Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 25
“Aku…” Irish yang duduk di sofa menggigit bibir, tampak ingin berbicara terus terang. “Aku datang untuk meminta uang kompensasi perceraian.”
Ethan, yang baru saja duduk di kursinya, langsung terdiam. Meski berusaha menahan reaksi, nada suaranya tetap terdengar tajam, “Kamu datang untuk meminta kompensasi perceraian?”
Dulu, ia yang memaksa Irish menerima uang itu dengan segala cara. Tapi Irish menolak keras, kenapa sekarang ia sendiri yang datang memintanya?
“Ya.” Irish menatapnya mantap. “Setelah menerima kompensasi, hubungan kita selesai. Kamu juga tidak perlu merasa bersalah padaku.”
Mendengar kalimat itu, Ethan menatapnya dalam-dalam, lalu menyeringai dingin. “Aku tidak pernah merasa bersalah padamu.”
Irish hanya mengangkat bahu. Ethan tak terkejut dengan sikapnya yang keras kepala itu. Hari itu suasana hatinya memang buruk, jadi ia tidak mau memperpanjang perdebatan. “Terserah kamu, aku hanya mau kompensasi. Setelah itu, kita bisa hidup masing-masing tanpa gangguan.”
“Tanpa gangguan?” Ethan terkekeh kecil. Irish, jangan bermimpi kau bisa benar-benar lepas dariku.
“Iya, tanpa gangguan,” sahut Irish, menegaskan. “Aku akan menepati ucapanku.”
Ethan tersenyum tipis, tak menanggapi.
Irish kesal melihatnya tersenyum seperti itu, “Apa yang kamu tertawakan!”
Ethan tak memedulikannya, hanya bertanya santai setelah meneguk air, “Lalu, untuk apa uang kompensasi itu?”
"Untuk diriku." Jawab Irish sekenanya.
Irish tidak mau mengaku kalau uang itu untuk membantu sahabatnya. Di depan Ethan, ia tak pernah memperlihatkan kelemahan, apalagi menceritakan kepahitan hidup.
Ethan terdiam mendengar jawabannya, ekspresi wajahnya mengeras. “Baik, akan aku perintahkan orangku untuk mentransfer uangnya.”
“Tunggu, aku belum selesai,” potong Irish cepat. “Aku mau 400 juta.”
Jumlah itu mencakup pinjaman pribadinya,dan itu cukup untuk biaya operasi ibu mertua Jessi dan perawatan pascaoperasi. Ia tidak akan mengambil lebih, meskipun bagi orang lain sikapnya terlihat bodoh.
“400 juta?” Ethan tertawa kecil, nada suaranya terdengar meremehkan. “Irish, apa kau lupa cara berhitung? Kau pikir aku siapa? Kompensasi perceraian hanya satu 400 juta? Apa kamu merendahkan aku?"
Irish menatapnya datar, sama sekali tidak goyah. “Bukan soal berapa banyak yang kamu mau berikan, tapi berapa yang mau kuterima,” jawabnya tenang sambil mengangkat bahu. “Kalau aku bilang 400 juta, 400 juta. Kalau lebih, akan kukembalikan padamu.”
Urat di pelipis Ethan menegang, menahan emosi. Beberapa detik kemudian, ia akhirnya mengangguk tanpa ekspresi. “Baik. Aku akan minta Davin segera mentransfernya.”
Irish mengangguk puas. “Bagus,” ujarnya singkat, lalu berbalik tanpa ragu. Ketika tangannya meraih gagang pintu, ia masih sempat menoleh, suaranya datar, “Aku permisi.”
Ethan hanya menatapnya, tidak menjawab, membiarkan Irish membuka pintu dan pergi.
Begitu Irish benar-benar keluar, Ethan langsung meminta Asistennya untuk masuk. “Davin, masuk.”
Tak butuh waktu lama, Davin melangkah cepat ke ruang tamu. “Pak, ada perintah?”
“Transfer ke Irish 400 juta sekarang juga,” perintah Ethan dengan nada dingin. Setelah jeda singkat, matanya menyipit tajam. “Dan selidiki ke mana uang itu akan dipakai. Segera laporkan padaku kalau sudah dapat hasilnya.”
........
Tak lama setelah Irish meninggalkan kantor Ethan, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Ethan sudah mentransfer uang yang di mintanya.
Irish menatap layar ponselnya, napasnya bergetar sesaat. Ia lalu menekan nomor Jessi, namun panggilan itu hanya berdering lama tanpa diangkat.
Cemas, Irish akhirnya mencoba menghubungi Jeremy. Setelah beberapa nada sambung, telepon tersambung.
“Irish?” suara Jeremy terdengar sedikit bingung.
Biasanya, semua urusan ia komunikasikan langsung dengan Jessi. Hubungannya dengan Irish sebenarnya tidak terlalu dekat, apalagi sejak Irish bercerai dan hidup sederhana setelah dulu pernah sangat kaya.
“Di mana Jessi?” tanya Irish cepat. “Aku sudah meneleponnya berkali-kali, tapi tak diangkat.”
“Oh, ibuku sakit semalam,” jelas Jeremy dengan nada lelah. “Jessi begadang merawatnya, baru saja tertidur.”
Irish terdiam sejenak, lalu menurunkan suaranya. “Baiklah. Jessi sudah cerita soal ibumu. Kesehatan orang tua tetap yang paling penting. Aku baru saja dapat sedikit uang, pakai dulu kalau perlu.”
Jeremy sempat ragu, tidak langsung menjawab. Ia tahu Irish tidak sekaya dulu, kalau tidak, tentu tak akan menitipkan kedua anaknya tinggal di rumahnya.
“Terima kasih, Irish,” ujarnya akhirnya, sopan. “Tapi nanti akan aku kembalikan setelah ibuku sembuh.”
“Tidak perlu terburu-buru,” jawab Irish pelan. Lalu ia menambahkan dengan nada lebih serius, “Jeremy, Jessi sudah melakukan banyak hal demi kau dan keluargamu. Jangan biarkan dia terlalu lelah. Kamu harus lebih memperhatikannya.”
Jeremy mendengus pelan di ujung sana, merasa tersindir, tapi hanya merespons setengah hati.
“Ya, ya, aku tahu Jessi sudah bekerja keras. Aku akan menjaganya baik-baik.”
Irish menghela napas lega. “Oke, aku akan transfer sekarang. Kabari kalau sudah masuk.”
“Terima kasih banyak.” Jeremy menutup telepon.
Beberapa menit kemudian, Jeremy menatap ponselnya dengan mata terbelalak. Deretan angka nol membuat jantungnya hampir berhenti 300 juta! Dari mana Irish bisa mendapatkan uang sebanyak ini?
Panik, Jeremy langsung menekan nomor Irish lagi. Suaranya terdengar tergesa, cemas.
“Irish! Kamu pinjam ke lintah darat? Jangan bercanda, aku tidak mau dikejar-kejar orang macam itu!”
Irish tertawa kecil, mencoba menenangkan. “Tenang saja, bukan dari lintah darat. Uang itu sah, kamu pakai saja, jangan khawatir.”
Meski masih ragu, Jeremy akhirnya hanya mengumumkan kata terima kasih lalu menutup telepon setelah Irish berkali-kali meyakinkan.
Menatap saldo rekeningnya, Jeremy mendadak bersemangat.
Namun belum sempat ia larut dalam euforia, ponselnya kembali berdering. Melihat nama di layar, ia melirik ke arah kamar memastikan Jessi masih tertidur, lalu bergegas ke kamar mandi untuk menjawab.
“Sayang, kenapa kamu telepon sekarang?” suaranya dibuat semanis mungkin.
“Sayang, aku kangen padamu!” suara genit seorang perempuan langsung terdengar. “Kamu sudah berhari-hari tidak mengabariku!”
“Ibuku sakit, sayang. Jessi ikut merawatnya, aku tidak sempat hubungi kamu,” Jeremy berusaha merayu. “Bukankah aku selalu cari alasan supaya bisa ketemu kamu diam-diam?”
“Tapi tetap saja kamu harus telepon!” protes perempuan itu manja. “Kamu kan simpan nomorku atas nama sahabatmu sendiri.”
“Tidak bisa terlalu sering, sayang,” bisik Jeremy. “Waktu kamu nelepon kemarin, hampir Jessi yang angkat. Untung aku cepat-cepat rebut ponselnya.”
“Bukannya kamu janji akan menceraikan perempuan itu, lalu nikahi aku? Kenapa masih takut ketahuan!” suara perempuan itu mulai kesal.
Jeremy menahan napas, berusaha menenangkan nada bicaranya. “Ibu masih sakit, rumah berantakan, belum sempat mengurus perceraian. Kalau menyewa perawat juga mahal.”
“Aku tidak peduli! Aku lagi tidak bahagia, kamu harus belikan aku hadiah biar seneng lagi!” suara perempuan itu berubah manja.
“Ya, ya, kamu mau apa?” Jeremy mencoba menenangkan.
“Tas saja, harganya hanya 150 juta,” jawab perempuan itu merayu.
Jeremy terdiam sesaat, berpikir. Lima 150 juta sebenarnya cukup besar, apalagi sekarang dia harus fokus biaya rumah sakit ibunya.
“Kenapa? Kamu tidak cinta lagi?” suara perempuan itu mendadak tinggi. “Kalau gitu kita putus aja!”
Jeremy langsung panik. “Jangan begitu! Aku belikan, malah dua tas kalau mau!”
“Serius?” perempuan itu terdengar lebih lembut.
“Tentu. Aku transfer sekarang, beberapa hari lagi kita bertemu,” Jeremy memastikan.
“Kamu memang terbaik!” perempuan itu kembali bersuara genit.
Setelah beberapa menit obrolan tak senonoh, Jeremy menutup telepon sambil tersenyum licik. Dadanya berdegup cepat, merasa beruntung punya dua perempuan yang bisa dimanfaatkan.
Namun saat hendak keluar dari kamar mandi, matanya menangkap sosok seseorang berdiri di ruang rawat ibunya.
Seorang dokter berjas putih, berkacamata, memandangnya tanpa ekspresi. Jeremy langsung kaku. Ia mengenali dokter itu, orang yang dulu memberitahukan penyakit kanker ibunya, sekaligus yang sempat menyaksikan pertengkarannya dengan Jessi di rumah sakit waktu itu.
walau memang pada kenyataannya, dia udah sadar istrinya itu adalah ular sihhh 😌
q tunggu kisah kai dan maya
Seneng nya semuanya bisa bahagia
happy ending 😍😍😍
ditunggu karya selanjutnya
apa mungkin akhirnya sad ending 🤔🤔🤔🤔