Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kaca besar ruang makan, memantulkan kilau hangat di meja panjang berlapis marmer. Aroma teh melati dan roti panggang menguar lembut di udara, berpadu dengan keheningan khas pagi di mansion Dragunov.
Elira duduk di kursi ujung meja, elegan dengan gaun wol abu-abu muda dan selendang renda yang menutupi bahunya. Di depannya, Apollo membaca berkas di tablet hitamnya, bahkan sebelum sarapan dimulai. Sementara Lyora duduk di seberang, menatap secangkir teh di tangannya tanpa banyak bicara.
Elira menatap keduanya bergantian, lalu tersenyum, senyum yang menyimpan rencana.
“Jadi, aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian,” ujarnya dengan nada ringan, tapi berwibawa.
Lyora mengangkat wajahnya pelan. “Sesuatu?”
“Bulan madu.” Elira meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap Apollo langsung. “Ke pegunungan Norvegia. Vila keluarga masih kosong, dan udaranya akan sangat segar di musim ini.”
Lyora tersentak kecil, sementara Apollo sama sekali tidak mengangkat kepala.
“Aku menolak,” ucapnya datar.
Elira mengerutkan kening. “Menolak?”
“Aku punya agenda. Ada pertemuan dengan dewan direksi. Aku tidak bisa meninggalkan kantor.”
Nada suaranya tegas, tapi dingin. Tidak ada ruang untuk perdebatan.Lyora diam, menatap sendok di tangannya, tak berani mencampuri percakapan dua generasi Dragunov itu.
Namun Elira belum menyerah. “Apollo,” panggilnya lembut tapi tajam, “pernikahanmu bahkan belum satu hari, dan kau sudah bicara soal rapat ?. Kapan terakhir kali kau beristirahat dengan benar?”
“Aku tidak butuh istirahat,” jawab Apollo, kali ini sambil menutup tabletnya perlahan. “Yang kubutuhkan adalah kestabilan. Dan aku tidak akan menemukannya di tempat asing hanya demi... tradisi bulan madu.”
Elira menatap cucunya lama, napasnya tertahan. Sementara Lyora mencoba mencairkan suasana. “Tidak apa,Nenek. Mungkin... kita bisa menundanya sampai waktunya tepat.”
Suara Lyora lembut, tapi di balik ketenangan itu ada rasa kecewa yang samar.Apollo menatap sekilas ke arahnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya lirikan dingin, seperti mencoba membaca sesuatu dari wajah Lyora.
Elira akhirnya menghela napas panjang, lalu berdiri perlahan dari kursinya. “Baiklah. Jika itu keputusanmu, aku tidak akan memaksa.”
Sebelum pergi, ia sempat menatap Lyora dengan tatapan lembut, seolah berkata tanpa suara: bersabarlah.
Dan ketika langkah Elira menghilang di balik koridor, keheningan kembali menyelimuti ruang makan.Hanya terdengar suara jam antik berdetak di dinding.
Apollo berdiri, mengambil jasnya dari sandaran kursi.
“Aku akan ke kantor.”
Lyora mendongak, menatapnya sebentar. “Kau bahkan belum makan.”
“Aku tidak lapar.”
...Dia berbalik tanpa menatap lagi, meninggal kan Lyora sendiri di meja makan yang kini sunyi....
...****************...
Mobil hitam berhenti di depan gedung kaca yang berdiri megah di tengah distrik bisnis. Embun pagi masih melekat di jendela, membias cahaya mentari menjadi kilau perak yang menusuk mata.
Logo Dragunov Corporations terpampang di dinding granit, tegak dan tak tersentuh, seperti reputasi keluarga itu sendiri.
Apollo keluar dari mobil tanpa sepatah kata. Mantelnya jatuh sempurna di bahu, gerakan nya tegas namun terukur. Beberapa staf yang lewat segera menundukkan kepala, memberi salam sopan. Tidak ada yang berani menatap matanya lebih dari satu detik.
Di lobi, Eliot sudah menunggu, berdiri dengan tablet digital di tangan dan wajah profesional.
“Selamat pagi, Bos .”
Apollo hanya membalas dengan anggukan kecil.
“Ruang kerja mu sudah disiapkan. Laporan audit dan berkas pertemuan dewan ada di meja.”
“Baik.” ucap Apollo singkat.
Langkah mereka berdua menggema di koridor panjang yang dikelilingi dinding kaca. Di balik kaca, langit kota masih kelabu. Eliot berjalan setengah langkah di belakangnya
, memperhatikan bahu tegap tuannya yang tampak sedikit lebih berat pagi ini. Seolah ada sesuatu yang membebani, tapi terlalu rapi disembunyikan di balik ketenangan yang kaku.
Begitu mereka sampai di lantai tertinggi, pintu lift terbuka langsung ke ruang kerja pribadi Apollo
Ruang kerja Apollo di lantai tertinggi gedung Dragunov Corporation selalu tampak seperti dunia lain , dingin, steril, dan sunyi. Dinding kaca setinggi langit-langit menampilkan panorama kota yang tertutup kabut musim dingin.
Cahaya matahari memantul di permukaan meja hitam mengilap yang dipenuhi dokumen, laporan keuangan, dan dua gelas espresso yang sudah lama dingin.
