NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:582
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 13 - Dua sisi berbeda

Dua hari berlalu secepat kedipan mata.

Rasanya baru kemarin aku menjatuhkan tubuh lelahku di atas kasur barak yang keras, kini kami sudah harus bersiap menghadapi misi pertama kami.

Pagi itu, suara terompet membangunkan kami lebih awal dari biasanya. Seorang knight datang ke barak, mengetuk pintu sambil berseru,

> “Lord Victor memanggil kalian. Bersiaplah!”

Kami pun bergegas mengenakan pakaian resmi dan menuju ruang pertemuan. Ruangan Lord Victor terasa dingin dan tenang. Api di perapian hanya menyala kecil, memantulkan cahaya redup di dinding batu abu-abu. Di hadapan kami, sang Lord berdiri tegap di balik meja besar yang dipenuhi peta dan gulungan laporan.

Begitu kami semua berkumpul, Lord Victor menatap kami satu per satu sebelum membuka suara,

> “Baiklah. Aku memanggil kalian ke sini untuk memberikan rincian misi pertama kalian.”

Suara beratnya menggema di dalam ruangan yang sunyi. Ia bersedekap sejenak, lalu menambahkan,

> “Tapi sebelum aku menjelaskan, apakah ada yang ingin bertanya?”

Zein, dengan tubuh tegapnya, melangkah setengah maju sambil menyilangkan tangan di dada.

> “Lord, kenapa pelatihan kami hanya satu bulan? Bukankah pelatihan normal berlangsung tiga bulan penuh?”

Victor tersenyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh arti.

> “Pertanyaan yang bagus, Zein. Jawabannya akan kalian mengerti… setelah mendengar rincian misi ini.”

Ia melirik ke arahku.

> “Ada lagi?”

Aku maju satu langkah.

> “Bagaimana dengan tugasku, Lord? Bukankah aku seharusnya dikirim ke Stormpeak Isle setelah pelatihan selesai?”

Lord Victor menggeleng pelan.

> “Lupakan itu. Aku telah mengirim surat langsung pada Raja untuk memintamu tetap di sini. Frostmarch membutuhkan orang seperti dirimu.”

Nada suaranya tegas, tidak meninggalkan ruang untuk perdebatan. Aku hanya menunduk singkat dan mengangguk.

Victor menarik napas dalam, lalu membentangkan salah satu peta besar di atas mejanya.

> “Sekarang dengarkan baik-baik. Misi pertama kalian ini bersifat pengintaian.”

Kami semua langsung memperhatikan.

> “Ada sebuah kota di barat, dekat hutan Frostedwood. Kota itu cukup besar, terbagi menjadi dua distrik—kota utama yang masih dihuni, dan kota lama yang telah ditinggalkan puluhan tahun lalu. Namun keduanya masih berada di dalam satu tembok yang sama. Sebuah lingkaran besar yang dibelah oleh dinding pemisah di tengahnya.”

Ia menunjuk lokasi tersebut dengan jarinya, lalu menatap kami kembali.

> “Beberapa minggu lalu, aku menerima laporan tentang aktivitas mencurigakan di distrik mati itu. Salah satu informan-ku melihat beberapa orang bertudung memakai cincin hijau, berbicara dengan seorang knight dari Dornath Crag, yang berasal dari Duskrealm.”

Ruangan seketika menjadi hening.

Cincin hijau. Nama itu saja sudah cukup untuk menimbulkan rasa curiga.

> “Aku mengirimkan lima belas prajurit untuk menyelidiki. Namun, sudah dua minggu berlalu… dan tak satu pun dari mereka kembali.”

Nada Victor berubah tegas dan berat.

> “Tugas kalian sederhana—cari tahu apa yang terjadi, pastikan keadaan di sana, dan segera kembali. Hindari pertarungan apa pun. Ingat itu baik-baik.”

Galland mengangkat tangan perlahan.

