Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Menikah siri
Suasana rumah Sumi semakin ramai. Para tetangga berdatangan sebelum waktu Isya. Ada yang sibuk membantu di dapur, sementara yang lain duduk di ruang tamu, asyik bergosip.
"Kok, nikahnya mendadak begini? Jangan-jangan Aluna hamil duluan?" bisik Asih pada Mira dan Awi.
"Mungkin saja. Kalian tidak lihat? Perut Aluna sudah sedikit menonjol," sahut Mira, ikut berbisik.
Awi mengangguk setuju. "Benar juga."
"Ih, anak zaman sekarang memang ngeri. Nikah mendadak, pasti ada sesuatu," ujar Mira, sambil mencomot kue kering dari piring yang tersaji di meja.
"Pagi tadi, aku sempat dengar Aluna ngobrol sama Renata. Katanya dia menikah dengan suami orang," tambah Awi, semakin antusias.
"Serius?"
"Benar, aku tidak bohong."
"Ya ampun, tidak ibunya, tidak anaknya, sama-sama menikah dengan suami orang," gumam Mira dengan nada meremehkan.
"Amit-amit punya anak seperti Aluna. Bikin malu keluarga," celetuk Asih.
Baru saja mereka semakin asyik bergosip, Ijah datang bersama Renata.
"Ada apa ini? Kok ramai sekali?" tanya Ijah, melihat mereka berkumpul.
"Kami sedang membicarakan Aluna. Katanya, dia menikah karena hamil duluan, dan calon suaminya sudah beristri," jawab Asih.
Ijah mengernyit. "Masa sih? Hati-hati, jangan sampai jadi fitnah kalau tidak benar."
"Benar, aku sendiri saksinya. Aluna sendiri yang bilang ke Renata kalau dia hamil dan menikah dengan laki-laki yang sudah punya istri. Betul, kan, Renata?" Semua mata langsung tertuju pada Renata, menunggu jawaban.
Renata tersenyum tipis, lalu berkata, "Mungkin Mbak Awi salah dengar. Yang Aluna maksud itu, temannya sedang hamil, lalu suaminya pergi dengan perempuan lain."
"Oh, begitu ya? Soalnya aku hanya dengar sekilas," ucap Awi, nyengir malu.
Ijah hanya menghela napas dan menggeleng pelan.
Di dalam kamar, Aluna sedang berdandan. Ia mengenakan kebaya putih, wajahnya tampak berseri-seri. Meskipun pernikahannya tidak sesuai impian, ia tetap senang bisa menikah dengan Reza.
"Masyaallah, cantiknya sahabatku," puji Renata saat melihat Aluna sudah selesai merias wajahnya.
Aluna tersenyum puas. "Dari dulu aku memang sudah cantik."
Renata terkekeh. "Cantik sih, tapi kenapa sukanya sama suami orang?"
"Suka-suka aku dong," jawab Aluna santai.
Renata menghela napas, lalu menyodorkan sebuah kotak berwarna hitam dengan pita kecil di tengahnya.
"Ini buat kamu."
"Apa isinya?" Aluna menerima kotak itu dengan antusias.
"Buka saja sendiri."
Aluna segera membuka kado dari Renata. Matanya berbinar saat melihat isinya.
"Pas banget, aku belum beli baju dinas. Terima kasih, Ren."
"Semoga cocok buat kamu," ujar Renata.
Aluna mengangguk senang.
"Aku keluar dulu, sebentar lagi acaranya dimulai," pamit Renata sebelum meninggalkan kamar.
---
Saat akad nikah dimulai, semua tamu yang hadir hening. Suasana menjadi sakral ketika Pak Hasan mulai berbicara.
"Saudara Reza bin Muhammad Akbar, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan keponakan saya, Aluna binti almarhum Sento, dengan mahar berupa emas lima gram dibayar tunai."
Dengan lantang, Reza menjawab, "Saya terima nikah dan kawinnya Aluna binti almarhum Sento dengan mahar tersebut dibayar tunai."
Pak Hasan menoleh ke arah para saksi. "Bagaimana, para saksi?"
"SAH," jawab kedua saksi serempak.
"Alhamdulillah, mulai saat ini kalian telah resmi menjadi suami istri," ujar Pak Hasan.
Ruang tamu dipenuhi ucapan selamat. Para ibu-ibu bergantian menyalami Aluna.
"Selamat, Aluna."
"Terima kasih," jawab Aluna dengan senyum sumringah.
Di sudut ruangan, Sumi diam-diam meneteskan air mata. Ia tidak menyangka, putrinya kini menjadi istri kedua—mengulang jejak hidupnya sendiri.
Saat acara mulai usai, Pak Hasan berpamitan.
"Selamat, Aluna," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Terima kasih, Paman," jawab Aluna sopan.
Sumi buru-buru menghampiri Hasan sebelum ia pergi.
"Hasan, tunggu!" panggilnya.
"Ada apa, Sumi?"
Sumi menyerahkan sebuah bingkisan dan amplop. "Ini untuk dibawa pulang. Dan ini sebagai tanda terima kasih karena sudah menjadi wali untuk Aluna."
Hasan mengangkat tangan menolak. "Wah, tidak perlu repot-repot, Sumi."
"Tidak apa-apa. Ambil saja," desak Sumi.
Akhirnya, Hasan menerimanya. "Baiklah. Terima kasih, ya. Saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan," ujar Sumi sambil melepas kepergian adik dari almarhum suaminya.
---
Di dalam kamar pengantin, Aluna sedang mencoba baju dinas yang diberikan oleh Renata. Ia berdiri di depan cermin, mengagumi pantulan dirinya. Meskipun perutnya mulai terlihat membesar, ia merasa pakaian itu membuatnya tampak seksi.
Reza masuk ke dalam kamar dan menghampiri Aluna. Ia memeluk tubuh istrinya dari belakang, membisikkan sesuatu di telinganya.
"Mas Reza, aku ingin kamu menyediakan rumah untukku. Aku tidak mau terus tinggal di rumah Ibu," pinta Aluna, masih menatap cermin.
Reza mengangguk. "Aku sudah siapkan rumah untuk kita."
Aluna tersenyum puas, tapi Reza buru-buru menambahkan, "Tapi kamu harus tutup mulut soal ini. Jangan sampai Dinda tahu kalau kita sudah menikah siri."
Aluna menoleh dan menatapnya tajam. "Itu gampang. Asal aku dan anak ini hidup terjamin."
Reza tersenyum, lalu mengangkat Aluna dalam gendongannya, membawanya ke tempat tidur yang sudah dihiasi bunga-bunga berwarna putih dan ungu.
Malam itu, Aluna resmi menjadi istri kedua Reza—meski kebahagiaan yang ia impikan masih dipenuhi rahasia.
Bersambung…