Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 Mereka Anak Kita?
"Akhirnya, aku bisa menyentuh kasur juga."
Nina merebahkan tubuhnya di samping Rion, sedangkan Raya ada di sebelah Rean.
"Kita pesan makanan saja di hotel, aku malas kalau harus ke luar lagi," ucap Raya.
Raya melihat Rean dan Rion yang ternyata sudah tidur. Kedua anak itu pasti sangat lelah setelah perjalanan uang sangat jauh dan lama.
Tidak lama, kedua orang dewasa itu juga tertidur dalam satu kasur.
Di lain tempat, Keanu masih berkutat dengan pekerjaannya. Di hadapannya ada Vindra—sahabat tetapi juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Keanu.
"Kamu gak kerja?"
"Aku tidak terlalu sibuk hari ini."
Keanu menutup berkas yang dia baca, dan menyandarkan punggungnya di kursi. Dia menatap wajah Vindra yang terlihat sangat kusut.
"Ada masalah?"
"Tidak ... ada!"
"Ada atau tidak?"
"Setiap orang pasti punya masalah, Keanu."
Dua pria tampan itu kini duduk bersama di sofa. Keanu melonggarkan dasinya, dan mengacak rambutnya.
Dibandingkan dengan Vindra, justru dia yang terlihat memiliki banyak masalah.
"Ayo kita pergi."
Mereka berdua pergi ke salah satu hotel. Di sana, ada bar langganan mereka dan kenyamanannya begitu terjamin.
Keanu, Vindra dan Virza duduk di ruangan VVIP. Mereka baru saja lulus kuliah, meski lebih dulu Keanu. Ketiganya yang sama-sama harus meneruskan perusahaan, membuat mereka juga harus lebih cepat lulus agar bisa fokus.
"Kita nikmati hari ini, jangan pikirkan pekerjaan."
Di hotel, Raya baru saja bangun dari tidurnya. Dilihatnya Rean, Rion, dan Nina yang masih tidur. Perempuan itu segera memesan makanan, lalu mandi.
Selesai mandi, Raya melihat pemandangan kota dari jendela kamar hotel. Perempuan itu menghela nafas berat. Dia memegang dadanya, yang berdetak kencang. Masih ada rasa sakit dalam hatinya.
Andai saja mereka mau meminta maaf secara tulus padanya, mungkin dia tidak akan sebenci ini. Andai saja dulu mereka tidak menyakiti dirinya, mungkin dia tidak akan sekecewa ini. Tidak perlu bertanggung jawab dengan menikahi dirinya, cukup permintaan maaf yang tulus.
Apa mereka telah berubah?
Ah, rasanya tidak. Orang-orang seperti mereka tidak akan mungkin berubah.
Dia jadi teringat dengan Bu Mirna dan Eriza, dua orang yang dia tinggalkan begitu saja tanpa pamit, dan tanpa memberi kabar sedikit pun hingga saat ini.
Jauh dari mereka tanpa kabar, akan menyelamatkan mereka, juga menyelamatkan dirinya sendiri.
Raya melihat pantulan wajahnya di jendela. Apa mereka masih mengingat dirinya?
Ah, semoga saja tidak.
Tidak ada alasan buat mereka mengingat dirinya. Bahkan mereka saja tidak datang ke rumah sakit saat dirinya dinyatakan keguguran.
Anak itu sudah tidak ada, batin Raya.
Bel di pintu berbunyi, Raya membuka pintu dan menerima troli makanan.
"Terima kasih."
Perempuan itu segera membangunkan Rean, Rion dan Nina.
"Anak-anak, Nina, bangun. Ayo kita makan dulu."
Ketiganya segera bangun. Rion mengucek matanya.
"Jangan dikucek, nanti mata kamu merah dan iritasi."
"Ayo, kalian berdua cuci tangan dan cuci muka dulu."
Kedua anak itu langsung pergi ke kamar mandi tanpa dibantu, memang sangat mandiri karena mereka sering sendiri di rumah, saat Raya atau Nina bekerja.
Nina masuk ke kamar mandi setelah mereka.
Keempatnya makan dengan lahap, karena merasa sangat lapar.
"Acaranya kapan?" tanya Nina yang sedang menyuap kentang goreng.
