Di sebuah hutan yang lebat dan rimbun,terbaring lah sebuah tubuh penuh luka. Ya benar dia adalah Rangga bocah kecil yang menjadi korban kejahatan para perampok bagai mana kisah selanjutnya ikut terus perjalanan Rangga...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan ke Argara
"Ternyata negeri Argara ini sudah sangat maju. Bangunannya megah, jalan-jalan tertata rapi, dan penduduknya tampak makmur. Baik kehidupan penduduk maupun tata perkotaannya sungguh mengagumkan. Martapura, negeriku, tak boleh kalah," gumam Rangga pada dirinya sendiri, matanya berbinar-binar mengagumi pemandangan di hadapannya. Ia baru saja tiba di pinggiran negeri Argara setelah berhari-hari mengembara.
Rasa ingin tahunya membuncah. "Lebih baik aku berkeliling untuk melihat-lihat suasana dan mungkin mencari informasi baru," kata Rangga kemudian. Tekadnya untuk belajar dan berkembang semakin kuat.
Dengan langkah mantap, ia pun menuntun kudanya yang setia, si Jalu, menuju ke pusat keramaian. Kuda berwarna coklat keemasan itu melangkah dengan gagah, sesekali meringkik pelan, seolah ikut merasakan semangat tuannya.
Suasana Keramaian dan Kehidupan di Argara
Rangga memasuki kawasan pasar, pusat nadi perekonomian negeri Argara. Suasana begitu ramai, riuh rendah suara pedagang yang menjajakan dagangannya bersahut-sahutan dengan suara tawar-menawar pembeli. Di sana-sini, orang-orang berlalu-lalang, dari berbagai kalangan, mulai dari petani yang membawa hasil bumi, pedagang kain dengan gulungan sutra beraneka warna, hingga para bangsawan dengan pakaian mewah dan perhiasan yang berkilauan. Aroma rempah-rempah yang dijual di salah satu sudut pasar menggelitik indra penciuman Rangga, bercampur dengan aroma masakan dari warung-warung makan yang berjajar di sepanjang jalan.
"Benar-benar suasana yang menarik, penuh kehidupan," kata Rangga dalam hati, matanya tak henti-hentinya menjelajahi setiap sudut pasar, menyerap setiap detail yang ada. Ia memperhatikan bagaimana para pedagang berinteraksi dengan pembeli, cara mereka menata dagangan, dan juga mencermati arsitektur bangunan-bangunan yang kokoh dan indah. Ia bahkan melihat sekelompok anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran di antara keramaian, tawa riang mereka menambah semarak suasana.
Setelah puas berkeliling dan mengamati kehidupan di pasar, serta perutnya mulai berbunyi, Rangga memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke penginapan. Kali ini, ia memilih untuk mengendarai Jalu, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.
Pertemuan Tak Terduga di Tengah Hutan
Sementara itu, perjalanan pangeran Lintang telah jauh meninggalkan istana Kumaya dan memasuki sebuah hutan.
"Romo, sebaiknya kita beristirahat terlebih dahulu. Kulihat para prajurit sudah tampak kelelahan setelah perjalanan panjang ini," usul Pangeran Lintang, suaranya terdengar prihatin melihat raut lelah di wajah para pengawal yang sedari tadi setia mengiringi perjalanan mereka.
Raja Sura, yang duduk di atas tandu yang dipikul oleh empat prajurit berbadan tegap, mengangguk setuju. "Benar, Lintang. Di depan sana, di tepi danau itu, sepertinya tempat yang cocok untuk kita mendirikan tenda. Tempatnya teduh dan dekat dengan sumber air," kata Raja Sura, menunjuk ke arah sekumpulan pohon rindang di tepi sebuah danau yang airnya berkilauan diterpa sinar matahari sore.
"Baik, Romo," jawab Pangeran Lintang, wajahnya yang tampan dihiasi senyum tipis, menyetujui pilihan ayahnya. Ia pun segera memberikan aba-aba kepada para pengawalnya. "Prajurit, kita beristirahat di sana! Dirikan tenda dan siapkan perbekalan!" perintahnya dengan suara lantang dan tegas, khas seorang pemimpin muda yang berwibawa.
Para pengawal yang mendengar perintah itu pun segera bergerak cekatan. Mereka menurunkan tandu Raja Sura dengan hati-hati, kemudian mulai mendirikan tenda-tenda dari kain tebal berwarna biru tua, warna kebesaran Kerajaan mereka. Sebagian prajurit yang lain mengumpulkan kayu bakar, dan beberapa lainnya mengambil air dari danau untuk memasak.
Setelah beristirahat cukup lama dan mengisi kembali tenaga mereka, rombongan Raja Sura pun melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Argara, tujuan utama mereka.
