Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedih Dalam Diam
🌿🌿🌿
Mobil yang dikemudikan kencang akhirnya berhenti di halaman rumah. Tangisan sudah tidak bersemi lagi, tapi ada rasa sakit yang membara kuat di hatinya. Malini keluar dari mobil, kakinya melangkah masuk ke menuju rumah. Wujud Inara, sang ibu, membuatnya sedikit kaget dan jalannya melambat sambil mengendalikan sisa emosional yang sempat mengguncang dirinya.
"Itu Mama," kata Jian, mengarahkan mata ke pintu.
Inara mengangkat pandangan dari kedua cucunya yang duduk di sampingnya. Malini tersenyum untuk menyembunyikan semua yang terjadi.
"Telepon Mama kenapa tidak di jawab? Kamu baik-baik saja, kan? Habis dari mana kamu dengan pakaian begini?" tanya Inara sambil berjalan mendekatinya.
"Kerja. Sebenarnya aku akan bekerja mulai besok. Bosan terus di rumah. Anak-anak juga sudah masuk sekolah TK." Malini menjawab pertanyaan Inara dengan enteng.
Malini melanjutkan kaki melangkah menuju tangga. Sikapnya itu membuat Inara berpikir bingung, tak biasanya ia melihat anaknya itu lesu.
"Nenek akan menginap di sini?" tanya Jenaka.
"Iya. Jauh-jauh ke sini, masa Nenek tidak menginap. Nenek akan tinggal di sini beberapa hari ini karena kakek kalian ada tugas keluar kota. Sekarang kita tidur, ayo!" ajak Inara sambil membimbing anak-anak itu ke kamar mereka.
***
Pintu kamar dibuka, mata Malini langsung tertuju pada foto pernikahan yang ada di dinding dan juga di atas meja. Air matanya kembali menetes, kakinya melangkah masuk sambil mendorong pintu, menutup. Telinganya masih mendengar dan mengingat jelas perkataan Inara, saat sang ibu menyuruhnya mewaspadai Hudda di usia pernikahan mereka yang semakin lanjut.
'Pria itu mudah tergoda, mereka ibarat anjing. Sebaik-baiknya seorang pria, jangan lupa kalau dia juga manusia. Satu lagi, tidak ada pria yang setia dengan satu wanita.'
"Mama benar. Pria itu tidak bisa dipercaya kesetiaannya. Mas Hudda sudah membuktikan kalau dia sama seperti pria yang ada di luaran sana," kata Malini dengan tangisan dan air mata yang mengalir di pipinya.
Inara membuka pintu kamar. Sejenak Malini terkejut dengan mata membesar dan tubuh kaku setelah mendengar dongkrak pintu yang di buka. Firasatnya langsung berkata orang yang membuka pintu itu adalah Inara. Secara pelan ia memutar tubuh dan melebarkan bibir untuk tersenyum dengan tangan menghapus air mata di pipinya.
"Ma ...." Malini menggantungkan perkatannya.
Wujud Hudda membuat Malini memudarkan senyuman yang niat diperlihatkan untuk menyembunyikan masalahnya. Raut wajahnya bersemu dingin dan kaki lanjut berjalan dalam diam menuju kamar yang ada di sisi kirinya.
"Lini ...!" panggil Hudda, berjalan mengikutinya dengan langkah lambat.
Malini mengabaikannya, ia menutup pintu kamar mandi dan membuka kran air. Kedua tangannya ke daratan di sisi kanan dan kiri wastafel dengan kepala menunduk dalam kesedihan. Ia menghela napas panjang untuk menenangkan perasaan agar bisa mengendalikan dirinya.
"Lini ...!" Hudda mengetuk pintu kamar mandi dengan suara lembutnya.
Shower air juga dihidupkan. Malini berjalan menuju bathtub dan merendam tubuhnya di sana dalam suhu air yang dingin. Kebiasaannya begitu, marahnya tidak mencelakai orang lain, tapi dirinya sendiri. Hudda tahu dengan sifatnya itu. Oleh sebab itu, ia mendobrak pintu. Hudda berhenti di ambang pintu, menatapnya dengan wajah cemas saat melihatnya memainkan busa di dalam bathtub yang menutupi tubuhnya.
"Maafkan. Aku mengira ka--," terpotong.
"Bunuh diri? Tidak hanya kamu satu-satunya pria di dunia ini. Nyawaku lebih berharga dari itu," timpal Malini dengan tajam dan raut wajah dingin.
"Bukan begitu. Cepatlah mandi, aku ingin berbicara masalah tadi. Aku ingin menjelaskannya," kata Hudda.
"Semuanya sudah jelas dan aku paham. Tapi, aku akan memberimu waktu untuk menjelaskannya. Keluarlah!" suruhnya.
Hudda menganggukkan kepala dan menutup pintu kamar mandi dengan hati masih gusar, takutnya Malini tidak bisa berada di pihaknya lagi.
Hampir setengah jam Hudda menunggu dalam ketidak tenangan di kamar, kakinya berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar mandi dengan kuku ibu jari kanan yang digigit. Firasatnya mulai memburuk, sama seperti yang dirasakannya tadi. Ia meraih daun pintu untuk kembali membuka pintu kamar mandi itu. Namun, sebelum terbuka, Malini sudah menariknya dan menampakkan diri dalam balutan handuk kimono.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Hudda dengan perasaan cemas yang berkurang.
"Seperti yang kamu lihat. Sekarang keluar dari kamar, aku ingin ganti pakaian," balas Malini, dingin.
"Di sini saja. Biasanya d--," terpotong kembali.
"Ini sudah tidak seperti biasanya. Jangan tanya padaku mengapa? Kamu pasti tahu alasannya. Jangan membuat diamku murka, kamu akan tahu akibatnya, 'kan?" Malini berbicara selayaknya kepada musuh, salah satu alisnya naik dengan raut wajah dingin.
Malini berjalan melewati tubuh suaminya dan mendekati lemari, ia mengambil beberapa piyama warna hitam dan menoleh ke belakang, matanya tertuju pada Hudda dan kemudian beralih ke arah pintu, mengusir suaminya tanpa berbicara lagi. Hudda menurunkan mata setelah menatap tingkahnya dengan raut wajah merasa bersalah. Lanjut, Hudda berjalan keluar dari kamar.
Setelah Hudda pergi, Malini duduk di tepi kasur dan meneteskan air mata. Rasa sakit di hatinya memudahkan air matanya jatuh, membuatnya terlihat seperti orang paling menyedihkan di dunia ini. Dibalik kuatnya dirinya di hadapan Hudda dan yang lainnya, ada kesedihan yang ditanggung oleh dirinya sendiri. Sambil mengenakan pakaian, air matanya terus mengalir dalam tangis diamnya seperti anak kecil.
Sepuluh menit kemudian, Hudda masuk. Ia melihat Malini berbaring di kasur dengan tubuh membelakangi pintu dan mata terpejam. Hudda tahu sang istri berpura-pura tidur untuk menghindarinya.
"Aku ingin cerita masalah hubunganku dan Yuna. Dia itu istrinya Hadi, temanku yang baru meninggal saat perjalanan ke Bandung itu. Jadi menitipkan Yuna dan calon anak mereka padaku, aku merasa bersalah karena Yuna kehilangan Hadi karena aku. Yuna sempat frustasi dan mengira aku adalah Hadi sampai aku terpaksa berpura-pura menjadi suaminya beberapa hari. Awalanya aku akan berhenti setelah dia sembuh, tapi ...." Hudda menggantungkan perkataannya, merasa takut untuk menyebutkan dirinya terjatuh dalam hubungan gelap bersama Yuna.
"Berarti anak yang ada dalam kandungan Yuna bukan anaknya Mas Hudda? Tapi, tetap saja, mereka bersama di belakangku," kata Malini dalam hati.
"Beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku akan mengakhiri hubungan ku dengannya. Malini!" panggil Hudda dan duduk di tepi kasur, di mana tubuh Malini mengarah, lalu tangannya mendarat di pundak sang istri.
Malini menarik tubuhnya ke belakang tanpa membuka mata, ia mengalihkan arah tubuhnya menghadap dengan membelakangi keberadaan Hudda.
Pria itu tidak ingin diam, ia beralih menaiki kasur dan berbaring di samping Malini dan memeluk tubuh istrinya itu. Malini kembali memutar tubuh dengan membelakangi Hudda.
"Maafkan aku," ucap Hudda.
"Tidur saja! Jangan buang waktumu dengan meminta maaf. Kesalahan tidak bisa dimaafkan dnegan ucapan saja. Kalau aku mendengar suaramu lagi, aku akan keluar dari kamar," tegas Malini dengan sedikit ancaman.
Hudda tersenyum ringan. Perkataan Malini membuatnya menemukan celah kalau sang istri mau memberikan kesempatan kedua padanya. Hudda mengunci rapat bibirnya, tapi tangan masih memeluk tubuh Malini.
"Jangan sentuh aku kalau kamu tidak mau aku pergi dari kamar," tegas Malini, lagi.
Hudda menarik tangannya, tapi arah tubuhnya masih menghadap istri yang memunggunginya.