tidak boleh menggunakan kekuatanmu dengan sembarangan. Tidak ada yang boleh tahu tentang ini, mengerti?”

Sora menegakkan punggungnya, lalu mengepalkan tinjunya dengan tekad yang kuat. “Aku mengerti! Aku janji, Ayah!”

Abirama tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi keraguan.

Apakah ini keputusan yang benar?

Namun, ia tahu satu hal. Jika ia tidak mengajari Sora bagaimana mengendalikan kekuatannya, maka cepat atau lambat, dunia yang keras ini akan mengajarkannya dengan cara yang jauh lebih menyakitkan.

................

Hari-hari berlalu sejak kejadian di hutan itu. Di siang hari, Sora tetap menjalani kehidupan sebagai anak biasa di desa. Ia bermain dengan teman-temannya, membantu ibunya, dan menjalani kesehariannya seperti anak-anak lain. Namun, di saat fajar mulai menyelimuti langit, Abirama akan membawanya ke luar desa untuk berlatih secara diam-diam.

Mereka memulai dari dasar—mengendalikan napas, memahami tubuh sendiri, dan melatih kekuatan fisiknya tanpa mengandalkan ledakan tenaga yang tidak terkendali.

“Jangan gunakan kekuatanmu untuk memukul atau menendang sembarangan,” kata Abirama suatu malam. “Pelajari bagaimana tubuhmu bergerak, bagaimana kau bisa mengontrol setiap gerakanmu.”

Sora mendengarkan dengan penuh perhatian, meski rasa ingin tahunya sering kali membuatnya tak sabar.

Namun, Abirama tak terburu-buru. Ia tahu bahwa kekuatan besar tanpa kendali hanya akan berakhir menjadi bencana.

Latihan mereka terus berlanjut selama berbulan-bulan, dan seiring waktu, Sora mulai menunjukkan kemajuan yang menakjubkan. Ia tidak lagi secara spontan melepaskan kekuatannya, dan tubuhnya semakin terbiasa dengan latihan keras yang diberikan oleh ayahnya.

Namun, suatu malam, saat latihan mereka hampir selesai, sesuatu terjadi.

Sora, yang sudah kelelahan, mencoba mengatur napasnya. Abirama menepuk bahunya dengan bangga. “Kau sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.”

Namun, tiba-tiba—

—Desir angin berubah.

Abirama merasakan sesuatu yang tidak biasa. Sebuah insting lama yang telah lama tertidur dalam dirinya kembali terbangun. Ia menoleh cepat ke arah hutan di sekeliling mereka, matanya menyipit waspada.

“Sora,” katanya pelan. “Kita harus kembali sekarang.”

Sora bingung. “Kenapa, Ayah?”

Namun, Abirama tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tubuh Sora ke punggungnya dan melesat cepat menuju desa.

Langit telah sempurna diselimuti gelap ketika Abirama menurunkan Sora dari punggungnya. Angin malam berembus perlahan, membawa aroma kayu basah dan dedaunan hutan.

Ketika mereka tiba di halaman rumah, Abirama masih belum mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya berdiri di depan rumah mereka, matanya menatap hutan di kejauhan, seolah mengawasi sesuatu yang tidak terlihat oleh mata biasa.

Sora menatap ayahnya dengan bingung.

“Ayah?”

Abirama menghela napas dalam-dalam.

“Tadi… ada seseorang yang mengawasi kita.”

Sora terdiam. Dadanya berdebar kencang.

“Siapa?” tanyanya dengan suara kecil.

Abirama tidak segera menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti untuk sesaat. Hingga kemudian...

“Sora,” suara Abirama dalam dan tegas.

Sora menoleh, napasnya masih sedikit tersengal setelah kejadian di hutan.

“Masuk ke dalam. Sekarang.”

Sora sempat ingin bertanya, tetapi tatapan ayahnya cukup untuk membuatnya mengurungkan niat. Tanpa banyak suara, ia melangkah ke depan pintu, hendak membukanya—namun tiba-tiba, tangan kasar Abirama mencengkeram pundaknya.

Sora menatap ke atas, dan saat itu ia melihat isyarat ayahnya: satu jari di depan bibirnya.