Tiba-tiba, di tengah perjalanan...
"Berhenti!" Suara berat dan menggelegar itu memecah keheningan hutan. Sesosok pria bertubuh besar menghadang rombongan Raja Sura, wajahnya tampak garang, dengan sorot mata tajam.
"Siapa kau berani menghadang rombongan kerajaan?" tanya salah seorang prajurit, dengan sigap menghunus pedangnya.
"Aku Bramasta, penguasa wilayah ini! Serahkan semua barang berharga kalian jika ingin selamat!" hardik orang itu, yang ternyata bernama Bramasta.
"Ada apa, Prajurit?" tanya Pangeran Lintang yang sedari tadi berkuda di samping tandu ayahnya, keningnya berkerut melihat gelagat aneh prajuritnya.
"Ada seseorang yang menghadang perjalanan kita, Pangeran," jawab prajurit yang tadi maju paling depan, melaporkan situasi kepada Pangeran Lintang.
"Apa yang diinginkan orang itu?" tanya Pangeran Lintang, alisnya semakin bertaut.
"Sepertinya dia berniat jahat, Pangeran. Dia meminta kita menyerahkan semua barang berharga," jawab prajurit itu dengan nada khawatir.
"Kurang ajar! Cepat kau urus dia. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Terlalu beresiko berlama-lama di hutan ini," perintah Pangeran Lintang, wajahnya mengeras menahan amarah.
"Baik, Pangeran!"
"Minggirlah, Tuan! Jangan menghalangi jalan kami," kata prajurit itu kepada Bramasta, berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi amarah.
"Sudah kubilang, serahkan dulu semua barang berharga kalian, baru aku akan membiarkan kalian lewat!" Bramasta tetap bersikeras, suaranya semakin meninggi, menandakan kesabarannya sudah habis.
"Manusia kurang ajar! Lancang sekali kau! Serang dia!" perintah prajurit itu kepada rekan-rekannya, tak tahan lagi dengan sikap kurang ajar Bramasta.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Para prajurit Kerajaan menyerang Bramasta dengan pedang dan tombak mereka. Namun, dengan mudahnya Bramasta menangkis dan mematahkan serangan mereka. Tubuhnya yang kekar dan gerakannya yang lincah membuat para prajurit kewalahan. Dalam sekejap, beberapa prajurit sudah terkapar tak berdaya.
"Maafkan hamba, Pangeran. Ternyata orang itu sangat kuat. Beberapa dari prajurit kita terluka," lapor prajurit itu dengan napas terengah-engah, wajahnya dipenuhi peluh dan darah.
"Kurang ajar!" desis Pangeran Lintang, matanya menyala-nyala melihat kekalahan prajuritnya.
"Kalian semua, mundur! Jaga Romo Prabu!" perintah Pangeran Lintang kepada sisa prajuritnya.
"Baik, Pangeran!" jawab mereka serempak, membentuk formasi melindungi Raja Sura yang masih berada di dalam tandu.
"Berani-beraninya kau menghalangi jalanku dan melukai prajurit-prajuritku!" geram Pangeran Lintang, sambil mencabut pedang pusaka dari sarungnya. Pedang itu berkilauan, memantulkan cahaya matahari, dan tampak sangat tajam.
"Kau bilang mereka prajurit? Hahaha! Bagiku, mereka tak lebih dari cecunguk-cecunguk tak berguna yang mudah dikalahkan!" ejek Bramasta, tertawa terbahak-bahak, meremehkan kemampuan para prajurit Kerajaan.
"Cukup!" bentak Pangeran Lintang. Tanpa membuang waktu, ia pun menerjang Bramasta dengan kecepatan penuh.
Pertarungan sengit antara Pangeran Lintang dan Bramasta pun terjadi. Denting pedang beradu, bunga api berpijar setiap kali senjata mereka bertemu. Pangeran Lintang menyerang dengan gesit dan bertenaga, namun Bramasta mampu menangkis semua serangannya dengan mudah. Setelah beberapa jurus, Bramasta mulai terdesak. Pangeran Lintang memang jauh lebih unggul dalam hal ilmu bela diri.
"Ternyata mulut besarmu itu tidak sebanding dengan kemampuanmu yang rendah," sindir Pangeran Lintang, seringai tipis menghiasi wajahnya.
"Aku akui kau cukup kuat, bocah. Tapi aku belum kalah!" sergah Bramasta. Dengan gerakan tiba-tiba, ia mengeluarkan sebuah peluit bambu kecil dari balik jubahnya dan meniupnya sekeras mungkin. Suara melengking yang dihasilkan peluit itu membelah kesunyian hutan.
