Karena Fitnah Ibu Mertua ku, rumah tangga ku berantakan. Dia tega memfitnah dan menghadirkan orang ketiga di dalam rumah tangga ku.
Aku tak tahu, kenapa ibu mertua jadi kejam seperti ini, bahkan bukannya dia yang meminta agar aku dan Mas Doni segera menikah.
Ada apa ini?
Bagaimana nasib rumah tangga ku?
Siapa yang akan bertahan, aku atau ibu mertua ku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diusir Dari Rumah
Doni membelalak bola matanya dengan dada yang bergemuruh.
Lutut Doni gemetar seketika. Dilihatnya pria asing tersebut tengah memeluk sang istri.
"Sindy!" teriakkan Doni menggelegar menggema di kamar berukuran 6*6 meter tersebut.
Saking syok nya Doni, kakinya bahkan tak sanggup untuk melangkah menghampiri tempat tidur.
Air mata Doni seketika tumpah dengan tangis kekecewaan yang memilukan.
Doni menghampiri Sindy kemudian menarik selimut tebal yang menutupi tubuh istrinya.
Doni semakin terbelalak, ketika melihat ada beberapa jejak kepemilikan pada leher Sindy. Anehnya, meski Doni menangis meraung di sampingnya, Sindy tak juga bangun.
Saat itu Sindy tengah menggunakan daster dan pada bagian leher dan dada terlihat. Karena jika tidak sedang berada di rumah, Sindy biasa mengenakan daster berlengan panjang.
Pria yang bersama Sindy langsung kabur begitu saja. Tanpa sempat Doni mengejarnya.
Doni berfokus pada Sindy yang telah mengkhianatinya, tak peduli siapapun pria selingkuhan itu.
Nafas Doni memburu dengan detak jantung yang semakin cepat, seperti bom waktu yang hendak meledak.
"Bangun istri pezina!" Teriak Doni sambil menyentak tangan Sindy dan menariknya hingga membuat Sindy terpaksa tersadar dari tidur lelapnya.
Sindy membuka matanya, kaget ketika melihat wajah Doni yang memerah akibat amarah yang begitu besar.
Kelopak mata Doni masih menggenang air mata dengan diafragma yang naik turun, disertai nafas yang memburu.
Sindy semakin linglung .Ia tak mengerti kenapa suaminya itu begitu marah.
"Mas Doni? Kamu kenapa?"tanya Sindy sambil menyentuh bagian kening karena merasa sakit kepala.
Bukan jawaban yang didapat oleh
Sindy tapi hanya deru nafas yang memburu serta bola mata yang melotot seakan ingin membunuhnya.
*Keluar Kau dari rumahku!" Ucap Doni sambil menunjuk pintu keluar dengan nafas yang terengah-engah.
Sindy belum tersadar sepenuhnya, bahkan pandangan matanya masih berbayang .Namun ia bisa merasakan emosi sang suami yang berdiri di sampingnya.
"Cepat kataku kau keluar dari rumah ini! Jangan pernah kembali lagi! Hari ini aku menjatuhkan talak kepadamu!" Teriak Doni dengan bola mata berpendar menatap Sindy.
Petir terasa menggelegar di telinga Sindy hingga membuatnya terpaksa membelalakkan bola matanya.
Apa? menjatuhkan talak, apa aku tidak salah dengar?
Sindy terdiam menatap Doni yang menatapnya dengan nyalang.
"Cepat keluar dari sini aku sudah tidak Sudi melihat kau di sini!" Doni kembali menarik tangan Sindy hingga membuat Sindy tersungkur di atas lantai.
Cindy belum pun sadar sepenuhnya, dan entah kenapa butuh waktu begitu lama untuk menetralisir perasaannya.
Tubuh Sindy terhempas. Sakit terasa pada bagian lutut dan sikunya karena menahan tubuhnya saat itu.
Sindy belum bisa bangkit karena kepalanya masih terasa pusing dan bertambah pusing. Ia pun memutar tubuhnya dan menatap Doni yang seakan ingin membunuhnya.
"Mas, Kamu kenapa? memangnya Apa salahku?"tanya Sindy yang masih bingung.
"Kau tanya salahmu apa? Aku takkan pernah lagi percaya padamu! Setelah apa yang kulihat hari ini! Sekarang Kau pergilah dari rumahku dan jangan pernah kau menginjakkan rumah ini lagi!"
