Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 8 Ingin pergi
Setelah berkeliling taman, dan dirasa sudah cukup, Vikto mengajak Adinda kembali ke rumah.
“Kalian dari mana pagi-pagi begini?” tanya Nyonya Wirna, suaranya dingin, namun cukup keras untuk membuat Mbak Tia yang sedang membantu asisten rumah untuk menyiapkan sarapan pagi, pun langsung enyah dari ruang makan. Takut, kalau-kalau Adinda kenapa-kenapa.
Vikto menegakkan tubuhnya. “Kami cuma ke taman, Ma. Sekadar cari udara segar.”
“Ke taman?” Nada suara Nyonya Wirna meninggi sedikit. “Dengan perempuan ini?”
Tatapannya menelusuri tubuh Adinda dari kepala sampai kaki, seolah ingin mengoreksi setiap kesalahan yang tak pernah ada.
Adinda langsung menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan.
“Saya yang minta, Tante,” katanya pelan, berusaha sopan. “Saya cuma butuh udara segar—”
“Tidak usah banyak alasan!” potong Nyonya Wirna tajam. “Kamu pikir kamu siapa, bisa seenaknya keluar masuk rumah ini, jalan berduaan dengan anak saya seolah kalian itu—”
“Cukup, Ma!” potong Vikto cepat, nadanya berat menahan emosi. “Jangan bicara seperti itu di depan Dinda.”
“Kenapa? Karena kamu sudah jatuh kasihan padanya?” sindir Nyonya Wirna dengan nada tinggi. “Vikto, Mama sudah melarang kamu bawa dia ke rumah ini, tapi kalau kamu mulai kehilangan akal sehatmu, Mama tidak akan tinggal diam!”
“Mama gak tahu apa-apa tentang Adinda,” balas Vikto dingin. “Dia bukan seperti yang Mama pikirkan.”
“Justru itu yang Mama tahu!” Nyonya Wirna melangkah maju, suaranya semakin menggema. “Perempuan yang sudah diceraikan, tinggal serumah dengan laki-laki yang bukan suaminya, apa kata orang nanti tentang keluarga kita?!”
Adinda tak kuat lagi menahan perih di dadanya. Air matanya mulai menggenang, tapi ia buru-buru menghapusnya.
Suara hatinya gemetar, “Mungkin memang aku salah datang ke rumah ini…”
Vikto memegang gagang kursi roda dengan kuat. “Kalau Mama malu karena Adinda tinggal di sini, biar aku yang pergi sama dia.”
“Vikto!” seru Nyonya Ratna dengan nada terkejut. “Kamu berani melawan Mama demi perempuan ini?!”
Vikto menatap ibunya dengan mata yang tak lagi ragu. “Aku bukan melawan, Ma. Aku cuma membela yang benar.”
Ruangan seketika sunyi. Hanya terdengar napas berat dari masing-masing orang.
Nyonya Wirna terpaku, sementara Adinda menunduk, air matanya akhirnya jatuh membasahi punggung tangannya.
“Sudah, Kak...” bisiknya lirih. “Tolong jangan berdebat lagi karena aku...”
Vikto menatapnya dalam-dalam. “Kamu gak salah, Dinda. Kamu cuma datang di waktu yang salah, di rumah yang belum siap menerima mu.”
Ucapannya membuat suasana makin hening.
Nyonya Wirna akhirnya berbalik, menahan amarah yang jelas tampak dari bahunya yang tegang, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.
Tinggal Adinda dan Vikto yang saling menatap dalam diam.
Angin pagi yang tadi menenangkan kini terasa dingin menusuk, membawa getir bahwa kasih yang tumbuh di antara mereka mulai mengusik batas yang tak seharusnya mereka langgar.
"Kamu sabar, ya. Mamaku memang keras orangnya," ucap Vikto pelan, menatap Adinda dengan lembut. "Kakak janji, kalau kedua orang tuaku tetap tidak mau menerima kamu, kita akan pindah dari rumah ini. Kita bisa cari tempat lain untuk tinggal."
Adinda menggeleng pelan.
"Tidak usah, Kak. Biar aku saja yang pergi dari rumah ini. Lagipula, aku bukan siapa-siapa di keluarga Kakak."
"Oma saja tidak keberatan, kenapa justru kamu yang harus pergi?" balas Vikto dengan nada lembut tapi tegas. Ia tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. "Sudah, yuk kita masuk dulu. Cuci muka biar segar, biar gak kelihatan lesu. Setelah itu, kita sarapan bareng, ya."