Tak lama berselang, dari berbagai penjuru hutan, bermunculan puluhan orang, membawa berbagai macam senjata. Mereka adalah gerombolan begal, anak buah Bramasta yang selama ini bersembunyi di hutan larangan.
"Ternyata dia memanggil teman-temannya," gumam Pangeran Lintang, mulai merasa cemas.
"Matilah kau sekarang, Pangeran! Kau akan menyesal telah berurusan denganku!" ancam Bramasta, seringai jahat menghiasi wajahnya.
"Berapapun jumlah kalian, hasilnya akan tetap sama! Aku, Lintang, putra mahkota Kerajaan, tidak akan pernah kalah dari segerombolan begal rendahan seperti kalian!" teriak Pangeran Lintang, berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya dan membangkitkan semangat juangnya.
"Serang!" komando Bramasta menggema, dan pertempuran kembali pecah, kali ini dengan skala yang jauh lebih besar.
Pangeran Lintang mengamuk, menebas setiap begal yang mendekat. Pedangnya bergerak secepat kilat, menebas dan menusuk, tak memberi ampun. Namun, jumlah begal yang terlalu banyak membuatnya kewalahan. Mereka terus berdatangan, seolah tak ada habisnya.
"Kurang ajar, mereka tidak ada habisnya! Prajurit, bantu aku! Yang lain tetap jaga Romo Prabu!" teriak Pangeran Lintang di tengah hiruk-pikuk pertempuran. Ia mulai kehabisan tenaga, peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Beberapa prajurit yang tersisa segera maju, membantu Pangeran Lintang yang mulai terdesak. Walaupun kemampuan mereka jauh di bawah Pangeran Lintang, setidaknya mereka bisa sedikit mengurangi beban sang Pangeran.
Pangeran Lintang meningkatkan tempo serangannya. Ia berputar, melompat, dan menebas dengan bringas. Bagaikan mesin pembunuh, ia membabat habis para begal itu. Namun, tenaganya semakin terkuras.
"Kalau begini terus, aku bisa kalah. Apa yang harus kulakukan?" batin Pangeran Lintang, mulai putus asa. Dia harus menemukan cara untuk mengalahkan mereka semua sebelum tenaganya benar-benar habis.
"Ternyata dia benar-benar kuat," bisik salah seorang begal kepada temannya, mereka mulai gentar melihat keganasan Pangeran Lintang.
"Kenapa berhenti? Apa kalian takut, hah?" tantang Pangeran Lintang, meskipun napasnya sudah tersengal-sengal.
"Kami, para begal dari Hutan Larangan, tidak mengenal rasa takut!" jawab salah seorang dari mereka, berusaha menutupi rasa takutnya.
Pertempuran kembali berlanjut. Banyak prajurit yang gugur, tubuh mereka tergeletak bersimbah darah di tanah. Namun, korban di pihak begal pun tak kalah banyak. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di sekitar Pangeran Lintang.
Gerakan Pangeran Lintang semakin lama semakin melambat, menandakan staminanya yang semakin menipis. Keringat dingin mengucur deras, membasahi pakaiannya.
Inilah yang ditunggu-tunggu oleh para begal. Mereka melihat kesempatan emas untuk menghabisi Pangeran Lintang yang sudah kelelahan.
Kedatangan pertolongan yang Tak Terduga
"Dasar manusia rendahan! Beraninya main keroyok!"
Sebuah suara lantang tiba-tiba memecah hiruk-pikuk pertempuran. Sesosok pria muncul dari balik pepohonan, matanya menatap tajam ke arah para begal.
"Siapa kau? Jangan ikut campur urusan kami!" bentak salah seorang begal, merasa terganggu dengan kedatangan orang asing itu.
"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, hari ini, kupastikan kalian semua akan masuk neraka!" jawab orang itu dengan nada dingin dan menusuk.
Tanpa menunggu lama, orang itu, yang tak lain adalah Rangga, menerjang para begal dengan kecepatan kilat. Kedua pedangnya berputar, menebas dan menusuk dengan gerakan yang sangat cepat dan mematikan.
Para begal yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu pun kalang kabut. Mereka berusaha melawan, namun Rangga terlalu tangguh. Setiap tebasan pedangnya merobohkan beberapa begal sekaligus. Tubuh-tubuh mereka terpotong, darah segar menggenangi tanah, menambah kengerian di medan pertempuran.
Rangga bergerak dengan sangat lincah, berpindah dari satu lawan ke lawan lainnya, tak memberi mereka kesempatan untuk menyerang. Dalam waktu singkat, banyak begal yang tewas di tangannya.