Deru nafas Doni terdengar seperti badai angin yang melanda di sebuah permukiman.
Tatapan mata Doni lebih garang dari tatapan seekor raja hutan yang sedang mengincar mangsanya.
Belum pun bisa mencerna Apa yang terjadi. Tangan Sindy kembali di sentak hingga ia harus berdiri karena tarikan Doni yang begitu kuat.
"Katakan salahku apa? Kenapa kau mau marah-marah seperti ini sih."
Doni terus menarik tangan Sindy hingga mereka menuruni anak tangga.
Doni tidak menjawab pertanyaan Sindy, ia terus saja menarik Sindy menuruni anak tangga.
Wajah Doni terlihat begitu murka, hingga mereka yang berada di lantai 1 tak berani bertanya apa yang telah terjadi.
Para asisten rumah tangga dan Bu Misye menatap dan memperhatikan mereka,tanpa ada satu pun membuka suara.
"Mas Kamu ini kenapa? aku ini salah apa Mas?" Sindy masih bertanya.
Kaki Sindy hampir terkilir karena langkahnya kaki yang beberapa kali tersandung akibat gerakan Doni yang begitu cepat menuruni anak tangga, sementara dia sendiri masih merasa sempoyongan.
Bu Misye pura-pura menghampiri Doni, ketika mendengar suara teriakan dari kamar putranya.
"Ada apa ini Doni? Kenapa kau tarik-tarik tangan istrimu seperti itu tanya?" bu Misye pura-pura marah.
Doni tidak menjawab, ia terus menarik tangan Sindy dengan tatapannya nyalangnya. Bahkan tak satu pertanyaan Sindy yang dijawab oleh Doni. Doni bahkan tak memberi kesempatan sedikitpun pada Sindy untuk menjelaskan apa yang terjadi.
Tiba di depan pintu rumahnya, Doni membuka pintu, kemudian ia menarik tangan Sindy lebih kuat dan menyentak-nyentak nya, hingga tubuh Sindy terdorong dan terjerembab di atas teras.
Sekali lagi Sindy tersentak, kejadian ini seperti mimpi baginya, karena baru saja ia terbangun dari tidur lelap yang membuatnya sakit kepala.
"Kau tunggu di sini akan ku bereskan barang-barangmu! setelah itu pergilah dari sini dan jangan pernah menampakan batang hidungmu padaku. Perempuan sepertimu tidak pantas disebut istri. Kau perempuan hina. Perempuan pezina!" Teriak Doni dengan sesak yang bergemuruh di dadanya.
Duar! pintu dibanting Doni, serupa suara petir menggelegar di atas langit, saking kuatnya dan saking emosinya Doni saat.
Hah pezina? Memangnya apa yang telah kulakukan? tanya Sindy dalam hatinya, ia jadi semakin tak mengerti.
Para tetangga berhamburan keluar rumah, Mereka melihat dari balkon rumah kejadian tersebut.
Sindy yang masih merasakan sakit kepala bersandar pada salah satu pilar di teras itu.
Tangannya memijat pelipisnya karena kepalanya masih terasa sakit. Selain itu, dia juga merasakan sakit pada bagian perut, bagian lutut dan bagian siku akibat benturan karena terhempas tadi.
Sindy masih linglung, dia tak tahu apa yang terjadi dan tak tahu kenapa Doni begitu marah.
Sindy mencoba mengatur nafasnya sembari mengingat-ingat kejadian apa yang terjadi padanya hingga memicu amarah yang begitu besar, hingga Doni menjatuhkan talaknya.
"Iya aku tidak salah dengar, Mas Doni telah menjatuhkan talak padaku," guman Sindy.
Seketika dadanya terasa sesak dengan bola mata yang melotot.
"Aku sudah dijatuhi talak?" Sindy mengulangi perkataannya, karena masih tak percaya, sambil menelan salivanya.
Sakit yang teramat pada bagian kepala sudah tak terasa lagi, ia mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi.
'Perempuan pezina, perempuan hina, dan di jatuhi talak. Memangnya apa yang aku lakukan,' batin Cindy berkecamuk.
Meski terasa sakit. Namun Sindy tak mampu meneteskan air matanya, karena ia masih bingung membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Bruk… pintu kembali terbuka dan sebuah koper dilempar ke arah Sindy.
