“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mh 19
“Emang aku ingusan kalau nangis, Don?” tanya Mahira pelan, malu-malu.
“Iya. Kental, ijo lagi,” sahut Doni asal.
“Doni!” bentak Mahira kesal.
“Apaan sih? Marah-marah mulu,” Doni terkekeh santai.
“Kenapa nggak sekalian bilang aja? Bilang aku ingusan, ileran, congean, terus kalau garuk kulit keluar asap!” omel Mahira bertubi-tubi.
“Hahaha! Baru aja gue mau bilang begitu,” ujar Doni sambil tertawa keras.
Tanpa ragu, Mahira mencubit pinggang Doni sekuat tenaga.
“Aarrgh! Sakit, Sayang!” Doni meringis sambil memegangi pinggangnya.
“Kurang ajar ya! Kata orang aku cantik, kenapa elo bilang gue congean, hah?” sergah Mahira semakin kesal.
“Ih, marah-marah mulu. Gue cium nih!” ancam Doni nakal.
“Doni!” seru Mahira lebih keras.
“Apaan sih? Teriak-teriak mulu. Nanti digerebek kawin lagi, mau lo?” goda Doni sambil menaikkan alis.
“Awas aja kalau berani cium! Gue setrap lo hormat bendera dari pagi sampai sore!” balas Mahira tegas.
“Yaelah, galak amat sih,” gumam Doni pura-pura takut.
Suasana tiba-tiba hening. Mungkin mereka sama-sama lelah. Senja mulai turun, cahaya meredup, dan udara terasa lebih dingin.
“Yang, pulang yuk,” ujar Doni lembut.
“Ih, geli banget gue dengernya. Apalagi dipanggil ‘sayang’ sama bocil. Serasa gue ini tante girang yang mesen gigolo,” keluh Mahira sambil meringis.
“Ya udah, Tan. Pulang yuk,” balas Doni enteng.
“Doni…!” sentak Mahira, hampir melempar sandal.
“Huss! Dibilangin jangan teriak-teriak. Nanti kesurupan hantu pohon beringin lo,” ujar Doni cepat sambil menahan tawa.
“Ya udah ayo pulang,” ucap Mahira manyun.
Akhirnya mereka bangkit dari bangku taman, meninggalkan pohon beringin dan danau, tempat yang akan dijadikan saksi untuk Mahira bahwa disitulah dia mulai bangkit dengan jiwa yang baru,
Mahira merasa lega setelah mengobrol dengan Doni.
“Aku tidak tahu bocah ini anugerah atau musibah tapi dia datang disaat hatiku rapuh,” ucap Mahira perlahan. Mahira tersenyum,
Mereka berdua naik angkutan umum menuju kontrakan, Mahira membuka sepatunya sedangkan Doni masih duduk, diteras,
“Kenapa ga masuk?” tanya Mahira.
“Duluan saja lah,” ucap Doni.
“Ok.”
Mahira masuk ke kontrakan,
Sedangkan Doni mengeluarkan ponselnya, kemudian menelpon seseorang.
“Mana data yang aku minta,” ucap Doni.
“Sebentar bos, gue kirim habis ini,” jawab seseorang.
Tak lama kemudian sebuah data masuk, Doni membaca dengan seksama.
“Riko 17 tahun, tinggi 182 cm, berat 65 kg, geng Sabit Hitam, mati bunuh diri.”
Doni terus larut dalam data yang dia terima.
“Don, mau tidur di luar?” ucap Mahira membuyarkan konsentrasi Doni.
“Astaga tega banget sih, lagi musim hujan suruh tidur di luar,” ucap Doni.
Mahira tampak sudah memakai daster tipis panjang di bawah lutu tapi masih memperlihatkan betis bulir padi Mahira yang kuning langsat,
“Gue congkel mata lu kalau ngeliatin gue kaya gitu lagi,” ucap Mahira ketus.
“Astaga galak amat sih,” ucap Doni kemudian masuk ke kontrakan.
Doni membuka sepatunya lalu merapihkan sepatu di rak, tak lupa merapihkan juga sepatu Mahira.
Doni langsung masuk ke kamar, tak lama kemudian terdengar gemericik air,
Mahira bergegas ke dapur memasak mie goreng karena dia belum sempat masak.
Doni keluar kamar dengan menggunakan sarung dan kaos, kalau sudah memakai seperti itu maka tidak akan kelihatan kalau Doni itu adalah siswa SMA.
“Muka anak jaman sekarang tua-tua ya,” gumam Mahira.
“Yang shalat dulu,” ucap Doni.
Ingin sekali Mahira protes supaya tidak dipanggil sayang tapi Doni semakin dilarang semakin gila.
Mahira masuk ke kamar, berwudhu, mengambil mukena lalu memakainya dan keluar kamar, tampak Doni sudah menunggu dirinya, dan mereka pun melaksanakan shalat magrib berjamaah.
Setelah shalat Doni mengulurkan tangannya.
“Kenapa?” tanya Mahira.
“Pengen hidup berkah ga?” ucap Doni.
“Mau lah.”
“Ya ciumlah tangan suami ini,” goda Doni.
Entah kenapa Mahira malah menciumnya, Doni tampak terkekeh.