"Siapa dia? Gerakannya sangat cepat, aku bahkan sulit untuk mengikutinya dengan mata," gumam Pangeran Lintang, terperangah melihat kehebatan Rangga. Ia merasa kagum sekaligus lega, karena bantuan telah datang di saat yang tepat.
Akhirnya, satu per satu begal itu tumbang. Tubuh mereka tergeletak tak bernyawa, dengan luka-luka mengerikan. Hanya dalam waktu singkat, Rangga berhasil menghabisi seluruh begal yang tersisa.
Setelah memastikan semua begal itu tewas, Rangga menghampiri Pangeran Lintang yang masih berdiri terpaku, menatapnya dengan tatapan kagum.
"Apakah Tuan baik-baik saja? Kenapa Tuan diam saja?" tanya Rangga, membuyarkan lamunan Pangeran Lintang.
"S-saya baik-baik saja," jawab Pangeran Lintang gugup. Ia masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Rangga menghabisi para begal itu dengan sangat mudah, seolah-olah mereka hanyalah segerombolan lalat yang mengganggu.
"Saya ucapkan terima kasih, Tuan Pendekar. Anda telah menyelamatkan nyawa saya dan rombongan," kata Pangeran Lintang dengan tulus, rasa hormat terpancar jelas di matanya.
"Sudahlah, lupakan saja. Mereka memang pantas dibasmi. Hama masyarakat seperti mereka hanya akan membawa kesengsaraan," jawab Rangga dengan nada rendah hati.
"Saya juga ucapkan terima kasih, Tuan Pendekar," sahut Raja Sura yang tiba-tiba muncul dari belakang Pangeran Lintang, didampingi oleh beberapa prajurit yang tadi melindunginya.
"Perkenalkan, saya Raja Sura, dan ini putra saya, Lintang, putra mahkota Kerajaan," kata Raja Sura memperkenalkan dirinya dan putranya. "Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Jika tidak ada Tuan Pendekar, mungkin kami sudah celaka," lanjut Raja Sura dengan nada penuh syukur.
"Sudahlah, Raja Sura, tak perlu dibesar-besarkan. Sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang untuk menolong sesama yang sedang dalam kesulitan," jawab Rangga merendah.
"Kalau boleh kami tahu, siapakah gerangan nama Tuan Pendekar yang baik hati ini?" tanya Raja Sura, ingin mengenal lebih jauh sosok penyelamat mereka.
"Nama saya Rangga. Saya hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat," jawab Rangga memperkenalkan diri.
Ternyata, Rangga yang sedang dalam perjalanan kembali ke penginapannya, memilih untuk mengambil jalan memutar, menyusuri pinggiran negeri Argara. Ia ingin melihat lebih jauh keindahan dan kemajuan negeri itu. Di tengah perjalanannya itulah, ia mendengar suara pertempuran dan tanpa ragu memutuskan untuk membantu.
"Kalau Nak Rangga tidak keberatan, saya yang tua ini ingin memohon bantuan," pinta Raja Sura dengan penuh harap.
"Silakan katakan saja, Paduka. Jika saya mampu, saya akan dengan senang hati membantu," jawab Rangga.
"Setelah melihat kemampuan Nak Rangga yang luar biasa, sudilah kiranya Nak Rangga ikut mengawal perjalanan kami menuju Kerajaan Argara. Kami khawatir akan ada bahaya lain yang menghadang di tengah jalan," pinta Raja Sura.
"Kalau boleh hamba tahu, apa tujuan Paduka dan Pangeran pergi ke Kerajaan Argara?" tanya Rangga, ingin mengetahui lebih lanjut sebelum memutuskan.
"Kami hendak menghadiri undangan Raja Bargola karena ada sesuatu yang harus kami bicara kan di Argara," jawab Raja Sura.
Rangga berpikir sejenak. Tujuannya ke Argara memang hanya untuk melihat-lihat dan mencari pengalaman. Menerima tawaran Raja Sura mungkin akan memberinya kesempatan untuk mengenal lebih dalam tentang Kerajaan Argara dan siapa tahu, ia bisa belajar banyak hal baru di sana.
"Baiklah, Paduka. Saya bersedia mengawal perjalanan Paduka dan Pangeran Lintang ke Kerajaan Argara," jawab Rangga akhirnya, menyanggupi permintaan Raja Sura.
Dengan demikian, dimulailah perjalanan Rangga bersama rombongan Raja Sura menuju Kerajaan Argara, sebuah perjalanan yang mungkin akan membawanya pada petualangan dan pengalaman baru yang tak terduga. Dan di dalam hati Rangga, terbersit sebuah harapan, bahwa perjalanannya kali ini akan membawanya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin akan menambah wawasan dirinya.