Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 : Pasangan Yang Setara?
14 : Pasangan Yang Setara?
Rumah Sakit Islam (RSI) hanya itu yang paling dekat. Puskesmas pun juga berjarak yang sama. Maka pilihan Miss Ferdina adalah membawa Tuan Abhimana ke Rumah Sakit ini.
Meera memilih ikut, atas izin dari Nyonya Cecilia. Miss Ferdina tahu, sebab tangan ini tergenggam dengan erat ponsel milik Sang Tuan. Dan setelah diputuskan pemeriksaan, Tuan Abhimana dipindahkan ke dalam, menunggu pemeriksaan lebih lanjut.
Drtttt ….
Ponsel bergetar. Pesan masuk dari seseorang, yang Meera kira adalah Nyonya Besar. Ternyata itu … Nailah Syakilah. Sungguh bukan niat tidak sopan, tetapi terpampang jelas, dan mata bisa apa selain membaca isi pesan juga?
Gue boleh mampir Apartemen lo, ga? Lagi di Surabaya nih gue, begitu isi pesan dari Influencer asal Jakarta.
“Meera.”
Namanya disebut oleh Miss Ferdina.
“Ya, Miss?”
“Nyonya Cecilia segera datang. Dan kamu, harus tahu batasan dan posisimu. Bersikaplah lebih sopan,” tegas Miss Ferdina.
Sejak kapan aku nggak pernah sopan dihadapan majikan? Miss bicara seolah aku ini pelayan nggak tahu diri. Meera menghela napas pelan. Ia kesal, belum lagi sedang haid. Namun bekerja adalah bertanggung jawab. Ia harus profesional. “Baik, Miss. Saya mengerti.”
Gue nggak ngerti ini dimana, batin Abhimana yang baru saja membuka mata. Seingatnya, ia tidak pingsan, hanya tertidur. Dan bangun-bangun pun sudah ada di ruangan … rumah sakit?
Melihat ke kanan ada Meera yang sedang tertidur? Eh, tidur? Serius … itu Meera? Dan tak lama dari itu, pintu terbuka masuklah Ferdina dan juga Mama.
“Anak Mama … gimana kondisi kamu, Nak?”
Abhimana hanya menatap. Ia masih diam, tak sanggup bicara. Tetapi fokusnya beralih, saat ia melihat Ferdina berusaha membangunkan Meera.
“Jangan,” ucap Abhimana pelan.
Mama menyahut, “Jangan apa?”
“Itu … Mam.”
Mama Cecilia menatap arah matanya. “Siapa? Dia — yang angkat panggilan Mama tadi?”
“Iya … biarin dia tidur, Mam. Kasihan.”
Mama berganti menatap Ferdina. “Sudah. Kamu tunggu diluar, Ferdina.”
Mama Cecilia memutuskan untuk rawat ini. Astaga, padahal gue pun gapapa. Sebagai anak Abhimana hanya bisa pasrah, sekarang ia terbaring dengan Mama yang sedang keluar entah kemana. Beliau bilang, sebentar.
Dan matanya beralih kesamping. Meera masih juga tidur, di sofa. Gadis itu … padahal Mama Cecilia tadi pun berbicara cukup keras, tetap tidak membuat Meera bangun.
Selelah apa, memang?
“Eghm.”
Suara itu, terdengar dari Meera tiba-tiba. Abhimana menebak, Meera akan segera bangun. Maka secepat mungkin, matanya terpejam, ia tidak mau terlihat bangun di hadapan Meera.
“Astaghfirullah. Bisa-bisanya aku ketiduran? Aduh ini —“
Ceklek. Pintu terbuka. Abhimana tidak tahu pasti siapa yang masuk. Hingga akhirnya Meera berbicara, “Nyonya, saya —“
“Kamu pelayan yang mengangkat panggilan saya tadi?
“Iya, Nyonya.”
“Sudah istirahatnya?”
Abhimana yakin pertanyaan itu membuat Meera panik.
“Saya minta maaf, Nyonya. Saya lalai sampai membuat Anda –“
Mama memotong ucapan Meera. “Pertanyaan saya tadi apa?”
Meera terdiam.
“Perbuatanmu memang tidak profesional. Tapi membawa anak saya ke Rumah Sakit, sudah termasuk tindakan yang benar. Saya tahu semua proses menunggu menyebabkan kelelahan. Jadi silakan kamu pulang.” Mama menjeda. Sepertinya memberikan beberapa upah? Mungkin? “Ini uang. Pakai taksi saja. Supaya kamu nyaman.”
“A-ah itu tidak perlu Nyonya —“
“Pelayan memang suka menolak pemberian, ya? Padahal niat saya baik, karena kamu sudah membantu anak saya.”
Astaga, ucapan awal Mama.
“Saya terima, Nyonya. Terimakasih. Saya permisi.”
Meera sudah pergi. Abhimana membuka mata.
Pasokan oksigen di paru-paru pun terisi kembali. Udara malam menyapu rambut panjangnya — yang entah jatuh kemana ikat rambut itu. Uang bernominal tiga ratus ribu berada ditangan, pemberian Nyonya Cecilia terlalu berlebihan. Tetapi apa yang bisa Meera lakukan selain menerima?
