Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Uap putih masih memenuhi udara kamar itu.
Dari balik pintu kamar mandi yang setengah terbuka, samar-samar terdengar suara gemericik air yang baru saja berhenti.
Suara senandung lirih, nyaris seperti bisikan, melayang bersama aroma sabun mawar dan bunga Chamomile yang lembut.Apollo berdiri di dekat jendela besar yang sebagian tirainya terbuka.
Cahaya bulan masuk, menyapu wajahnya yang dingin, memantulkan sorot mata yang kelam, tajam, tapi entah kenapa tampak lelah.Pintu kamar mandi berderit pelan.Lyora keluar, melangkah tanpa alas kaki di atas karpet lembut.
Rambutnya masih basah, sisa hair spray pernikahan masih terlihat dalam bentuk ikal yang kaku di ujungnya. Ia memegang handuk kecil, mengeringkan rambutnya perlahan, gerakannya tenang tapi matanya tampak sayu.
Apollo memutar tubuh, menatapnya lama tanpa bicara.Tatapan itu bukan tatapan suami yang baru menikah, melainkan tatapan seseorang yang berusaha menebak siapa sosok di depannya.“Jadi ini,” ucapnya akhir nya, suaranya dalam, sedikit serak, “kau menikmati permainanmu?”
Lyora menghentikan langkahnya.Ia menatap Apollo, tidak membantah, hanya menatap dengan pandangan yang sulit diterjemah kan“Permainan apa?” jawabnya pelan. “Aku hanya mandi. Dan pengatur suhu airnya rusak. Air yang keluar terlalu dingin.”
Apollo berjalan mendekat, berhenti beberapa langkah di hadapannya.Ia menatap handuk di tangan Lyora, lalu menatap wajahnya yang sebagian tertutup rambut basah. “Kau memencet yang biru. Bukan yang merah.”
Lyora mengangkat kepalanya sedikit, tersen yum samar, senyum yang tidak sepenuhnya tulus, lebih seperti refleks seseorang yang sudah terlalu sering menutupi luka dengan tawa. “Salah,” katanya dengan nada tenang. “Aku memencet yang oranye.”
Keheningan menggantung di udara.Uap di ruangan mulai menipis, tapi hawa dingin justru terasa lebih menusuk.Tetes-tetes air jatuh dari rambut Lyora, satu per satu, menodai karpet di bawah kakinya.
Apollo menarik napas panjang, kemudian menatap keluar jendela, ke arah halaman yang tertutup salju.“Kau benar-benar menikmati membuatku bingung,” ujarnya setengah berbisik
Lyora menunduk, mengusap sisa air di ujung rambutnya.“Tidak. Aku hanya tidak ingin membeku,” balasnya lembut. “Dan air oranye itu, setidaknya, memberi sedikit hangat walau sebentar.”Apollo menatapnya lagi, kali ini lebih dalam.
Ada sesuatu di matanya, campuran getir, rindu, dan keengganan untuk percaya.Ia ingin bertanya: siapa kau sebenarnya ?.
Apakah kau benar-benar Lyora, atau sosok lain yang memakai wajahnya?
Tapi bibirnya tak sanggup bergerak.Yang keluar hanya kalimat singkat, hampir tak terdengar: “Kalau begitu… tetaplah hangat, Lyora.”
Lyora tersenyum kecil. Tatapannya beralih pada pantulan dirinya di cermin besar di sudut ruangan.“Hangat itu hanya ilusi, Apollo,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri. “Bahkan air hangat pun bisa berubah jadi dingin kalau terlalu lama dibiarkan.”
Apollo tidak menanggapi. Hanya menghela napas panjang yang terdengar berat, seperti keluar dari dada yang menahan terlalu banyak hal yang tak semestinya disimpan.
Suara gesekan ringan terdengar ketika ia mengambil mantel hitam yang tergantung di kursi dekat meja kerja. Jemarinya sempat berhenti di sana, menggenggam kain itu terlalu erat sejenak, lalu melepaskannya.
Langkahnya pelan tapi tegas, menyusuri ruangan yang masih dipenuhi sisa uap. Setiap langkah meninggalkan bunyi lembut di karpet, beradu dengan detak jam dinding yang terdengar jelas di antara keheningan.
Ia berjalan melewati meja rias, melewati aroma sabun dan lilin chamomile yang belum sepenuhnya padam.Tangannya sempat berhenti di gagang pintu, tapi tidak berbalik.
“Tidurlah,” ucapnya datar. “Malam ini terlalu panjang untuk dihabiskan dengan kebohongan.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan keluar.Udara dingin dari koridor langsung menyusup masuk, membuat tirai tipis di dekat jendela bergetar lembut.
Pintu tertutup perlahan, menyisakan Lyora sendirian dalam kamar yang mulai kehilangan uap hangatnya.Ia menatap bayangan Apollo yang lenyap di balik pintu ,lalu menunduk, menggenggam handuknya lebih erat.
Dari cermin, pantulan dirinya tampak asing.
Rambut basah, mata sayu, bibir pucat.
Wanita itu bukan lagi pengantin yang baru saja menikah.Lyora menarik napas, lalu berbisik lirih, entah untuk siapa. “Dan dingin itu… selalu datang setelah kepergianmu.”
...****************...
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kaca besar ruang makan, memantulkan kilau hangat di meja panjang berlapis marmer. Aroma teh melati dan roti panggang menguar lembut di udara, berpadu dengan keheningan khas pagi di mansion Dragunov.
Elira duduk di kursi ujung meja, elegan dengan gaun wol abu-abu muda dan selendang renda yang menutupi bahunya. Di depannya, Apollo membaca berkas di tablet hitamnya, bahkan sebelum sarapan dimulai. Sementara Lyora duduk di seberang, menatap secangkir teh di tangannya tanpa banyak bicara.
Elira menatap keduanya bergantian, lalu tersenyum, senyum yang menyimpan rencana. “Jadi, aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kalian,” ujarnya dengan nada ringan, tapi berwibawa.
Lyora mengangkat wajahnya pelan. “Sesuatu?”
“Bulan madu.” Elira meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap Apollo langsung. “Ke pegunungan Norvegia. Vila keluarga masih kosong, dan udaranya akan sangat segar di musim ini.”
Lyora tersentak kecil, sementara Apollo sama sekali tidak mengangkat kepala. “Aku menolak,” ucapnya datar.
Elira mengerutkan kening. “Menolak?”
“Aku punya agenda. Ada pertemuan dengan dewan direksi. Aku tidak bisa meninggalkan kantor.” Nada suaranya tegas, tapi dingin. Tidak ada ruang untuk perdebatan.Lyora diam, menatap sendok di tangannya, tak berani mencampuri percakapan dua generasi Dragunov itu.
Namun Elira belum menyerah. “Axel,” panggilnya lembut tapi tajam, “pernikahanmu bahkan belum satu hari, dan kau sudah bicara soal rapat ?. Kapan terakhir kali kau beristirahat dengan benar?”
“Aku tidak butuh istirahat,” jawab Apollo, kali ini sambil menutup tabletnya perlahan. “Yang kubutuhkan adalah kestabilan. Dan aku tidak akan menemukannya di tempat asing hanya demi... tradisi bulan madu.”
Elira menatap cucunya lama, napasnya tertahan. Sementara Lyora mencoba mencairkan suasana. “Tidak apa,Nenek. Mungkin... kita bisa menundanya sampai waktunya tepat.”
Suara Lyora lembut, tapi di balik ketenangan itu ada rasa kecewa yang samar.Apollo menatap sekilas ke arahnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya lirikan dingin, seperti mencoba membaca sesuatu dari wajah Lyora.
Elira akhirnya menghela napas panjang, lalu berdiri perlahan dari kursinya. “Baiklah. Jika itu keputusanmu, aku tidak akan memaksa.”
Sebelum pergi, ia sempat menatap Lyora dengan tatapan lembut, seolah berkata tanpa suara: bersabarlah.
Dan ketika langkah Elira menghilang di balik koridor, keheningan kembali menyelimuti ruang makan.Hanya terdengar suara jam antik berdetak di dinding. Apollo berdiri, mengambil jasnya dari sandaran kursi.
“Aku akan ke kantor.”
Lyora mendongak, menatapnya sebentar. “Kau bahkan belum makan.”
“Aku tidak lapar.” Dia berbalik tanpa menatap lagi, meninggal kan Lyora sendiri di meja makan yang kini sunyi. ****************
‘
eh ko gue apal ya 😭