Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35.Luka Terbuka, Segalanya Tersingkap
Kabut tipis masih menggantung di antara menara-menara Kuningan ketika Tristan melangkah masuk ke lobi Adhiwarna Holdings. Aroma marmer dingin bercampur parfum gugup para direksi—wangi kosmetik mahal yang gagal menutup bau keringat rasa bersalah. Aurora berjalan di sisi kirinya; setiap ketukan haknya seolah berkata, aku di sini, jangan gentar. Di dadanya, map bukti digital berdebar seperti jantung kedua.
Lift melesat sunyi ke lantai tiga puluh. Di dinding cermin, Tristan melihat pantulan matanya sendiri: obsidian basah amarah dan kehilangan. Ia teringat foto ayahnya di tandu, napas tersisa di bibir yang mulai membiru. Rasa mual mendaki, tapi Aurora menaut jemarinya—sentuhan kecil yang menambatnya pada detak kini.
Saat pintu lift terbuka, ruang rapat oval bagai akuarium raksasa: kaca di segala sisi, langit Jakarta berwarna perak di luar. Di ujung meja, Clarissa duduk tegak, gaun biru gelap membungkus tubuh rampingnya, senyum melengkung palsu bak retakan porselen. Tatapannya menusuk Tristan, tapi lelaki itu menahan gemetar dengan napas sepanjang tiga detik.
Pak Hadley membuka rapat dengan suara serak. Udara seolah menipis ketika Tristan berdiri—segalanya kian nyata. “Hari ini, saya hadir bukan sebagai pewaris saham,” suaranya pecah lalu mengeras, “tapi sebagai anak yang menuntut keadilan untuk ayah dan ibu saya.” Ia menatap Clarissa, menolak berkedip walau jantungnya memukul rusuk.
Lampu padam sekejap, proyektor menyalakan kegelapan berwarna kelam. Rekaman CCTV 2005 tampil: bengkel redup, Clarissa dan Arsenio mengepit amplop, mekanik pucat menekuk selang rem. Di ruangan rapat, tarikan napas kolektif terdengar seperti dengus binatang yang terluka. Tristan rasakan bulu kuduknya berdiri—suara mekanik di video bergetar: “Pastikan dia tak curiga.”
Clarissa bangkit, tangan gemetar samar, tapi suaranya tetap halus: “Video ini fabrikasi sentimental—”
Dira mengeklik remote; surat pernyataan mekanik terpampang, materai basah baru semalam. “Dilindungi LPSK, ia bersaksi penuh.” Ruangan membeku kedua kali. Bisik-bisik tajam bagai bilah kaca beradu.
Tristan menambahkan bukti finansial, suaranya tajam namun retak di tepi: “Sepuluh miliar, dua puluh transfer, tiga benua, satu tangan pemalsu—ibu tiri saya.” Aurora maju, menampilkan overlay tekanan tinta. Setiap garis di layar menelanjangi kepalsuan, dan Tristan merasakan dadanya menggelegak: antara lega dan duka, seperti darah hangat di udara dingin.
Clarissa berusaha tertawa, tapi terdengar seperti pisau tumpul menggesek pelat logam. “Kalian bisa membeli siapa saja.”
Dira menghamparkan dokumen terakhir—surat tanah Puncak, sidik jari Clarissa menyusup di palang stempel. Ruangan sunyi—semua mata berlari dari bukti ke wajah Clarissa, seakan menyaksikan patung retak perlahan.
Ketika voting selesai, 13 setuju, 2 abstain, Clarissa berdiri. Bibirnya tersenyum, tapi mata baja memercik kebencian. “Kalian meneteskan minyak di lidah nyala. Doakan lidah itu tak balik menjilat kalian.” Denting stiletonya di marmer seperti detak bom yang belum berdetik.
$$$$$
Bogor, ruang interogasi LPSK. Hujan gerimis menari di kaca jendela ketika Bu Rahayu menuturkan kenangan—suaranya pecah di antara gemuruh jauh. Ia ingat malam Clarissa datang, membawa dua pria kekar, menuduh Ibu Sari mencuri data panti. Ia ingat mata Sari—takut, tapi tetap menyelinapkan map cokelat ke lemari Rahayu sebelum subuh.
Kalea duduk mendengarkan, air mata jatuh tanpa isak. Setiap kata Rahayu adalah belati menebas kabut di hati—terang, tajam, menyakitkan. “Ibu Sari mengorbankan suara agar kalian punya masa depan,” bisik Rahayu. “Hari ini, aku mengembalikan suara itu.”
Petugas LPSK berkata lembut: “Kesaksian Anda cahaya bagi penyelidikan.” Rahayu tersenyum lirih—senyum yang menua bersama penantian.
Di koridor, Kalea memeluk Rahayu. Kehangatan bahu rapuh itu memecahkan tangis lega dan duka—air mata jatuh di bahu Arya yang berdiri memagari. Panggilan telepon Aurora datang: Clarissa dilengserkan. Ada harapan, tapi juga ancaman baru.
Menteng sore hari. Hujan tersisa gerimis. Tristan memandang halaman kosong—pohon flamboyan basah seperti lukisan menangis. Aurora menyalakan lampu kamar, kuning kemilau menekuri lekuk lelah di wajahnya.
“Hari ini luka terbuka,” Tristan berbisik, matanya basah. “Dan darahnya kebenaran—bau besi, tapi hangat.”
Aurora menggenggam tangannya, menuntunnya masuk. “Segala yang terbuka akan sembuh. Tapi kita harus menjaga tepi luka agar gelap tak menyusup.” Ia menatap dalam, memberi ruang bagi air mata Tristan jatuh tanpa malu.
Tristan menunduk, mencium jemarinya—kecupan syukur pada tangan yang menahannya dari jatuh. “Besok kita ke Puncak. Aku ingin menatap jurang itu, bukan dengan ketakutan, tapi dengan keberanian.”
Aurora mengangguk. “Dan aku akan menatap bersama, sampai matahari terbit di tepi paling curam.”
Langit sore terbakar jingga—cahaya ungu menyusup awan. Di pantulan kaca, Tristan melihat dirinya memeluk Aurora. Luka menganga, tapi tangan mereka menambalnya dengan tekad. Di balik jendela, senja tampak seperti halaman baru: setelah halaman darah, halaman cahaya.
.
.
.
Bersambung.