Kenziro & Lyodra pikir menikah itu gampang. Ternyata, setelah cincin terpasang, drama ekonomi, selisih paham, dan kebiasaan aneh satu sama lain jadi bumbu sehari-hari.
Tapi hidup mereka tak cuma soal rebut dompet dan tisu. Ada sahabat misterius yang suka bikin kacau, rahasia masa lalu yang tiba-tiba muncul, dan sedikit gangguan horor yang bikin rumah tangga mereka makin absurd.
Di tengah tawa, tangis, dan ketegangan yang hampir menyeramkan, mereka harus belajar satu hal kalau cinta itu kadang harus diuji, dirombak, dan… dijalani lagi. Tapi dengan kompak mereka bisa melewatinya. Namun, apakah cinta aja cukup buat bertahan? Sementara, perasaan itu mulai terkikis oleh waktu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann Rhea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bara Jiwa
Romeo duduk di seberang meja, menatap psikolog yang tengah memeriksa beberapa catatan.
"Sejauh ini, gangguan HPD-nya sudah mereda," ujar sang psikolog tenang.
Romeo menghela napas, memijat pelipisnya. "Terus, kenapa dia masih… lemot gitu? Apa dia sengaja pura-pura?" Nada suaranya mulai tak sabar.
Psikolog itu menggeleng pelan. "Tidak, Tuan. Rania sebenarnya cerdas. Hanya saja… dia memilih untuk tidak menggunakan potensinya. Kemalasan, mekanisme pertahanan diri. Ketika seseorang terbiasa mendapatkan perhatian tanpa usaha, dorongan untuk berkembang… mati."
Romeo terdiam. Kata-kata itu menghantamnya. Ingatannya terlempar pada cerita masa kecil Rania itu putri seorang pengacara legendaris dan seorang diplomat, dibesarkan dalam lingkungan penuh tuntutan. Anak dari keluarga yang begitu terpandang… tapi akhirnya menjadi seperti ini?
"Berapa lama sampai dia bisa… normal sepenuhnya?" suaranya terdengar datar, tapi di baliknya ada kegelisahan.
Psikolog itu menutup mapnya, menatap Romeo lurus. "Itu tergantung, Tuan. Trauma masa kecilnya dalam. Jika lingkungannya masih memicu pola lamanya, penyembuhan bisa sangat lama… atau tidak pernah tuntas."
Romeo mengepalkan tangan di pangkuannya. Diam. Seolah jawaban itu menegaskan sesuatu yang selama ini tak ingin ia akui.
Setelah itu, Romeo melangkah ke rumah sakit dan langsung menemui dokter spesialis penyakit dalam yang menangani Rania.
"Bagaimana? Penyakit menularnya… sudah sembuh?" suara Romeo datar, tapi matanya menyimpan ketegangan.
"Sudah, Tuan," jawab dokter itu. "Selama ini dia disiplin. Tidak berhubungan seksual secara bebas, pola makannya juga terjaga. Kondisinya stabil, belum pernah sampai tahap kronis."
Romeo mengangguk pelan, menarik napas lega. "Bagus…" gumamnya.
Namun dokter itu melanjutkan dengan nada serius, "Tapi tetap, Tuan, Anda harus hati-hati. Dia belum siap kembali berhubungan intim. Trauma mentalnya masih rapuh. Jika dipaksa atau jika dia kembali tergelincir… gejalanya bisa kambuh, bahkan lebih parah."
Romeo terdiam, kata-kata itu seperti menamparnya. Selama ini ia hanya melihat Rania sebagai beban, pengingat masa lalunya yang kelam. Tapi sekarang, ia sadar memiliki pasangan yang rusak karena masa lalu berarti menanggung luka itu bersamanya.
Saat keluar dari rumah sakit, angin sore menyapu wajahnya. Romeo menatap langit sebentar, teringat pada segala dosa yang pernah ia lakukan. Mungkin ini balasan untukku. Tuhan kasih dia… biar aku belajar tanggung jawab.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke toko buku besar di seberang jalan. Menyusuri lorong hingga berhenti di rak Self-Healing & Trauma Recovery. Jemarinya menyapu punggung buku satu per satu, lalu mengambil beberapa judul tentang penyembuhan luka batin.
Kalau dia bisa sembuh… mungkin gue juga bisa menebus salah gue sendiri. pikirnya dalam hati, sebelum menuju kasir.
Setelah keluar dari toko buku, Romeo tidak langsung pulang. Ia membeli sekeranjang penuh kelopak bunga mawar merah, lalu menyetir sendirian menuju pemakaman di pinggiran kota.
