Pendekar Pedang Kembar
"Berhenti.... berhenti..... berhenti...!!" terdengar suara lantang dan tegas memberikan komando.
"Berhenti ... berhenti........!!" perintah tersebut diulangi dengan volume yang ditingkatkan.
Sementara itu, di dalam sebuah kereta kuda, seorang wanita bangsawan dan seorang anak kecil tampak dicekam kepanikan dan ketakutan.
"Gerangan siapakah gerombolan itu, Kang?" tanya wanita itu kepada kusir kereta dengan nada cemas.
"Hamba kurang tahu, Den Ayu, namun gelagat mereka mengindikasikan niat yang tidak baik," jawab kusir kereta itu, seraya meningkatkan kecepatan laju kereta kudanya.
"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya anak itu dengan polos.
"Ibu juga tidak tahu, anakku," jawab sang ibu dengan ekspresi yang sarat akan kekhawatiran.
Braaak....... !!! Terdengar suara benturan keras saat roda kereta kuda mengalami kerusakan.
Kereta kuda pun terguncang hebat akibat roda sebelah kiri yang hancur dan lajunya menjadi tidak terkendali.
"Ibu...!!!" teriak anak itu, dilanda ketakutan.
Sang ibu dengan sigap memeluk erat anaknya untuk mencegahnya terlempar, dan beberapa saat kemudian kereta kuda itu pun terhenti.
"Cepat, amankan semua barang berharga..!!" perintah pemimpin perampok itu dengan suara lantang.
Delapan orang turun dari kuda dan langsung merangsek masuk ke dalam kereta.
Tanpa membuang waktu, para anak buahnya pun turun dari kuda dan menghabisi kusir kereta tadi dengan kejam. Mereka kemudian menjarah semua barang-barang yang ada di dalam kereta itu.
Menyaksikan pembunuhan kusir kereta yang begitu brutal, wanita bangsawan itu dilanda ketakutan yang luar biasa.
"Tolong.... tolong.... Tolong!!" jerit wanita itu dengan histeris.
"Hahaha..., hahaha....!!" para perampok itu tertawa terbahak-bahak, menikmati ketakutan wanita itu.
"Siapa kalian dan apa tujuan kalian?" tanya perempuan itu dengan nada bergetar, diliputi ketakutan dan kepanikan yang luar biasa.
"Dengarkan baik-baik, kami adalah gerombolan perampok Macan Loreng, hahaha..hahaha..hahaha.....!!" jawab pemimpin perampok itu dengan tawa yang menggelegar.
Wajah perempuan itu seketika memucat, pucat pasi, mendengar pengakuan mereka. Ia sudah mengetahui reputasi mereka, bahwa Macan Loreng adalah gerombolan perampok yang terkenal dengan kebengisan dan kekejamannya.
"Semua barang berharga sudah diamankan, Ketua," lapor salah seorang anggota kawanan perampok itu.
"Bagus, bersiap untuk kembali ke markas," perintah sang ketua.
"Lalu bagaimana dengan nasib anak dan perempuan ini, Ketua?" tanya anak buahnya.
Hmmm........ sang ketua perampok tampak berpikir sejenak. "Terserah kalian saja, ingin diapakan wanita itu. Kalian bebas untuk memuaskan nafsu bejat kalian, atau langsung menghabisinya, itu terserah kalian," jawab ketua perampok itu dengan nada acuh tak acuh.
Mendengar titah sang ketua, para anak buahnya pun bersorak kegirangan, membayangkan kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka pada seorang wanita cantik.
Mereka pun segera menyeret perempuan itu secara paksa ke area semak-semak di sekitar lokasi. Wanita itu hanya bisa meronta-ronta dan menjerit histeris.
"Apa yang akan kalian lakukan? Lepaskan aku, lepaskan aku... tolong.. tolong..." teriak wanita itu, memohon belas kasihan.
"Lepaskan ibuku.... ibu... ibu...!
Kalian orang-orang jahat, lepaskan ibuku!" teriak anak kecil itu, berusaha melawan.
Haahahaa.... haahaa... semua anggota gerombolan itu hanya tertawa terbahak-bahak, mengabaikan teriakan anak kecil itu.
"Rangga, lari .... lari... lari dari sini nak, lari..!!" teriak sang ibu, memerintahkan anaknya yang bernama Rangga itu untuk menyelamatkan diri.
"Tidak ibu, Rangga tidak akan lari, aku akan menolong ibu..!" tekad Rangga, kemudian ia memungut sebuah batu dan melemparkannya. Weesss..... plak..!!, lemparan Rangga itu mengenai pelipis salah satu perampok itu hingga berdarah.
Tindakan berani Rangga itu sontak memicu kemarahan besar sang perampok.
"Kurang ajar, bocah sialan!!" makinya dengan penuh amarah.
Perampok itu segera menghampiri Rangga dan melayangkan pukulan keras. Plaaaak....!!!! pukulan telak itu seketika membuat Rangga jatuh pingsan.
