Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 4
"Loh, Kak Shaf kok udah di sini?"
Jasmine yang sedang mengecek pesanan bahan baku menoleh pada si penanya. Ia tersenyum ramah pada Lila, salah satu pegawainya. Ini adalah pertanyaan kesekian sejak ia menginjakkan kakinya di kafe.
"Kenapa? Takut ketahuan saya kalau kamu terlambat lagi?"
Gadis remaja 17 tahun ini tertawa pelan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak benar-benar gatal. Tanda ia sedang gugup dan Jasmine sudah hafal kebiasaan itu.
"Maaf, Kak. Tadi ban motorku bocor. Terus ya cari bengkel pagi-pagi gitu agak susah. Makanya telat deh."
"Alaah, alasan terus lo." Seorang lelaki berusia sebaya dengan Lila muncul. Di tangannya terdapat kain lap dan cairan pembersih meja. "Bohong itu, Kak. Dia tuh telat karena telat bangun. Abisnya ia begadang semalaman. Galau diselingkuhi pacarnya." Harry-si lelaki tersebut sengaja mencibir Lila.
Lila mendelik kesal. "Mulut lo tuh, ya, Har. Heran deh gue. Kompor banget tau nggak."
Harry mengangkat bahunya seolah tidak peduli. "Dari pada lo, La. Galau mulu. Cari pacar baru dong."
"Liat aja nanti. Gue pasti segera dapat pacar baru." Lila berkata dengan sombong.
"Kak Shaf, ada Kak Fita sama Kak Naina tuh di depan." Pegawainya yang lain datang.
Jasmine yang tadinya tampak asyik melihat perdebatan dua anak remaja tersebut pun mengangguk. Ia lalu segera menemui dua sahabatnya yang sedang berada di depan.
Perempuan itu melangkah perlahan. Ia yakin dua sahabatnya itu akan bertanya mengenai keberadaannya di sini. Secepat ini. Di waktu yang seharusnya digunakan oleh pasangan pengantin baru untuk bersama atau bulan madu.
Bahkan ia masih ingat saat Fita dulu menikah. Hampir dua minggu ia sulit dihubungi. Sahabatnya itu diajak suaminya bulan madu ke Jeddah langsung.
Sesuatu yang diidam-idamkan oleh banyak perempuan. Beribadah di dua tempat suci umat Islam secara langsung. Di tempat yang bahkan Dajjal pun tidak bisa masuk ke dalamnya. Itu adalah tempat berseminya cinta Nabi Muhammad dengan istri tercintanya, Siti Khadijah.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Fita, sahabatnya yang biasa bicara ceplas ceplos itu dengan cepat.
Jasmine bahkan belum duduk saat salah satu sahabatnya bertanya. Kini tatapan dua pasang mata itu jelas mengarah padanya dengan serius.
"Assalamu'alaikum, dua sahabatku yang cantik dan shalihah," sapa Jasmine dengan lembut.
Wajah dua sahabatnya itu mendadak berubah. "Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Fita dan Naina bersamaan.
Jasmine kemudian duduk di kursi, di depan Fita dan Naina. "Pagi banget ke sini. Nggak mungkin sengaja nyari sarapan, kan?" tanya Jasmine.
"Kamu sengaja ngalihin pertanyaan, kan? Sebelum kita jawab, kamu dulu yang jawab. Ngapain pengantin baru di sini?" Naina bertanya sembari menatap Jasmine ingin tahu.
Fita mengangguk. "Bener, Mine. Kamu nggak mungkin kekurangan uang, kan? Kayaknya semua orang juga tahu kalau Ibrahim Group dan Adyatama Group itu dua keluarga terpandang dan punya banyak uang."
Jasmine tertawa pelan. Seperti biasa mereka memang sering membawa nama keluarganya untuk sekedar mengejeknya. Lebih tepatnya untuk mencibirnya karena nyatanya ia lebih menyukai dunia yang jauh dari hiruk pikuk bisnis apalagi mengurusi perusahaan keluarganya.
Lagipula, ia lebih menyukai dunia perbakingan daripada mengurusi berbagai berkas perusahaan. Apalagi berbicara tentang kekuasaan. Mungkin inilah yang membuatnya berjodoh dengan Adimas.
"Kenyataannya Adimas lebih menyukai pekerjaannya dari pada menikmati waktu denganku. Kalian kan tahu, pernikahan kami hanya karena perjodohan. Jadi aku rasa, masing-masing dari kami masih butuh waktu untuk beradaptasi," jawab Jasmine dengan santai, sengaja tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya tentang Adimas.
Bisa ngamuk dua perempuan ini jika tahu Adimas sangat membencinya.
Naina mengangguk-anggukan kepalanya perlahan. Sementara Fita nampak menyipitkan matanya pada Jasmine.
"Tunggu-tunggu, ini agak aneh, Mine. Justru seharusnya kalian beradaptasi dengan sering-sering ketemu. Bukannya saling menjauh dengan menyibukkan diri begini." Nada bicara Fita jauh dari kata santai.