Apollo duduk di kursi kulit hitam, satu tangan menopang dagu, satu lagi menggulir layar laptop tanpa benar-benar membaca. Pandangannya kosong , seolah angka-angka di layar hanya deretan huruf mati.
Eliot berdiri beberapa meter darinya, menunggu aba-aba untuk bicara. Tapi setelah hampir dua menit tanpa suara, ia akhirnya memberanikan diri.
“Bos... Dewan menanyakan rencana tindak lanjut pasca merger. Mereka bilang perlu tanda tangan mu hari ini.”
Apollo menutup laptopnya pelan. Tatapannya naik, dingin dan terukur.
“Suruh mereka menunggu.”
“Tapi—”
“Suruh. Menunggu.”
Nada suaranya cukup untuk membuat Eliot menunduk, lalu mundur perlahan. Hening kembali menguasai ruangan.
Apollo menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya kacau. Entah kenapa, setiap kali ia mencoba fokus pada pekerjaan, bayangan wajah Lyora muncul , senyum tipisnya saat berkata
‘Seratus tahun pun aku tak masalah jika itu menjagamu dari luka.’
Kalimat itu terngiang terus. Menyusup di antara suara detik jam dan dengungan mesin pendingin.
Ia mengembuskan napas keras, menekan pelipisnya. Kenapa dia mengatakan hal seperti itu?
Apakah dia benar-benar tulus, atau hanya memainkan perannya lagi, seperti malam sebelumnya, seperti senyum lembut yang menutupi rahasia?
Apollo bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela. Dari sana, ia bisa melihat bayangan dirinya di kaca , mata yang memancarkan letih dan sesuatu yang tidak ingin ia akui: keraguan.
“Cinta…” gumamnya pelan, hampir seperti hinaan. “Hal paling bodoh yang pernah diciptakan manusia.”
Tangannya terangkat, menekan kaca dingin itu. Bayangan dirinya tampak terbelah oleh cahaya matahari pagi , separuh dalam terang, separuh tenggelam dalam bayangan.
Tiba-tiba, pintu diketuk dua kali.
“Masuk,” katanya tanpa berbalik.
Eliot masuk, membawa berkas lain. Tapi kali ini ia tampak ragu, seperti menimbang sesuatu.
“Ada satu hal lagi, Bos,” ucapnya. “Nyonya Lyora… mengirimkan makan siang untuk Anda.”
Apollo menoleh perlahan.
“Makan siang?”
“Iya. Dikirim lewat staf pantry. Katanya, ‘sup jahe hangat, untuk yang selalu lupa waktu.’”
Hening.
Beberapa detik berlalu sebelum Apollo melangkah ke meja, menatap kotak makan yang baru saja diletakkan di sana , sederhana, tapi aromanya lembut dan familiar.
“Buang saja.”
“Tapi—”
“Buang, Eliot.”
Eliot menghela napas pelan, menatap majikan nya yang kini kembali menatap ke luar jendela, seolah dunia di luar sana lebih mudah dihadapi daripada seseorang yang berani menembus dinding hatinya.
Dan saat Eliot keluar, meninggalkan ruangan itu dalam kesunyian, Apollo akhirnya menunduk… menatap bekas uap hangat di meja kaca yang perlahan memudar.
Seperti rasa yang mungkin pernah tumbuh, tapi terlalu cepat dibunuh sebelum sempat bernapas.
Beberapa jam berlalu.
Langit di luar jendela kantor mulai berubah warna , dari biru pucat menjadi keemasan, lalu jingga tua yang perlahan ditelan kelabu senja.
Apollo masih di tempat yang sama, memandangi horizon dengan pandangan kosong. Tangannya menggenggam pena, tapi lembar kontrak di depannya tetap kosong tanpa tanda tangan.
Ketika pintu kembali diketuk, kali ini yang masuk bukan Eliot. Seorang staf wanita dari resepsionis membawa sesuatu di tangannya. amplop hitam dengan segel lilin perak berbentuk rubah.
“Surat ini baru saja dikirim ke meja depan, Tuan,” ucapnya sopan.
Apollo menatap amplop itu, alisnya berkerut. “Dari siapa?”
“Tidak disebutkan nama pengirim, tapi kurirnya bilang… ini untuk sang pembenci cinta.”
Staf itu undur diri, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi. Apollo menatap segel perak itu lama, sebelum akhirnya membuka amplop tersebut. Di dalamnya hanya ada satu lembar foto dan secarik kertas dengan tulisan tangan yang rapi namun dingin.
‘Jika luka tak pernah sembuh, mungkin karena yang terluka tak benar-benar ingin disembuhkan.’
— R.
Foto itu jatuh ke meja. Itu potret dirinya, bertahun-tahun lalu… berdiri di sebuah tebing bersalju dengan seorang wanita yang wajahnya kini buram, tapi masih bisa dikenali dari bentuk tubuh dan kalung di lehernya.
Apollo membeku. Nafasnya tercekat. Rahang nya mengeras, matanya menajam.
“Tch…”
Ia melempar foto itu ke meja, namun pandangannya tak bisa lepas darinya.
"R"
Huruf itu bergema di kepalanya. Sebuah nama yang pernah ia kubur dalam-dalam. Seseorang yang seharusnya sudah mati di hatinya sendiri.