Jangan katakan apa pun.

Sora menelan ludah, mengangguk patuh. Ia mengerti. Apapun yang terjadi di hutan tadi, ibunya tidak boleh tahu.

Abirama melirik ke dalam rumah. Samar-samar, ia melihat Kimiko sibuk di dapur, bayangan tubuhnya bergerak lembut di balik cahaya lentera. Setelah memastikan semuanya aman, ia mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk.

Seketika, kehangatan menyambut mereka. Aroma sup yang kaya rempah memenuhi udara, menciptakan kontras yang menenangkan dari dinginnya malam di luar. Kimiko sedang menuangkan sup panas ke dalam mangkuk kayu, dan saat melihat keduanya masuk, ia menoleh.

“Kalian terlambat,” katanya dengan nada lembut, tetapi matanya tajam, penuh perhatian. “Apa kalian tersesat di hutan?”

Sora tersentak sesaat, lalu buru-buru tersenyum. “Hanya mengumpulkan kayu lebih banyak, Ibu!”

Kimiko menatapnya sejenak, lalu menyipitkan mata curiga. “Sora.”

Sora menegang.

“Kau tahu, Ibu tidak suka jika kau berbohong.”

Suasana berubah sejenak.

Namun, sebelum Sora bisa membuka mulut, Abirama tertawa ringan dan meletakkan tumpukan kayu di pojok ruangan. “Dia tidak bohong, Kimiko. Aku yang menyuruhnya.”

Kimiko menghela napas, lalu menggeleng. “Kau selalu berlebihan soal persiapan musim dingin,” katanya dengan suara lembut, tetapi mengandung ketegasan. “Tapi sudahlah. Makanlah sebelum makanan ini dingin.”

Sora mendesah pelan, merasa selamat dari interogasi ibunya. Ia segera duduk di lantai bersama Abirama, sementara Kimiko meletakkan mangkuk-mangkuk sup di atas meja kayu sederhana.

Saat mereka mulai makan, Kimiko menatap Sora dengan lembut.

“Sora, kau tidak merasa lelah?” tanyanya sambil menyendok kan sayuran ke dalam mangkuk anaknya.

Sora menggeleng cepat. “Aku baik-baik saja, Ibu! Hanya sedikit lapar.”

Kimiko tersenyum tipis, lalu mengelus rambut anaknya. “Kalau begitu, makanlah yang banyak."

Sora mengangguk bersemangat dan mulai melahap makanannya dengan penuh semangat.

Abirama tersenyum kecil melihat keduanya. Namun, di dalam benaknya, ia tetap waspada.

Sora menyendok kan sup ke dalam mulutnya, rasa hangat dari kaldu yang kaya rempah menyebar di tenggorokannya. Kimiko duduk di sebelahnya, matanya yang lembut penuh kasih sayang menatap anak semata wayangnya itu.

“Sora, kau makan terlalu cepat.” Ia tertawa pelan sambil menyeka sudut bibir putranya dengan ibu jarinya. “Pelan-pelan, Nak. Ibu sudah memasak banyak, kau tidak perlu khawatir kehabisan.”

Sora terkekeh kecil, tetapi tetap saja ia mengambil sesendok lagi dengan lahap.

Kimiko menghela napas, lalu meraih sebuah potongan daging dari piring dan meletakkannya di mangkuk Sora. “Ini, makanlah lebih banyak. Kau harus tumbuh besar dan kuat, ya?”

Sora menelan makanannya dan mengangguk. “Aku pasti akan tumbuh kuat seperti Ayah!”

Kimiko tersenyum lembut, tetapi ada sedikit keraguan dalam matanya. Ia melirik sekilas ke arah Abirama, yang tetap diam sambil menyantap makanannya.

“Tapi,” lanjut Sora, “aku juga ingin menjadi secepat Ibu! Ibu selalu bisa bergerak dengan cepat saat menyiapkan makanan!”

Kimiko tertawa kecil, lalu mencubit pipi Sora dengan gemas. “Oh, sayangku... Kau terlalu manis. Kau ingin jadi cepat seperti Ibu, atau kuat seperti Ayah? Kalau begitu, kau harus makan lebih banyak lagi.”