Setelah melampiaskan amarahnya, perampok itu segera menyusul rekan-rekannya yang sedang menyiksa ibu Rangga.
Setelah puas melampiaskan nafsu bejat mereka dan menjarah semua harta benda, para perampok itu pun pergi meninggalkan lokasi menuju markas mereka. Mereka tidak hanya meninggalkan ibu Rangga dalam kondisi mengenaskan setelah diperkosa beramai-ramai, tetapi juga menghabisi nyawanya dengan kejam.
Beberapa waktu berselang, Rangga tersadar dari pingsannya. Teringat akan ibunya, ia bergegas berlari menghampiri ibunya yang berada di area semak-semak. Namun, betapa hancurnya hati Rangga saat mendapati sang ibu sudah terbujur kaku tak bernyawa.
"Ibu .. ibu.... bangun ..... ibu...! bangun ibu... bangun... jangan tinggalkan Rangga bu.. ibu..." teriak Rangga histeris, diiringi tangis pilu.
Ia menangis sejadi-jadinya... ia tak tahu harus hidup dengan siapa lagi, mengingat ibunya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh ibunya, berharap sang ibu akan terbangun, namun usahanya sia-sia.
"Ibu... ibu.... ibu..." teriak Rangga, terus meratapi jasad ibunya.
Dengan sekuat tenaga, Rangga yang saat itu baru berusia 12 tahun, berusaha menggali lubang untuk memakamkan ibunya. Dengan cucuran air mata dan isak tangis yang tak henti, ia terus menggali, sesekali menatap jasad ibunya dengan harapan sang ibu akan bangkit kembali. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya lubang itu selesai digali.
"Selamat jalan ibu... semoga ibu tenang di alam sana. Rangga berjanji pada ibu, Rangga akan tumbuh menjadi kuat dan membasmi orang-orang jahat, Ibu," ucap Rangga di hadapan pusara ibunya.
Setelah cukup lama termenung di hadapan makam ibunya, Rangga pun beranjak pergi.
Tiba-tiba, kakinya tanpa sengaja menginjak sebuah benda. Ia pun memungutnya dan menyadari bahwa benda itu adalah sebuah kalung dengan liontin berbentuk taring macan. Kalung itu milik salah seorang perampok yang terjatuh saat ibunya menariknya ketika diseret paksa.
Rangga mengambil dan menyimpan kalung itu di dalam bajunya.
Kemudian, Rangga melanjutkan perjalanannya meninggalkan tempat itu. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti, karena ia tidak mengenal daerah tersebut. Selain jauh dari pemukiman, tempat itu juga sangat sepi. Rangga terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan yang jelas.
Hingga akhirnya, perjalanan Rangga membawanya sampai ke tengah hutan. Dilanda kelelahan, kelaparan, dan tubuh yang penuh luka, Rangga pun ambruk dan pingsan di tengah hutan. Sungguh memprihatinkan nasib anak sekecil itu.
Sementara itu, di sebuah sungai, seorang kakek bernama Raja Alam sedang mencari ikan. Ia adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang pernah menggemparkan jagat persilatan.
Reputasinya yang tanpa kompromi terhadap para penganut aliran hitam membuatnya sangat ditakuti.
Namun, kini ia telah menarik diri dari dunia persilatan dan memilih untuk hidup menyendiri di hutan yang jauh dari keramaian, mencari ketenangan batin.
Setelah merasa tangkapan ikannya cukup banyak, Raja Alam memutuskan untuk kembali ke gubuknya. Dengan raut wajah yang ceria karena hasil tangkapannya yang melimpah, ia berjalan sambil bersenandung kecil.
Setelah beberapa lama berjalan, tiba-tiba di tengah perjalanan, samar-samar Raja Alam melihat sesosok tubuh yang tergeletak, yang ternyata adalah Rangga. Karena penasaran, ia pun menghampiri dan memeriksanya.
Raja Alam menempelkan telinganya ke dada Rangga untuk memastikan apakah ia masih hidup.
"Syukurlah, anak ini masih hidup," gumam Raja Alam, setelah merasakan denyut jantung Rangga.
Tanpa ragu, Raja Alam segera membawa Rangga pergi dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, bergerak secepat kilat.
Setibanya di gubuk, Raja Alam memeriksa kondisi Rangga dengan lebih seksama. Ia tidak menemukan luka serius, hanya luka memar biasa, yang membuatnya merasa lega.
"Tampaknya anak ini mengalami trauma psikis yang sangat berat," gumam Raja Alam pada dirinya sendiri.
"Hmmm.... kira-kira peristiwa tragis apa yang telah menimpa anak ini," gumamnya lagi, penuh tanda tanya.
"Lebih baik aku menanyakannya langsung setelah ia siuman," putusnya, kemudian ia beranjak pergi.
"Ibu.... ibu... ibu... jangan tinggalkan Rangga ibu.." Rangga mengigau, merintih dalam tidurnya, lalu ia pun kembali terlelap.