> “Maaf, Lord. Tapi… Dornath Crag berada di bawah komando House Morwyne, bukan? Apakah Anda sudah memberi tahu Lord Draco tentang hal ini?”

Victor menatap Galland lama, lalu menggeleng pelan.

> “Tidak. Aku tidak akan membocorkan informasi ini pada siapa pun dari Duskrealm. Aku tidak sepenuhnya mempercayai mereka.”

Nada suaranya menutup ruang diskusi. Tak seorang pun berani menimpali.

Victor menggulung kembali peta di hadapannya, lalu berjalan melewati kami satu per satu.

> “Kalian akan berangkat sebelum matahari tenggelam. Persiapkan diri kalian dengan matang. Temui aku di lapangan satu jam lagi.”

Ia berhenti di ambang pintu, lalu menoleh sekali lagi.

> “Ingat. Ini bukan sekadar ujian. Ini adalah tanggung jawab seorang knight sejati. Laksanakan dengan kehormatan.”

Pintu ruangan tertutup perlahan di belakangnya.

Kami berlima saling berpandangan, diam, tapi tatapan kami berkata lebih banyak daripada kata-kata.

Sesuatu terasa berbeda kali ini—misi pertama ini bukan hanya sekadar ujian.

Ini awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Satu jam kemudian, salju turun lebih deras dari biasanya. Langit memutih, dan suara angin yang menusuk seakan mengiringi langkah kami menuju lapangan utama Citadel.

Di sana, Lord Victor sudah menunggu. Di belakangnya, tampak beberapa prajurit mempersiapkan perlengkapan perjalanan: mantel tebal, ransel, lentera kristal, dan satu gulungan peta yang dibungkus kulit.

> “Kalian datang tepat waktu,” ucap Victor sambil menatap kami satu per satu.

“Ambil perlengkapan kalian. Perjalanan ini akan memakan waktu dua hari penuh melewati rute barat. Gunakan jalan utama hingga mencapai Frostedwood, lalu berbelok ke utara menuju kota itu.”

Ia menepuk pundakku dengan tangan beratnya.

> “James, kau yang akan memimpin kelompok ini.”

Aku menatapnya dengan kaget.

> “Aku, Lord? Tapi—”

> “Kau memiliki insting yang baik, dan kau tahu kapan harus bertarung serta kapan harus mundur. Itu yang dibutuhkan dari seorang pemimpin di misi ini.”

Aku mengangguk mantap. “Baik, Lord.”

Victor melanjutkan dengan suara yang tegas namun dingin,

> “Ingat—ini misi pengintaian, bukan pertempuran. Jangan terlibat konflik dengan siapa pun, terutama dengan para knight dari Dornath Crag. Jika keadaan memaksa, lindungi nyawa kalian lebih dulu.”

Zein mengangguk, sementara Celeste memperbaiki sarung tangannya yang robek. Sandel menepuk-nepuk ranselnya, memastikan perlengkapannya lengkap, dan Galland memeriksa lentera kristal yang tergantung di sabuknya.

Sebelum kami berangkat, Victor berkata satu kalimat terakhir:

> “Kota itu dulu disebut Hollowveil, tapi kini orang-orang mengenalnya sebagai Kota Mati. Jangan sampai kalian menjadi bagian dari kisahnya.”

Suara langkah kami memecah salju saat melewati gerbang Citadel. Dari atas tembok, bendera Frostmarch berkibar di antara kabut putih.

Langit kelabu, dan angin utara bertiup kencang.

---

Kami berjalan dalam diam. Suara rantai armor berpadu dengan desir angin. Jalur utama ke barat terbentang panjang, menyusuri tebing es dan hutan cemara beku.

Sandel membuka percakapan pertama, suaranya serak menembus dingin,

> “Kota mati, huh? Kedengarannya... bukan tempat yang ingin kudatangi untuk misi pertama.”