“Astaga begini amat nikah sama bocil, rumah tangga udah kaya maenan aja,” gerutu Mahira.
“Makan dulu yu,” ucap Mahira.
“Ayo,” ucap Doni menuju ruang makan.
“Maaf gue belum masak, jadi kita makan mie goreng aja.”
“Ga masalah, tapi kamu gimana, padahal pesen online saja.” ucap doni raut mukanya khawatir
“Pesan-pesan kaya sanggup bayar aja,” celetuk Mahira.
“Jangankan makanannya restonya sekalian gue beli sama orang-orangnya,” ujar Doni kesal.
“Cih sombong sekali palingan uang mamah lu.”
“Heheh, ko tahu sih.”
“Yak arena lu di bawah umur,” kekeh Mahira.
“Oh iya lupa, gue kan simpanan tante-tante ya.”
“Doni,” ketus Mahira.
Dan saling ledek terus terjadi sampai mie goreng kandas tak tersisa.
Mahira duduk di ruang tengah sambil nonoton televisi, sedangkan Doni main ponsel.
“Wey bentar lagi ujian bukannya belajar malah main game,” celetuk Mahira kesal karena sehabis makan malah ditinggal maen ponsel oleh Doni padahal Doni sedang tidak maen game.
Mahira terus memindah-mindahkan chanel menghilangkan bosan.
Tiba-tiba saja tangan Doni melingkar di leher Mahira.
“Turunin ga,” ucap Mahira ketus.
“Ce ilah, cuma gini doang ga bakalan hamil ini sih.”
“Doni,” sentak Mahira.
Tapi Doni malah sengaja mengelus-elus bahu Mahira dan Mahira malah menyandarkan ke dada Doni.
“Nah ginikan enak, nonton televisinya romantis.”
Jantung Mahira berdebar sebenarnya, karena hanya dengan Doni Mahira berdekatan seperti ini, bahkan Rangga saja tidak pernah memeluk Mahira walau Mahira menangis, tapi masih bisa mengendalikan diri, berbeda saat dengan Doni, Mahira bisa menangis puas sambil bersandar di dada Doni tanpa Mahira sadar.
“Don,” lirih Mahira.
“Apa yang.”
Senyum Mahira terukir,
“Guru-guru mengingikan aku keluar dari sekolah, katanya aku gap antes ngajar di sana.”
“Kenapa emang?”
“Ya karena gue dianggap lari dari penikahan dan tukang bohong, bikin malu nama sekolah katanya.”
“Jangan keluar lah, ngapain keluar,” jawab Doni.
“Aku ga nyaman kalau terus ditekan.”
“Keluarlah sebagai pemenang bukan sebagai pecundang,” ucap Doni mengelus kepala Mahira yang masih menggunakan jilbab. Mahira geli dan menggesek-gesekan kepalanya ke dada Doni, Doni sebenarnya merasa panas.
“Tahan, Don, tahan,” ucap Doni dalam hati.
“Maksud kamu keluar sebagai pemenang gimana?”
“Ya kalau kamu keluar sekarang karena ga nyaman karena selalu ditekan artinya kamu keluar sebagai pecundang, tapi kalau kamu keluar setelah menyelesaikan masalah maka keluarlah dan akan dikenang sebagai pemenang,” ucap Doni serius.
“Oh gitu ya,” ucap Mahira merasa ada kelegaan dalam dadanya.
“Sebenarnya aku ga terlalu sedih guru-guru mecemooh aku, yang aku sedihkan adalah proposal beasiswa untuk siswa yang aku pilih diabaikan, aku khawatir siswa yang aku pilih tidak jadi mendapatkan beasiswa dan akhirnya putus sekolah,” ujar Mahira.
“Wah ga bisa begitu dong, harusnya profesional saja, siswa harus jadi prioritas di atas konflik antar guru,” ucap Doni.
“Ya harusnya gitu sih, tapi aku bisa apa coba.”
“Mana sih proposalnya aku lihat,” ucap Doni.
“Aku ada file pdf-nya, kalau hard copynya ada di sekolah.”
“Ok kirim ke nomer aku,” ucap Doni.
“Mau ngapain?”
“Mau kirim ke Nyiroro Kidul biar diacc,” jawab asal Doni.
Mahira terkekeh lalu mengambil ponselnya.
“Nomor kamu berapa,” taya Mahira.
Doni tidak menjawab, dia merebut ponsel Mahira lalu mengetikan nomernya kemudian memanggil. Terdengar ponselnya berdering,
“Ini,” ucap Doni memberikan ponselnya pada Mahira.
Mahira melihat ponselnya dia tersenyum. Doni menulis kotaknya dengan nama “sumiku tampan”
“Awas kalau diganti namanya.”
“Ganti ah, jadi suamiku jelek ingusan,” ucap Mahira.
“Awas kalau diganti, cium nih.”
“Iya ga gue ganti,” ucap Mahira.
Mahira mengirim file proposal itu pada Doni.
“Besok malam sepertinya aku ga pulang aku ada tugas, kamu baik-baik ya, semangat terus jangan menyerah, aku tahu kamu wanita kuat,” cerocos Doni.
Doni menoleh.
“Astaga dia molor,” ucap Doni. Dari tadi dia ngomong sedangkan Mahira tidur di pangkuannya.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh