Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta dan dusta
Napas Arjuna tercekat sesaat. Dia menatap bibir kering Naya yang sedikit terbuka karena bingung, lalu beralih menatap sendok di tangannya.
"Mulutmu," desisnya. Rasa canggung yang luar biasa membuat suaranya terdengar lebih kesal dari yang dia maksud. "Buka mulutmu, Kanaya!"
Kanaya masih menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Apa dia sedang berhalusinasi karena demam? Pria yang tadi membentaknya, kini menyodorkan sendok berisi bubur?
Melihat Naya yang hanya diam melongo, kesabaran Arjuna habis. "Cepat, sebelum buburnya dingin dan aku berubah pikiran. Aku tidak punya waktu untuk ini."
Perintah itu, meski diucapkan dengan nada ketus, akhirnya membuat Naya tersadar. Perlahan, dengan sangat ragu, dia membuka mulutnya.
Arjuna segera menyuapkan bubur itu, gerakannya kaku dan cepat, seolah sedang menyentuh sesuatu yang panas. Dia segera menarik sendok itu kembali.
Kanaya menelan. Bubur itu sendiri terasa hambar di lidahnya yang sakit, tapi ada kehangatan lain yang menjalar langsung ke relung hatinya, membuat matanya terasa perih.
Arjuna menyendok lagi, kali ini dia meniupnya sedikit lebih lama, mati-matian menghindari tatapan mata Kanaya yang terasa aneh. Dia merasa perempuan itu sedang mengamatinya lekat-lekat, dan itu membuatnya semakin salah tingkah.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Makan saja," gerutunya.
"Terima kasih, Mas," bisik Naya, suaranya serak.
Arjuna tidak menjawab. Dia terus menyuapi Naya dalam keheningan yang kaku. Di dalam hatinya, Naya merasakan sesuatu yang baru saja mekar. Pria ini, suaminya, yang selalu bersikap dingin dan mengabaikannya, kini ada di depan matanya, untuk merawatnya.
Semua perlakuannya barusan—menggendongnya ke kamar saat dia pingsan, bahkan... mengganti pakaian kerjanya yang basah kuyup dengan kaus miliknya (Naya baru menyadari ini sekarang), dan kini menyuapinya—di mata Naya, itu adalah bukti.
'Dia pasti peduli padaku,' batin Naya, hatinya berdebar penuh harap. 'Dia mungkin... dia mungkin benar-benar mencintaiku, hanya saja dia tidak tahu cara menunjukkannya.'
Naya tidak tahu, bahwa bagi Arjuna, dia hanyalah sebatas barang taruhan.
Setelah mangkuk itu nyaris kosong, Arjuna meletakkannya kembali di nampan dengan bunyi yang cukup keras. Dia menyodorkan segelas air dan obat penurun demam. "Minum."
Naya menurut tanpa suara. Setelah obat itu tertelan, Arjuna segera menyambar nampan itu, seolah ingin lekas-lekas mengakhiri interaksi mereka.
"Besok kamu tidak usah kerja," katanya datar, sambil berdiri dan berjalan menuju pintu.
Naya, yang baru saja merasa nyaman, langsung panik. "Tapi, Mas! Pekerjaan saya... Saya tidak bisa seenaknya tidak masuk. Saya..."
"Aku sudah kirim surel ke atasanmu," potong Arjuna, berhenti sejenak di ambang pintu. "Izin sakit."
Mata Naya terbelalak. "Mas... tahu atasan saya?"
"Aku tahu segalanya tentang data dirimu, Kanaya," jawab Arjuna dingin. "Jangan membantah. Kamu sakit dan kamu sudah merepotkan. Jadi, tetap di rumah dan jangan menambah masalah."
Perkataan Arjuna terasa menusuk, tapi Naya memilih untuk mengabaikan nada bicaranya. Dia lebih fokus pada tindakannya. Dia sudah mengurus semuanya. Naya hanya bisa mengangguk pasrah, hatinya semakin yakin bahwa pria itu diam-diam melindunginya.
"Sekarang tidur," perintah Arjuna sebelum keluar kamar, menutup pintu di belakangnya.
Satu jam kemudian, setelah membersihkan diri—mandi air hangat untuk menjernihkan kepalanya yang kacau—Arjuna kembali ke kamar. Naya sudah terlelap lagi, mungkin karena efek obat. Kamar itu kembali gelap dan sunyi.
Arjuna berdiri kaku di samping ranjang. Tidur di sofa? Tidak. Ini kamarnya. Ini ranjangnya. Kenapa dia yang harus terusir?
Dengan gerak-gerik yang kaku, dia naik ke sisi ranjang yang lain, berbaring sejauh mungkin dari Kanaya, memunggungi wanita itu.
Tapi rasa kantuk tidak kunjung datang.
Dia sangat sadar akan kehadiran Naya di sebelahnya. Dia bisa merasakan panas tubuh wanita itu. Pikirannya, yang tadi berhasil dia tekan, kini kembali liar. Dia teringat lagi momen saat dia mengganti pakaian perempuan itu tadi. Teringat bagaimana jari-jarinya kaku membuka kancing seragam Naya. Teringat bagaimana kulit mulus itu terasa di bawah jemarinya. Teringat lekuk pinggulnya, dan bagaimana matanya terpaku pada...
Arjuna mengumpat dalam hati, membalikkan badan dengan kasar.