Sora tertawa, dan tanpa ragu-ragu, Kimiko menyendok kan lebih banyak makanan ke dalam mangkuknya.

Abirama hanya mengamati dalam diam.

Kelembutan Kimiko pada Sora begitu alami, tetapi ia tahu—ada batas yang harus dijaga. Jika Kimiko tahu tentang kekuatan Sora yang mulai terbangun... Apakah ia akan tetap tersenyum seperti ini?

Kimiko menatap Sora dengan penuh kasih sayang, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut.

“Sora, Nak, apapun yang terjadi, Ibu hanya ingin kau bahagia,” katanya dengan suara selembut bisikan angin malam. “Tidak peduli seberapa kuat kau nantinya, kau tetap anak kecil Ibu yang harus dilindungi.”

Sora mengangguk cepat. “Aku juga akan melindungi Ibu!”

Kimiko tersenyum, lalu menarik kepala Sora ke dalam pelukannya. Ia mengusap rambutnya dengan lembut, membiarkan anaknya menikmati kehangatan kasih seorang ibu.

Abirama memejamkan mata sejenak.

Untuk malam ini, biarlah rahasia itu tetap tersembunyi.

1
Big Man
seru kok kak.. namnya aja yg jepang kak.. tp story line nya sma kek pendekar2 timur lain.. hnya saja.. gda kultivator .. tp istilahnya berbeda
Big Man: niat blas chat.. mlah ke post di koment.. asem dah
total 1 replies
Ernest T
lnjutttt. kren
Big Man: terimakasih kak /Applaud/
total 1 replies
Desti Sania
belum terbiasa dengan scien jepang
Big Man: Mudah2n cocok ya.. menghibur.. story line nya hmpir sma kok kak sma pendekar2 timur lainnya.. cmn istilahnya aja yang beda dan gda kultivator di sini /Grin/
total 1 replies
Desti Sania
mungkin
Desti Sania
prolog nya dah keren thor,semoga isinya gak membosankan ya
Big Man: amiin.. thanks kak.. semoga menghibur ya
total 1 replies
Bocah kecil
Abirama bukan kaleng2 keknya.. pra pendekar aja tau dan bisa merasakan kekuatan abirama yang tidak biasa.. menarik.. /Kiss/
Aditia Febrian
Aseekkk... Gass lah.. Hajar mereka Abirama!!! /Determined//Determined/
Bocah kecil
Gass lanjoot...!!!
Aditia Febrian
Makin seruu... /Determined//Determined/
Abu Yub
Aku datang lagi thor/Ok/
Big Man: Mksh thor.. /Kiss/
total 1 replies
Abu Yub
sip
Bocah kecil
Ni bocil sumpahna, yang satu baperan, yang satu cuplas ceplos.. /Facepalm/
Aditia Febrian
Tahapan ujian menjadi pendekar sejati:
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?

Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/
Big Man: /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Bocah kecil: Bner.. relate sbnrnya..
untuk menjadi org sukses ya slah satunya :
1. Disiplin
2. Kerja keras.
3. Terusin aja sendiri
/Tongue//Joyful//Joyful/
total 2 replies
Aditia Febrian
Ngakak parah /Facepalm//Facepalm/
Aditia Febrian
Si liliane ceplas ceplosnya ampun dah /Joyful//Joyful/
Aditia Febrian
Mantap.. Sebaik-baiknya ayah, ya Abirama.. lanjut thorrr.. /Determined//Determined/
Momonga
Dramatic skali thor.. keren, salut thor.. up lg thor
Teteh Lia
Per bab na pendek, jadi maaf kalau Aq baca na terlalu cepat 🙏
Big Man: Gpp kak.. mksh udh mampir ya.. semoga ceritanya menarik dn bisa menghibur kka ya..
di Ep 11 ke atas udh di konsisten untuk katanya di min 1000-1500 kata ya kak.. semoga itu bsa mengobati kekecewaan kka ya.. /Hey/
total 1 replies
Abu Yub
lanjut thor .kunjungi novel aku juga thor ./Pray/
Big Man: siap kak.. thanks dukungannya..
total 1 replies
Abu Yub
sip deh /Ok/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!