Fita menghela napasnya perlahan, sebelum akhirnya ia menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Jasmine. "Kamu baik-baik aja, kan? Maksudku, pernikahan kamu berjalan dengan baik, kan?"
Tidak hanya Jasmine yang terkejut, namun Naina juga begitu. Fita memang tipikal orang yang spontan dan sangat peka.
Jasmine tersenyum kecil. "Baik, Fit. Aku baik-baik aja. Pernikahanku juga baik. Ini juga baru dua hari. Kalian doain aku, ya. Semoga pernikahanku baik-baik aja."
Naina dan Fita saling pandang. Namun Jasmine tahu, demi dirinya, dua sahabatnya ini akan berusaha memberikan ketenangan untuknya.
Mereka menggenggam tangan Jasmine seolah memberi kekuatan. Senyum di wajah mereka sebenarnya tidak cukup membuat Jasmine tenang. Pernikahannya baru dua hari dan apa yang dilakukan Adimas padanya sungguh membuatnya sakit hati.
Layaknya perempuan pada umumnya. Namun ia menikah dengan Adimas bukan berarti ia tidak memikirkan resikonya. Saat neneknya mengatakan ia akan dinikahi dengan cucu dari keluarga sahabat almarhum kakeknya, ia sudah siap dengan resikonya.
Pernikahan ini murni perjodohan. Mereka tidak saling mengenal apalagi mencintai. Namun takdir nyatanya tidak berkata demikian.
Lelaki yang dijodohkan dengannya adalah Adimas Muhammad Ibrahim. Sosok yang pernah ia temui beberapa tahun silam. Jasmine sendiri tahu bahwa lelaki itu masih sangat membenci dirinya. Tentu saja kesalahan di masa lalu adalah penyebabnya.
Meskipun apa yang diketahui lelaki itu adalah sebuah kesalah pahaman. Namun Jasmine sendiri sama sekali tidak punya keinginan untuk meluruskannya.
"Kamu harus tahu kalau kita berdua akan selalu ada buat kamu. Kapan pun kamu butuh," kata Naina lembut dan penuh perhatian.
"Iya. Kalau perlu, pun kamu minta suami baru juga, nanti bisa kok aku minta Bang Indra nyariin suami buat kamu. Pokoknya kalau kamu udah capek sama si Adimas-Adimas itu, bilang aja," kata Fita menimpali ucapan Naina dengan begitu menggebu-gebu.
Kali ini Jasmine langsung tertawa pelan. Fita memang selalu di luar dugaan. Mana ada teman yang langsung menawarkan temannya mencari suami baru.
"Hidup Bang Indra kayaknya berwarna banget ya sekalinya nikah sama kamu."
Naina mengangguk. Ia ikut tertawa sambil menatap Fita. "Iyalah. Orang kalem kayak Bang Indra emang udah cocok sama modelan Fita. Biar hidupnya nggak kaku-kaku amat."
Fita menghela napasnya. Namun ia juga mengiyakan hal tersebut. "Namanya juga jodoh. Menikah itu harus saling melengkapi. Bang Indra yang kaku jodohnya ya modelan aku gini."
Mereka tertawa bersamaan. Di saat seperti ini, Jasmine tahu, kehadiran mereka sangat ia butuhkan. Masa lalunya yang buruk, tidak menjadi penghalang untuknya berteman baik dengan dua perempuan baik ini. Melalui mereka, hidup Jasmine yang awalnya berantakan mulai stabil kembali.
"Ya udah, ya. Kalian berdua nikmati aja santai-santainya di sini. Aku mau ke ruanganku dulu. Ada pekerjaan." Jasmine lalu beranjak dari kursinya.
"Iya. Selamat bekerja, Ibu Jasmine yang cantik," sahut Naina.
"Jangan kecapekan, ya. Inget, sekarang udah punya suami," ujar Fita dengan wajah seriusnya.
"Siap, Nyonya Setiawan." Jasmine berseru dengan mimik tidak kalah serius.
Setelah itu ia segera pergi ke ruangannya. Sesampainya di sana, ia segera duduk di kursinya. Mencoba menghilangkan berbagai hal negatif yang ada di pikirannya.
Tangannya sedang sibuk mencoret-coret kertas saat tiba-tiba ponselnya berkedip. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang bernama Ian.
Tiga minggu lagi, aku akan pulang. Nanti ketemuan ya. Aku punya sesuatu untuk didiskusikan bareng kamu.
Pesan tersebut membuat senyum tipis Jasmine muncul. Jarinya kemudian mengetik balasan.
Me : Iya. Nanti kabari saja kalau kamu udah sampai.
Ian : Ini beneran loh. Awas aja kalo kamu mendadak sok sibuk sampai gak bisa ketemu aku.
Me : Insyaa Allah Chef Ian
Tidak ada lagi balasan, namun pesan terakhirnya disematkan emoticon love oleh Ian. Membuka aplikasi hijau tersebut, membuat Jasmine tersadar sesuatu.
Ia belum mempunyai kontak Adimas, suaminya sendiri.