Pelayan adalah seseorang yang selalu menerima. Dan majikan selalu menjadi pemberi. Mungkin saja memang benar. Taksi adalah pilihan yang bagus. Tetapi mengingat hidupnya yang membutuhkan cukup banyak biaya, Meera lebih memilih menggunakan ojek online saja.
Lagi pula bajuku panjang. Jadi seenggaknya, aku nggak kedinginan kena angin malam, batin Meera.
📍Kamar VIP, Rumah Sakit Islam.
“Mam, nginep?”
“Iya. Siapa yang jagain kamu selain Mama?”
Abhimana mengangguk pelan. “Iya juga sih … makasih ya, Mam.”
“Kamu itu — habis ngapain tiba-tiba bisa tifus gini? Kerjamu itu nggak berat loh.” Mama Cecilia menjeda. “Oh, atau gara-gara kamu keluar kota tiba-tiba? Iya, kan?”
Abhimana hanya diam.
“Kamu habis ke Jakarta. Terus nggak lama ke Jogja. Ngapain kamu?” sambung Mama.
Apa yang bisa dijadikan alasan? “Liburan, Mam. Aku … agak bosen di Batu.”
“Bosen? Dari pada ke Jogja, lebih baik kamu pulang aja ke Surabaya. Ngapain jauh-jauh ke sana?”
Ya. Dirinya sudah menebak Mama akan bertanya-tanya. Maka akan lebih baik bermanja dan mengelak saja. “Mam ih, anaknya lagi sakit malah dimarah-marahin. Mam nggak sayang sama aku?”
“Apa tiba-tiba gitu? Kalau nggak sayang Mama mana mau datang jauh-jauh ke Batu. Kamu nggak tahu Mama ini orang sibuk,” ketus Mama Cecilia.
“Ah, Mam.” Abhimana merajuk. Ia berbalik membelakangi Mama Cecilia. “Yaudah. Orang sibuk mending pulang aja. Nggak usah ngurusin anaknya.”
“Makanya menikah sana! Biar kamu nggak ngerusuhin Mama terus.”
Menikah-menikah. Dipikir nyari istri kayak nyari kucing ditengah jalan! “Kalau soal biaya mah aku nggak begitu susah nyarinya. Tapi, soal calon. Mam pikir gampang? Perempuan zaman sekarang tahu kitanya kaya malah enak-enakan. Dimanfaatin jadinya.”
“Loh yasudah gampang. Cari aja yang setara, yang sama-sama kaya, biar nggak dimanfaatin.” Mama Cecilia menjeda. “Gitu aja, kamu kok repot.”
“Mam nggak tahu apa-apa.”
“Kamu yang nggak tahu apa-apa tentang perempuan.”
Mendengar ejekan Sang Ibu — Abhimana membalikan badan. “Aku tahu.”
“Kalau tahu, ya cari.”
Bibir Abhimana mengerucut. Ia agak kesal. Tetapi bagaimana jika memancing sesuatu saja? “Mam tapi …”
“Apa?”
“Menurut Mam, setara itu emang harus sama-sama dari keluarga terpandang, ya? Kayak si Linggar yang nikahi anaknya Pak Jaiz Citaprasada, terus juga kayak si Lingga yang nikahi anaknya Hermawan Upasama. Harus gitu, ya, Mam?”
Sampai pada sepuluh detik Mama Cecilia masih belum menjawab. Hingga mata Abhimana menatap, beliau akhirnya berujar, “Nggak juga. Setara dalam berpikir aja sudah cukup, menurut Mama. Kalau perempuan, sebenarnya karir itu nggak penting. Tapi kalau perempuan yang mau kamu pinang ini pejuang mimpi besar — itu pun nggak salah. Karena setiap perempuan pasti punya mimpi lain. Selain jadi Istri dan Ibu. Jadi ya kamu hargai aja.”
Abhimana mengangguk-angguk. Lalu menatap lagi dengan mata penuh harapan. “Berarti … nggak harus kaya dan terpandang, ya, Mam?”
“Ya kalau bisa harus.”
“Ih, Mam! Katanya yang penting setara dalam pemikiran.”
“Mama kan cuma jawab aja pertanyaan kamu tadi. Memang kenapa sih? Kamu itu aneh! Jangan bilang kamu mau kayak sinetron-sinetron di TV itu. Kamu naksir sama orang miskin?”
Deg.
Astaga Mam. Frontal banget, lagi. Orang miskin. Miskin, loh.
“Apa sih, Mam. Mana ada? Aku cuma kasih pertanyaan iseng aja kok. Seleraku bukan perempuan norak apalagi kampungan.” Abhimana mengusap hidungnya yang tak gatal. “Tenang aja. Aku bakalan cariin Mam menantu yang baik.”
“Nggak usah cari menantu yang baik buat Mama. Cari aja istri yang baik. Karena bagi Mama, kalau istri itu baik pada kamu selaku suaminya. Maka — yasudah, Mama bakalan anggap dia sebagai menantu yang baik juga,” akhir Mama Cecilia.
Sialan. Ini ngapain jadi bahas kesana-sana? Padahal niat mancing dikit jadi panjang, batin Abhimana bingung.
...[tbc]...
1142 kata, Kak. Jangan lupa tekan like.
Kayaknya ... udah deh mode slownya. Ini mau ku time skip.
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