"Besok malam."
"Kamu sudah menyiapkan gaun, kan?"
"Sudah."
"Nanti aku lihat."
Begitu melihat dress milik Raya, Nina menghela nafas berat.
"Yang benar saja, Raya. Masa kamu mau memakai pakaian ini di acara itu?"
"Memangnya kenapa? Ini masih bagus."
"Ck, biar aku pesankan gaun untuk kamu."
"Tidak perlu."
"Jangan menolak."
Raya akhirnya pasrah saja. Bukan dia saja yang seharusnya menghemat, tapi juga Nina.
Keesokan harinya, mereka berempat pergi ke butik. Nina memilihkan gaun yang sangat bagus untuk Raya.
"Coba ini."
"Jangan ini, ini terlalu mahal."
"Sekali-kali, Raya. Kamu harus memberikan kesan yang bagus untuk orang-orang. Bagaimana bisa nanti orang akan percaya kamu seorang arsitek, jika penampilan saja tidak diperhatikan."
Raya tahu, tapi kan masalahnya dia juga harus menghemat. Dia tidak mau Nina yang mengeluarkan uang untuk membelikannya gaun.
"Ini juga terlalu seksi."
"Apanya yang seksi, bagus begini. Kamu harus memancarkan kecantikan kamu."
Akhirnya Raya memilih gaun yang dipilih oleh Nina. Gaun yang sangat bagus dan begitu pas di tubuh Raya.
"Sekarang kita ke salon."
Lagi-lagi dia hanya menurut saja.
"Kamu silahkan melakukan perawatan, kami mau jalan-jalan dulu, ya."
Nina mengajak kedua anaknya jalan-jalan di dalam mall. Membeli es krim dan bermain di pusat permainan. Sekali-kali menyenangkan kedua anak itu penting, karena mereka yang pemasukannya tidak seberapa, tetapi banyak pengeluaran.
Nina yang saat itu dinyatakan hamil tanpa suami, harus hidup luntang-lantung dan penuh tekanan.
Raya tidak begitu menikmati perawatan ini, bukan karena tidak enak, tapi karena memikirkan biayanya yang sudah pasti tidak murah.
Lebih baik uangnya dia tabung, atau untuk keperluan yang lebih penting.
Rean dan Rion begitu senang menikmati jalan-jalan ini. Mata Rion sesekali melirik ke toko mainan, tapi dia diam saja. Dia tahu Raya dan Nina tidak punya banyak uang untuk membelikan dia dan Rean mainan.
"Rion kenapa diam saja? Ada yang kamu mau?"
"Tidak ada, Ma. Apa mommy masih lama?"
"Mungkin sebentar lagi. Doakan mommy agar menang, ya."
"Ya, kami akan mendoakan mommy menang."
Kedua anak itu dituntut dewasa, meski jiwa anak-anak mereka yang ingin sekali seperti anak lainnya tentu saja ada.
"Lion, ayo ke sini."
Nina harus menahan tawanya saat Rean menyebut Lion, kedua anak itu memang belum bisa menyebut huruf R dengan benar.
Raya telah menyelesaikan perawatannya.
"Sudah dibayar oleh teman Anda, Nona."
Raya meringis, lagi-lagi dia yang dibayarkan.
Aku harus menang agar bisa membalas budi orang-orang yang telah baik kepadaku.
Raya semakin bersemangat untuk menang. Bahkan jika sekarang dia kalah, dia akan ikut lagi dan lagi sampai dia bisa mendapatkan kemenangan dan mendirikan perusahaan properti sendiri.
Bukan hanya demi aku, tapi juga mereka.
Di tempat Nina
Nina dan si kembar sedang menelusuri toko demo toko meski tidak membeli apa-apa.
"Caren, ini kamu, kan?"
Nina menghentikan langkahnya saat seorang pria menyapa dirinya dengan nama yang telah lama tidak dia gunakan.
"Kamu apa kabar?"
Pria itu lalu melihat Rean dan Rion, meski wajah keduanya tidak terlihat."
"Mereka ... apa mereka anak kita?"
"Ma ...," tiba-tiba saja Rion memanggil Nina.
"Mereka anak kita? Kembar?"
Wajah pria itu terlihat sangat syok.