Mendengar igauan itu, hati Raja Alam tersentuh. Ia menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada ibu anak itu.
Beberapa hari kemudian, kondisi Rangga pulih. Ia mulai membantu Raja Alam mencari kayu bakar di hutan.
Trauma masa lalunya mulai terlupakan untuk sementara, meskipun terkadang kesedihan kembali menyergapnya saat teringat ibunya.
"Hai.. Rangga, tangkap ini!" seru Raja Alam sambil melemparkan buah-buahan ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan sigap dan cekatan, Rangga menangkap semua buah itu tanpa ada yang terjatuh.
"Bagus, bagus, ternyata kemampuan fisikmu sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan," puji Raja Alam dengan nada senang.
"Oh ya, bagaimana dengan kayu bakarnya, apakah sudah terkumpul semua, Rangga?" tanya Raja Alam.
"Sudah, Kek, sudah hamba ikat semua," jawab Rangga.
"Kalau begitu, mari kita pulang," ajak Raja Alam.
"Baik, Kek," jawab Rangga, seraya memanggul kayu bakar di atas pundaknya.
Rangga segera mengikuti Raja Alam yang berjalan di depannya. Ia membawa kayu bakar itu dengan mudah, tanpa kesulitan berarti.
Sepuluh tahun kemudian...
Pagi itu, langit tampak cerah. Di kejauhan, terdengar suara orang yang sedang berlatih silat dengan intens. Dia adalah Rangga. Anak kecil yang dulu ditemukan oleh Raja Alam, kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang rupawan dan tangguh, setelah dua belas tahun ditempa dengan keras oleh gurunya.
Sementara itu, Raja Alam mengamati dari gubuknya, kepalanya mengangguk-angguk tanda puas.
"Hmm, bagus, bagus, ternyata seluruh ilmu yang kuajarkan telah dikuasainya dengan sempurna," gumam Raja Alam, merasa bangga. Ia pun menghampiri Rangga.
Melihat kedatangan kakek gurunya, Rangga menghentikan latihannya dan memberikan penghormatan.
"Ada keperluan apa, Kek?" tanya Rangga.
"Besok, kau akan kuajak ke suatu tempat. Ada ilmu baru yang akan kuajarkan padamu," jawab Raja Alam.
"Tapi, apakah jurus pedang hamba sudah sempurna, Kek?" tanya Rangga, memastikan.
"Tentu saja, Rangga. Jika belum, mana mungkin aku akan memberimu pelajaran baru," tegas Raja Alam.
"Baiklah, Kek," jawab Rangga, diliputi rasa gembira. Ia merasa puas karena telah menguasai jurus Tebasan Seribu Pedang yang selama ini ia pelajari dengan penuh dedikasi.
"Kek, setelah ini, bagaimana kalau kita pergi ke sungai untuk menangkap ikan?" usul Rangga.
"Boleh, boleh saja. Asalkan kau sudah membawa kayu bakar yang kemarin kau kumpulkan itu ke gubuk," jawab Raja Alam.
"Mmm.. bagaimana kalau kita langsung pulang dari sungai, sembari membawa kayu bakar itu, Kek?" tawar Rangga.
"Baiklah, tapi ingat, jangan sampai kau lupa," tegas Raja Alam, kemudian berlalu.
Setelah kepergian kakek gurunya, Rangga melanjutkan latihannya dengan penuh semangat hingga tengah hari. Setelah itu, Rangga dan Raja Alam pergi ke sungai untuk mencari ikan. Dalam perjalanan menuju sungai, Raja Alam tiba-tiba melesat cepat, meninggalkan Rangga di belakang. Ia ingin menguji kemampuan Rangga, apakah ia bisa mengejarnya. Merasa tertantang, Rangga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar Raja Alam.
Tak lama kemudian, Rangga berhasil memperkecil jarak dengan Raja Alam, meskipun belum bisa mendahuluinya.
"Bagus, Rangga. Ternyata kecepatanmu cukup mengagumkan," puji Raja Alam, kemudian mendarat.
"Huff... haaaah....!!! Tetapi, saya tetap tidak bisa mendahului Kakek," ujar Rangga dengan napas tersengal-sengal.
"Haaa... haaaa..... mana mungkin seorang murid bisa mengalahkan gurunya, Rangga. Sudahlah, cepat tangkap ikan-ikan itu. Aku akan menunggumu di sana," ucap Raja Alam, menunjuk ke sebuah tempat.
"Baiklah, Kek," jawab Rangga. Ia kemudian turun ke sungai, membawa sebilah bambu runcing untuk menangkap ikan.
Rangga dan kakek gurunya kembali ke gubuk saat hari mulai senja. Rangga tidak lupa membawa kayu bakar, sesuai janjinya kepada Raja Alam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Ardiawan
kerenn
2025-02-16
0
Suyono Mprage
Lanjutkan
2025-01-31
0
Zainal Arifin
lanjutkan
2024-06-08
1