Hujan rintik mulai turun saat ia melangkah melewati barisan nisan. Di hadapannya, sebuah batu marmer putih berdiri kokoh dengan ukiran nama seorang perempuan yang sudah sepuluh tahun menghantuinya.
Romeo berjongkok, meletakkan buket bunga dahlia di depan nisan itu. Jemarinya sempat bergetar, tapi ia hanya terdiam. Tidak ada doa terucap, hanya kesunyian yang menekan dadanya. Hanya sesak yang menolak hilang.
Beberapa menit kemudian ia berdiri, mengusap wajahnya yang basah oleh hujan atau mungkin air mata yang enggan ia akui lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Di rumah, suara pintu utama baru saja tertutup ketika sebuah suara tajam menyambar telinganya.
"Ibu sudah PERINGATKAN kamu untuk jangan pernah bikin masalah lagi!" sentak seorang wanita berambut pirang, elegan dengan perhiasan berkilauan di tangannya. Matanya menusuk Romeo tajam.
Romeo menarik napas dalam, menahan diri. "Saya udah berubah, Bu. Saya nggak akan bikin Ibu malu… apalagi kecewa."
Wanita itu mendengus, melipat kedua tangan di dada. "Berubah? Apa buktinya? Ibu masih sering dengar kamu jalan sama wanita-wanita murahan, skandal sana-sini. Ibu MUAK dengar nama keluarga kita dikaitkan dengan perempuan tak jelas! Tolong, Romeo. Jagalah kehormatan keluarga ini! Apa tragedi sepuluh tahun lalu nggak cukup bikin kamu jera? Apa kematian itu belum cukup untuk menegur kamu bahwa main cinta seenaknya bisa menghancurkan segalanya?"
Ucapan itu menohok jantungnya, tapi Romeo hanya mengangguk patuh, suara lirih keluar di sela rahangnya yang mengeras.
"Iya, Bu…."
--✿✿✿--
Jane duduk bersilang kaki. Usianya memang tak lagi muda, namun kecantikannya tetap menawan, kulitnya nyaris tanpa kerutan. Di ruang tamu yang megah dan dingin itu, ia tengah membicarakan bisnis dengan Merin.
Mereka sudah lama bersahabat sangat erat, tanpa celah.
"Aku turut berduka atas musibah yang menimpa menantumu, Merin," ucap Jane, suaranya lembut tapi tegas.
Merin menarik senyum tipis, ada sedih yang disembunyikan di baliknya. "Terima kasih, Jen. Aku juga hancur... apalagi Lyly. Dia benar-benar terpuruk. Tapi syukurlah, sekarang dia sudah kembali bekerja."
"Oh? Kerja di mana dia sekarang?"
"Dia jadi salah satu personal assistant-nya Romeo," jawab Merin dengan nada seolah membanggakan. "Andai aku punya anak perempuan lagi, sudah pasti kuserahkan untuk dijodohkan dengan Romeo."
Jane tersenyum samar, seolah menyembunyikan sesuatu. "Romeo belum punya kekasih, ya?"
"Belum, setahuku," sahut Merin penasaran. "Kenapa?"
Jane mengangkat bahu, senyumnya tetap terjaga. "Entahlah. Aku tak suka memaksanya. Biar saja ia menentukan jalannya sendiri. Dia masih muda, masih harus belajar banyak soal bisnis, soal hidup. Aku hanya tak mau ia salah langkah. Tapi... kalau sampai aku bisa besanan denganmu, tentu menyenangkan. Kita sudah saling mengenal, keluarga kita pun dekat. Sayangnya, anak perempuanmu cuma satu, jadi aku tak ingin berharap terlalu jauh. Kita tetap berteman baik, tanpa harus mengikat anak-anak kita."
Merin mengangguk. "Benar. Aku juga hanya ingin memastikan kebahagiaan Lyly... dia satu-satunya milikku."
Jane tampak seperti perempuan yang selalu tenang, nyaris tanpa cela. Senyumnya manis, tutur katanya halus, bahkan tatapan matanya jarang meninggi. Namun di balik itu semua, ada jurang gelap yang tak seorang pun tahu.
Ia terbiasa menyembunyikan dirinya di balik topeng kesempurnaan. Ia tahu bagaimana memanipulasi ekspresi, tahu kapan harus menunduk agar terlihat sopan, dan tahu kapan harus bicara lembut agar orang luluh. Tapi di dalam, ada suara-suara lain yaitu suara yang berbisik keji setiap malam.
Jane menyimpan dendam yang ia rawat sejak lama. Bukan dendam biasa, melainkan dendam yang terlahir dari pengkhianatan paling dalam adalah darahnya sendiri. Ia dibentuk oleh rasa sakit yang ia telan diam-diam, oleh siksaan batin yang membuatnya merasa hidup ini tak pernah adil.