Sial! pikirnya, marah pada dirinya sendiri. Istriku sedang sakit dan aku malah berpikir mesum. Sadar, Arjuna! Dia memejamkan mata paksa, berusaha mengusir bayangan itu dan fokus pada amarahnya terhadap ibunya, Ratih.
Keesokan paginya, Arjuna terbangun oleh getar alarm ponselnya. Dia membuka mata dan merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang hangat dan lembut menempel di dadanya, dan sebuah tangan melingkar di perutnya.
Dia menoleh sedikit dan mendapati dirinya tengah tidur sambil memeluk Naya.
Entah bagaimana caranya, dalam tidur mereka, Naya telah bergeser, mencari kehangatan, dan kini tidur dalam dekapannya. Tangan Arjuna sendiri, secara refleks, melingkar posesif di pinggang wanita itu.
Insting pertama Arjuna adalah mendorongnya. Melepaskan diri. Seperti yang biasa dia lakukan.
Tapi kali ini, dia tidak melakukannya.
Dia hanya bisa diam. Dia menyentuh dahi Naya dengan punggung tangannya. Hangat, tapi demamnya jelas sudah turun drastis. Napas wanita itu sudah teratur dan tenang.
Wajahnya yang damai terlihat begitu polos.
Tidak seperti awal pernikahan mereka, kali ini ia tidak berniat untuk mendorong Kanaya lagi. Justru, ia menikmati pelukan itu.
Arjuna membiarkan dirinya seperti itu, hanya untuk beberapa saat. Satu menit. Dua menit. Selama lima menit, dia memejamkan mata, memeluk Kanaya kembali sedikit lebih erat.
Lalu alarmnya berbunyi lagi—penanda waktu tunda—memecah keheningan.
Kenyataan menghantamnya. Ia tersenyum harus pergi ke kantor untuk menemui teman-teman taruhannya.
Dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, Arjuna melepaskan pelukannya dan bangkit dari tempat tidur. Dia langsung mandi. Dia harus menyiapkan sarapan sebelum kerja, dan juga menyiapkan sarapan untuk istrinya agar segera minum obat kembali.
Tanpa membangunkan Kanaya, Arjuna langsung pergi ke dapur. Dia membuat roti panggang sederhana dan segelas susu hangat, meletakkannya di nampan bersama obat Naya.
Dia membawa nampan itu ke kamar, meletakkannya di meja nakas. Dia mengambil secarik sticky note dari tas kerjanya dan menulis pesan singkat, lebih mirip perintah militer:
"Makan. Minum obat. Jangan keluar kamar."
Tanpa menoleh lagi pada Naya yang masih tertidur pulas, Arjuna menyambar tas kerjanya dan pergi ke kantor.
Beberapa menit kemudian setelah Arjuna pergi, Naya terbangun. Dia mengerjapkan matanya, merasa tubuhnya sudah jauh lebih baik. Pusingnya hilang, dan tubuhnya tidak lagi pegal-pegal.
Dia tersenyum hangat saat melihat nampan di sampingnya. Roti panggang, susu, obat, dan secarik kertas kuning.
Naya mengambil catatan itu. Tiga frasa perintah yang singkat dan kaku.
Tapi di mata Naya, itu adalah surat cinta terindah.
Dia merawatku, pikir Naya, hatinya membuncah. Dia tidak lupa membuatkanku sarapan dan menyiapkan obat sebelum pergi.
Tanpa pikir panjang, dia langsung menghabiskan semuanya. Roti panggang itu terasa seperti makanan terenak yang pernah ia makan. Apalagi itu adalah bentuk perhatian dari Arjuna. Hatinya membuncah oleh harapan yang naif, yakin bahwa suaminya telah berubah dan pernikahan mereka masih punya harapan.
Tanpa Naya ketahui, di saat yang bersamaan, Arjuna sedang duduk di ruang rapat pribadinya, dikelilingi kepulan asap rokok. Di depannya, dua sahabatnya—Bram dan Fero—sedang tertawa mengejek.
"Jadi, ini perempuan yang membuat Arjuna si 'Penakluk' terikat?" tawa Bram, menunjuk foto Naya di ponsel Fero—foto dari pernikahan mereka.
"Pernikahanmu benar-benar malang, Jun," timpal Fero, nadanya pura-pura bersimpati. "Aku tidak menyangka kau lebih memilih menikah dengan office girl rendahan macam dia daripada kalah taruhan."
Wajah Arjuna mengeras. Gengsinya terusik.
"Ayolah, Bro," kata Bram lagi, menyeringai. "Taruhan kita masih berjalan. Sudah dua minggu. Apa kau sudah berhasil... 'menyentuhnya'? Atau kau menyerah dan mobil sport barumu itu resmi jadi milikku?"
Arjuna menatap dingin teman-temannya. Bayangan pagi tadi, saat dia memeluk Naya, melintas sekilas di benaknya. Rasa nyaman yang aneh itu.
Dia segera menepisnya.
"Kalian tidak perlu khawatir," kata Arjuna, suaranya sedingin es. "Permainan ini masih aku yang kendalikan."
Dia mengambil cangkir kopinya, menatap kedua temannya dengan tatapan meremehkan.
"Aku akan menceraikan istriku itu," katanya, setiap katanya penuh penekanan. "Tepat setelah taruhan ini selesai. Dan pastikan, kalian berdua siap kehilangan uang kalian."
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin