NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senja dan Tanya

Senja baru saja sampai di rumah. Karena haus, usai memarkir mobil di garasi dia langsung berjalan ke arah pintu belakang menuju dapur untuk minum.

"Ini masuk kulkas. Ini dicuci, dipotongi. Daging, langsung direbus, bikin kaldu."

Baru saja Senja mau menyapa saat lamat-lamat didengarnya suara Budhe yang berbicara sendiri. Namun ia bungkam sebab setelah itu ia mendengar Budhe Suryani melanjutkan perkataannya.

"Wah, jyannn, menyesal aku. Kurang gesit sedikit. Kalau tadi aku sat set das des, langsung ambil hape terus cekrek, orang yang mirip Om Yunus itu aku foto, paling tidak aku punya alasan untuk bicara sama Ibu. Sekalian, bisa untuk nambah syarat aku minta maaf. Ck! Ahh. Dasar payah kamu, Sur, Sur."

Untuk sesaat Senja berdiam diri, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Perlahan Senja melangkah masuk dan berdiri di belakang Budhe Sur. "Gimana, Budhe? Bisa tolong diulangi?"

Budhe Suryani berbalik badan. Raut wajah terkejutnya jelas kentara. "M-mas Senja?"

"Tadi Budhe bilang apa? Budhe nggak sempat motret orang yang mirip sama almarhum adiknya Ibu di pasar. Iya? Benar begitu, Budhe?"

...*...

Hari semakin siang. Senja semakin tidak tenang. Apalagi Budhe tetap tidak mau berbicara banyak. Walau demikian, cukuplah alasan baginya untuk mencari tahu, siapa sebenarnya orang dalam foto lama, orang yang kata Budhe adik Ibu, dan orang yang lagi-lagi menurut Budhe Sur mirip dengan adik Ibu.

Senja ingat betul, soal orang yang dilihatnya dalam foto album lama tempo hari dengan foto lama milik bapak dari teman Fajar. Itu sosok yang serupa. Atau malah itu orang yang sama. Pertanyaannya, siapa dia sebenarnya? Iya, dia, orang yang dalam foto itu. Benarkah dia adik Ibu? Tapi kata Budhe adik Ibu sudah meninggal. Bapak teman Fajar masih sehat bugar, tuh! Kenalkah Beliau dengan Ibu?

Mestinya hari ini menjadi hari yang tenang dan menyenangkan. Dalam seminggu dia hanya punya satu hari libur kuliah. Itu pun didapatkan dengan setengah mati, usah menggeser aneka mata kuliahnya dan melobi staf bagian penjadwalan di kampusnya.

Jangan salah, tim penjadwalan terkenal sangar, killer, dan anti-negosiasi. Maka hari ini mestinya seru, bukannya penuh tanya dan bikin kepala pusing.

Jarang sekali Senja merasa pengap berada di dalam kamarnya sendiri. Tapi hari ini adalah pengecualian. Bunek. Senja merasa ingin lari. Ada sesuatu yang salah di rumahnya sendiri tapi dia tidak tahu bagaimana harus menyikapinya. Maka, Senja menyambar tas kameranya. Juga tripodnya. Dan terakhir, kunci motor kesayangannya. Dalam hitungan menit, Senja sudah menderu di jalanan.

"Aku butuh bernapas!"

...*...

"Sial. Sial. Sial."

Masih berjongkok, Senja mengumpat geram. Baru sepuluh menitan bermotor dan melenggang di jalan raya, si hitam kesayangannya macet, mogok. Entah apa yang salah. Semalam motor itu baik-baik saja. Tapi memang salahnya sendiri, akunya. Mestinya dia cek dulu kondisi motornya sebelum berangkat tadi. Tapi, ya sudahlah, kalau begini harus segera diatasi, 'kan?

"Ayo, cari bengkel!" Senja bicara dengan dirinya. Rasa kesal yang tadi mulai terkikis angin kini kembali lagi. Dengan berat hati Senja membawa motornya yang berat menyusuri tepian jalan raya. Lalu lalang kendaraan siang itu tidak sepadat ketika ia mengantar kakaknya Nuri tadi pagi. Tapi matahari semakin galak dan menyengat. Maka, Senja pun melepas jaketnya, menyampirkannya di stang motor.