Galland menimpali dengan nada gugup,

> “Ya... dan kalau benar ada knight dari Duskrealm di sana, berarti ada sesuatu yang besar terjadi. Dornath Crag bukan keluarga sembarangan.”

Celeste yang berjalan di depan hanya menatap lurus ke depan.

> “Berhenti khawatir. Selama kita bersama, kita akan baik-baik saja.”

Aku menoleh ke arah mereka,

> “Fokus pada langkah kalian. Kita akan istirahat di tepi hutan saat matahari turun. Setelah itu, kita lanjutkan perjalanan esok pagi.”

Zein tersenyum samar,

> “Akhirnya suara seorang pemimpin.”

Aku hanya mengangguk kecil, menahan tawa. “Jangan terlalu banyak bicara, Zein. Energi kita akan dibutuhkan nanti.”

---

Ketika malam tiba, kami mendirikan kemah di bawah tebing kecil yang menahan sebagian besar terpaan angin. Api unggun menyala redup, menari di atas salju, dan menciptakan bayangan samar di wajah kami.

Celeste duduk diam menatap api, sementara Sandel memeriksa kapaknya, membersihkan ujungnya dengan kain.

Galland berbicara pelan,

> “Kau pikir... pasukan yang dikirim Lord Victor masih hidup?”

Zein mengangkat bahu.

> “Kalau mereka orang Frostmarch, mereka tidak menyerah semudah itu. Tapi jika benar ada sesuatu di kota itu… mungkin bukan musuh biasa.”

Aku menatap api unggun yang bergoyang.

Bayangan oranye menari di mataku, tapi pikiranku jauh lebih dingin dari udara malam itu.

Ada perasaan aneh—seperti mata tak terlihat sedang mengamati kami dari balik kabut Frostedwood.

Malam itu, tak seorang pun tidur dengan tenang.

---

Keesokan paginya, kabut tebal menyelimuti seluruh hutan. Pepohonan tinggi tampak seperti siluet raksasa yang terdiam. Setiap langkah menimbulkan suara renyah di atas salju beku.

> “Kita sudah mendekati Frostedwood,” ucapku pelan.

“Kota itu hanya sekitar satu jam lagi dari sini.”

Namun seiring kami melangkah lebih dalam, hutan menjadi semakin sunyi.

Tak ada suara burung, tak ada hembusan daun—hanya desiran angin yang membawa hawa kematian.

Tiba-tiba Zein berhenti dan menatap tanah.

> “Lihat ini... jejak kaki. Banyak. Tapi... sebagian menyeret, bukan berjalan.”

Kami semua mendekat. Jejak itu mengarah ke barat, menuju arah kota mati. Sebagian tertutup salju, tapi bentuknya masih jelas—lima belas pasang, mungkin lebih.

Celeste menatapku dengan sorot serius.

> “Kau pikir ini... mereka?”

Aku menarik napas panjang.

> “Entahlah. Tapi kita harus tetap maju.”

Kami melanjutkan langkah.

Dan tak lama kemudian, di balik kabut yang menggulung perlahan, siluet dinding besar mulai terlihat.

Retak, diselimuti es, dan sunyi seperti makam raksasa.

Kota Hollowveil.

Gerbangnya terbuka, menunggu kami masuk.

Kami memasuki District Selatan, pusat kota yang hidup dan ramai. Jalanan dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang, pedagang berteriak menawarkan barang, anak-anak berlari sambil tertawa, dan aroma roti panggang bercampur dengan suara derap roda gerobak.

Sulit percaya bahwa di balik tembok besar yang menjulang di utara, ada distrik lain — kota mati yang sudah ditinggalkan warganya. Dua dunia yang terpisah, namun berdiri di bawah tembok yang sama.

Untuk masuk ke distrik itu, kami memerlukan izin dari walikota setempat.

Aku segera bertanya pada warga sekitar, dan seorang wanita tua menunjuk sebuah rumah besar di ujung jalan, dengan atap melengkung dan ukiran burung di gerbangnya.