Di momen tertentu, Jane membiarkan sisi kelamnya mengambil alih. Caranya merencanakan sesuatu begitu rapi, seteliti jarum jam, tanpa ada celah kesalahan. Saat ia menyakiti orang, ia tidak terburu-buru, ia tidak marah secara membabi buta tapi menikmati setiap langkah, seolah itu balas dendam yang harus dirasakan perlahan oleh targetnya.
Ada kepuasan terselubung setiap kali melihat seseorang terjerembab dalam jebakannya, meski wajahnya tetap datar. Baginya, dunia hanya akan seimbang jika rasa sakit yang ia terima dibagikan kembali, tak peduli bagaimana caranya.
Dan mungkin, inilah Jane yang sebenarnya bukan waniga manis yang semua orang lihat, tapi seorang bayangan yang hidup dari kegelapan masa lalu, yang siap menelan siapa saja yang berani mengusik kedamaian semu yang ia ciptakan.
Jane mengaduk pelan teh di hadapannya, jemarinya lentik namun sarat kendali. Di seberang meja, Merin menatapnya penuh perhitungan, seolah setiap kata yang terucap adalah anak panah yang bisa mengenai sasaran tersembunyi.
"Pasar kita sedang haus akan pembaruan, Merin," suara Jane lembut, nyaris lirih, tapi ada nada tajam yang terselip di baliknya. "Aku percaya kerja sama ini bisa memperluas cakrawala bisnis kita sekaligus masa depan yang lebih kokoh."
Merin mengangkat alisnya, menyadari jeda panjang yang Jane sematkan di antara kata-kata itu. “Masa depan yang kokoh?” tanyanya, tersenyum samar, menyembunyikan rasa penasaran yang mulai bergejolak.
Jane menegakkan punggung, menatap Merin dengan sorot mata yang tenang namun menyala di kedalaman. "Kita ini perempuan yang mengerti arah angin, bukan? Tahu kapan harus berlayar, kapan harus berlabuh. Bayangkan, Merin… bila bisnis kita tak hanya bertaut secara angka, tapi juga secara darah harusnya ya."
Kata terakhir itu menggelitik udara, jatuh pelan namun berbobot. Merin terdiam sejenak. Tawa kecilnya pecah, bukan karena terhibur, melainkan untuk menyamarkan degup jantungnya.
"Jane…" bisiknya, "Ku bicara tentang sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar saham."
"Rumit?" Jane mencondongkan tubuhnya sedikit, senyumnya tipis, seperti seseorang yang tahu ia sedang menang. "Tidak, Merin. Ini tentang menyatukan dua kekuatan agar tak pernah tergoyahkan. Bisnis bisa runtuh oleh badai, tapi keluarga… keluarga adalah akar yang menahan badai itu."
Hening sejenak. Teh di cangkir mereka mulai kehilangan hangatnya, namun percakapan itu justru semakin membara. Merin hanya bisa dibuat bungkam.
"By the way, kamu udah liat koleksi terbaru dari brand kesayangan kita yang kemarin keluar di Paris Fashion Week?" tanya Jane sambil meneguk pelan kopinya. Alisnya terangkat sedikit, menunjukkan ketertarikan semu yang penuh perhitungan.
Merin mengangguk dengan senyum tipis. "Yang warna sable dan emerald itu? Aku udah pesen yang limited edition. Katanya cuma ada tiga di Asia, Jane." Nada suaranya dibuat santai, tapi jelas berniat menunjukkan prestise.
Jane tertawa kecil, elegan tapi menusuk. "Oh, bagus. Sayang aku nggak keburu pre-order... soalnya aku dapet yang crocodile matte dari Glory, edisi private. Katanya hanya dikirim langsung ke klien lama. Mereka bahkan minta aku pilih nomor seri sendiri."
Merin terdiam sepersekian detik, lalu mengalihkan topik. "Sepatu heels seri terbaru juga cakep banget, kamu udah dapet belum?"
Jane menyandarkan punggung, tersenyum licin. "Merin sayang... aku nggak terlalu suka Louboutin sekarang. Aku lebih prefer Manolo, klasik, timeless, nggak norak untuk usia kita. Lagipula, aku pesan langsung custom warna ivory gold buat gala bulan depan. Sepertinya belum ada yang punya."
Ucapan Jane diselipkan manis, tapi ujungnya menohok. Merin hanya tersenyum hambar, memutar cincin berlian di jarinya, berusaha tak terlihat kalah.