Lima menitan mendorong motor, akhirnya ada juga bengkel. Sekilas ia membaca nama bengkel itu dan merasa familiar. 'Kayak pernah tahu, tapi di mana, ya? Aku sih yakin belum pernah ke sini,' telisiknya dalam hati.

Di ruang tunggu Senja masih mencoba mengingat-ingat. Untuk sejenak pikirannya teralihkan. Ia mengesampingkan masalah utama yang membuatnya kesal dan 'kabur sebentar' dari rumah. Namun, dia masih belum menemukan jawabannya. Hingga akhirnya ia melihat seseorang sedang bertelepon.

"Iya, kamu tenang saja. Nanti kamu malah ditegur atasanmu karena kelamaan telepon."

Senja tersentak. Ia mengamati lagi orang itu. 'Eh! Beliau bukannya bapak teman Fajar yang mau dicomblangin sama Mbak Nuri? Beliau juga kebetulan sedang di bengkel ini atau.... Oh iya! Nama bengkel ini..., astaga! Pantesan! Anak Beliau yang punya bengkel ini. Wah, kesempatan untuk cari informasi, nih!'

Senja mendekati orang itu. Masih bertelepon, orang itu belum juga menyadari kehadiran Senja yang sudah ada di sampingnya.

"Ah, gampang itu. Kalau lapar ayah bisa cari makan sendiri. Ayah 'kan bukan anak kecil. ... Ya. Selamat bekerja, ya, Nak." Lalu orang itu menutup percakapan teleponnya. Sebelum ia sempat berbalik, Senja menyapanya.

"Selamat siang, Pak."

Orang itu sedikit kaget. Namun melihat Senja, wajahnya berubah sedikit lebih ramah. Mungkin Beliau juga merasa familiar dengan wajah Senja. "Iya, selamat siang?"

"Masih ingat dengan saya, Pak? Dua hari yang lalu saya ke rumah Bapak, berdua dengan saudara saya, Pak."

"Emm, oo, adik tingkat anak saya, ya? Ya, ya, saya ingat. Gimana, ada perlu dengan anak saya? Tapi dia belum pulang, lembur katanya."

"O, enggak kok, Pak. Motor saya bermasalah di dekat sini. Saya lihat bengkel masih buka. Langsung, saya bawa kemari. Itu motor saya," Senja menunjukkan motornya.

"Wah, kelihatannya harus menunggu agak lama, Nak. Antriannya cukup banyak. Kalau saya tidak salah ingat, kemarin kalian bilang pada hobi main catur. Gimana kalau saya temani sambil main catur?"

Senja langsung melonjak dalam hati. Kesempatan besar datang tanpa dicari susah-payah. "Dengan senang hati, Pak. Asal nggak mengganggu kegiatan Bapak lo."

Orang itu tertawa ramah. "Sama sekali tidak. Malah senang saya, jadi punya lawan main. Ayo, ikut saya, Nak!"

"Baik, Pak. Terima kasih." Senja pun mengikuti orang itu ke dalam ruang lain.

Ternyata rumah yang dia kunjungi bersama Fajar dua hari sebelumnya berada persis di belakang bangunan bengkel yang lumayan luas dan lebar. Ada jalan tembus dari bengkel menuju rumah. Tentu saja tidak semua orang mengetahuinya. Aksesnya pun terbatas, hanya pemilik bengkel sekaligus pemilik rumah dan para karyawan beserta tamu khusus. Dan siang ini Senja adalah tamu khusus itu.

Ketika dipersilakan duduk menunggu di teras rumah, Senja langsung menangkap pemandangan yang sejak dua hari sebelumnya menjadi pokok bahasan antara dirinya dan Fajar. Foto lama yang terpampang di dinding. Foto orang yang sama dengan foto yang ada di album lama di rumah. Jantung Senja berdegup kencang. Akankah dirinya memperoleh informasi berharga hari ini?

"Nah, ini papan caturnya! Ayo, Nak, kita main. Oh iya, mau minum apa?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!