Kami berjalan menembus keramaian hingga tiba di depan pintu kayu tinggi. Aku mengangkat tangan dan mengetuk perlahan.

Tok... tok... tok...

Langkah kaki terdengar dari dalam, makin lama makin dekat, hingga pintu berderit terbuka.

Seorang pria tua muncul, bertubuh pendek dengan kumis tebal dan topi berbentuk lonceng yang tampak... aneh.

> “Halo, Tuan-tuan. Ada yang bisa kubantu?” ucapnya dengan suara ramah.

> “Kami mencari Walikota Gilbert,” jawabku.

Pria itu tersenyum kecil.

> “Kau sedang melihatnya.”

Aku sempat terdiam. Tidak menyangka, pria berpenampilan nyentrik di depanku ini adalah walikota dari kota sebesar ini.

Aku menyerahkan surat bersigil House Draemir.

> “Lord Victor mengirim kami ke sini. Kami memerlukan izin untuk memasuki distrik utara.”

Gilbert menatap surat itu sekilas, lalu mengangguk mantap tanpa ragu sedikit pun.

> “Ohh, Lord Victor. Baiklah, kalian boleh masuk. Tunjukkan ini pada penjaga di gerbang.”

Ia merogoh sakunya, lalu menyerahkan sebuah koin perak bergambar topi lonceng. Permukaannya dingin dan berat di tanganku.

> “Terima kasih, Tuan Walikota,” ucapku, sedikit terkejut karena izin itu didapat semudah ini.

> “Hati-hati di sana,” katanya pelan, suaranya sedikit berubah. “Kota itu... sudah lama tak disinggahi cahaya.”

Aku menatapnya sejenak, tapi sebelum sempat bertanya, ia sudah menutup pintunya perlahan.

Kami pun berjalan menuju pusat kota, ke arah tembok besar yang membelah distrik ini menjadi dua. Bayangannya menjulur panjang di antara rumah-rumah, seperti garis batas antara kehidupan dan kematian.

Sambil berjalan, aku mulai menyusun rencana.

> “Baiklah,” ucapku pelan, “kota itu cukup luas. Akan memakan waktu lama jika kita menelusurinya bersama. Jadi bagaimana kalau kita berpencar?”

> “Ide bagus,” sahut Galland. “Aku dan Celeste akan menyusuri tembok dari atas. Dari sana kami bisa melihat lebih jauh.”

Celeste hanya mengangguk setuju tanpa berkata apa pun, seperti biasa — tenang tapi tajam.

Aku menoleh pada dua lainnya.

> “Zein, Sandel, kalian masing-masing ambil arah berlawanan. Aku akan maju lurus dari gerbang utama.”

> “Berpencar di tempat asing? Kedengarannya berisiko,” gumam Sandel, menatapku ragu.

> “Kita tidak datang untuk bertarung,” jawabku. “Misi ini pengintaian. Tetap tersembunyi, hindari konflik. Kita tidak tahu apa yang menunggu di sana.”

Zein hanya tersenyum dan menepuk bahuku.

> “Santai saja. Kita sudah melewati latihan Victor, kan?”

Aku tidak menjawab, hanya menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa, firasatku berkata ini bukan misi pengintaian biasa.

Sesampainya di gerbang, aku menyerahkan koin perak itu. Penjaga menatapnya, lalu menunduk hormat dan memutar roda besi besar di samping dinding.

Krekkk...

Gerbang baja perlahan terbuka, suaranya menggema di antara dinding batu. Angin dingin menerpa wajah kami — bau lembab dan tanah tua menyusup tajam di udara.

Dari celah pintu, terlihat bayangan kota yang sunyi, tertutup kabut tipis.

Celeste dan Galland langsung menaiki tangga menuju atas tembok, sementara aku, Zein, dan Sandel melangkah ke dalam, lalu berpencar sesuai arah masing-masing.

Misi pertama kami pun dimulai.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!