Sindy menatap heran ke arah Doni yang tiba-tiba berubah 180 derajat.
"Di koper itu sudah ada dompet dan rekening mu! Pergilah dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini. Saat ini aku telah menjatuhkan talak kepada mu! Dan surat perceraian kita akan menyusul."
Kali ini kata-kata Doni sudah bisa ditangkap dengan jelas, hingga Sindy bisa mengerti.
Sindy kembali menatap wajah Doni selama beberapa saat. Hanya beberapa saat, sebelum Doni menutup pintu rumahnya kembali.
Duar! Pintu kembali dibanting.
Sindy kembali menelan salivanya untuk membasahi kerongkongannya yang terasa panas dan kering.
'Aku harus pergi dari rumah ini? Aku sudah ditalak, apa ini hanya sebuah mimpi. Jika sebuah mimpi Aku ingin segera tersadar,' batin Sindy dengan air mata yang mulai berurai.
Sindy mencoba berdiri menapaki kakinya di atas lantai.
Tidak, Ini bukan mimpi ini terasa nyata. Kemudian ia menarik handle kopernya dan membuat koper itu menjadi tegak.
Sindy kembali melangkahkan kakinya kemudian membalikkan tubuhnya menatap pintu yang kini tertutup rapat. Tak terasa air mata kembali menetes di pipi Sindy.
Iya kembali melangkahkan kakinya sambil memijat kepala. Kemudian Sindy mencubit pipinya dan merasakan sakit.
Air matanya semakin deras mengalir.
"Tidak, Ini bukan mimpi ini kenyataan," lirih Sindy sambil menangis.
Air mata pun semakin berderai. Kaki Sindy melangkah. Namun, hatinya begitu berat meninggalkan rumah itu.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku, kenapa aku bisa terusir dari rumah ini? Pertanyan tersebut masih menggelayut dan menjadi tanda tanya besar baginya.
Sindy kembali memijat kepalanya dan baru menyadari jika rambutnya terurai.
"Tidak aku keluar rumah tapi tidak memakai hijabku?"
Sindy terdiam kemudian yang melirik ke arah koper.
Sindy membuka kopernya, mencari kerudung untuk menutupi auratnya.
Setelah itu dengan hanya beralas sandal jepit, Sindy melangkah dengan langkah meninggalkan halaman rumah Doni.
Tetangga memandang Sindy sambil mencibir.
"Pasti belang nya sudah ketahuan, hingga Doni mengusirnya dari rumah itu. Benar juga kata bu Misye, menantunya itu wanita yang munafik. Kasihannya Doni harus dapat istri seperti itu."
Berbagai komentar tetangga saling bersahut-sahutan mengiringi langkah Sindy.
Entah kenapa mereka semua menyempatkan diri untuk berdiri di samping tembok besar rumah itu.
Apalagi kalau bukan untuk menambah penderitaan Sindy dengan menghinanya.
Kata-kata cemoohan membuat Sindy semakin menguatkan langkah kakinya yang mulai terasa semakin lambat.
Keringat dingin mengucur deras di kalah teriknya mentari menjelang di sore itu
Sindy tak tahu lagi, harus melangkah ke mana. Di dalam koper ia memang sempat melihat ada dompet miliknya.
Ya, beruntung Doni sempat membekalinya dompet yang berisi uang dan ATM. Jika tidak, dia harus ke mana dan harus bagaimana untuk pulang ke kampung halamannya
Sindy mendorong kopernya melangkah semakin jauh meninggalkan rumah, hanya derai air mata yang mengiringi kepergiannya
Berkali-kali Sindy mencoba menghapus air matanya sambil menahan rasa sakit yang menghimpit dadanya.
Namun, semakin dihapus, air mata itu semakin deras mengalir hingga Sindy tak mampu lagi membendungnya.
Ia pun bersandar pada tiang listrik, Sindy melorotkan tubuhnya ke bawah, karena tak mampu lagi melangkah, kemudian dia menangis sambil memeluk lututnya.
"Siapa yang telah memfitnah ku dengan kejam seperti ini, hiks." Tangisan Sindy pilu menyayat hati.
sungguh mantap sekali ✌️🌹🌹🌹
terus lah berkarya dan sehat selalu 😘😘
tahniah buat kehamilan mu Ainun
tahniah Ainun