Adinda tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menuruti perkataan Vikto, meski hatinya terasa perih.
Kemudian, Vikto meminta Mbak Tia untuk membantu membawa Adinda kembali ke kamar. Sementara itu, ia sendiri melangkah menuju kamarnya untuk bersiap berangkat ke kantor.
Saat pintu kamar tertutup, Adinda menatap pantulan dirinya di cermin.
Matanya sembab, wajahnya tampak begitu asing, bukan lagi Adinda yang dulu penuh tawa dan harapan. Kini hanya tersisa lelah, luka, dan rasa bersalah yang menumpuk di dada.
Mbak Tia menatapnya iba.
“Nona, jangan terlalu dipikirkan ucapan Nyonya, ya. Tuan Vikto itu tulus sama Nona.”
Adinda menggeleng pelan.
“Aku takut, Mbak... takut kehadiranku justru menghancurkan hubungan Kak Vikto dengan orang tuanya.”
Mbak Tia tidak menjawab, hanya mengusap bahu Adinda perlahan, lalu keluar meninggalkannya sendiri di kamar.
Begitu pintu tertutup, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
"Nona, bersabarlah. Semoga nanti ada jalan keluarnya, agar Nona tidak terus menanggung beban seberat ini," ujar Mbak Tia pelan, berusaha menenangkan Adinda yang tampak gelisah.
"Mbak... gimana kalau kita kabur saja?" kata Adinda tiba-tiba, suaranya bergetar tapi penuh tekad. "Aku gak mau terus-terusan seperti ini. Kasihan Kak Vikto kalau harus bertengkar terus sama kedua orang tuanya gara-gara aku."
Mbak Tia menatapnya kaget. "Terus... kita mau pergi ke mana, Nona? Kita tidak punya tempat tinggal. Lagipula, kita mau minta tolong sama siapa?"
Adinda terdiam sejenak, menunduk, lalu berkata lirih, "Iya juga, ya... ponsel aja gak punya. Tapi apa salahnya kita coba, Mbak? Kita bisa kerja apa aja, jual koran, jual tisu, ngamen juga gak apa-apa. Asal bisa hidup tanpa merepotkan siapa pun."
Mbak Tia menarik napas panjang. "Memangnya Nona yakin dengan keputusan itu?"
Adinda mengangguk dengan tatapan serius.
"Yakin, Mbak. Selama kita kerja jujur, semua pasti ada hasilnya. Aku cuma... gak mau terus bikin orang lain susah."
Mbak Tia memandang wajah Adinda yang penuh kesungguhan itu. Hatinya terenyuh.
"Baiklah, Nona. Tapi... kapan rencananya kita kabur dari rumah ini? Kenapa gak bicara dulu sama Tuan Vikto? Siapa tahu beliau bisa bantu carikan tempat tinggal, meskipun cuma rumah kontrakan kecil."
Tanpa mereka sadari, pintu kamar yang tadi tidak tertutup rapat membuat suara percakapan itu terdengar sampai ke luar.
Vikto yang kebetulan lewat di depan kamar, berhenti di tempat. Langkahnya seketika membeku ketika mendengar suara Adinda.
Kata-kata itu seperti anak panah yang menembus dada Vikto. Ia berdiri kaku, matanya menatap kosong ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka.
Dari celah pintu, ia bisa melihat Adinda yang menunduk dalam diam, dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Suaranya terdengar lirih tapi tegas, penuh luka dan ketakutan yang disembunyikan.
Vikto mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Napasnya bergetar, menahan emosi yang bercampur antara marah, sedih, dan iba. Ia tidak marah karena niat Adinda ingin pergi, tapi karena gadis itu begitu keras menyalahkan dirinya sendiri.
"Kenapa kamu harus berpikir sejauh itu, Dinda..." batinnya gemetar.
Ia menunduk, mencoba mengatur napas. Namun, langkahnya terhenti lagi ketika mendengar Adinda melanjutkan,
"Aku cuma gak mau terus bikin orang lain susah, Mbak. Kalau aku pergi, mungkin semuanya akan lebih tenang."
Tanpa sadar, Vikto melangkah maju dan mendorong pintu perlahan.
“Jangan pernah bilang seperti itu lagi,” ucapnya tiba-tiba.
Mbak Tia dan Adinda sontak menoleh. Wajah Adinda seketika pucat, matanya membulat kaget.
“K–Kak Vikto...” suaranya bergetar.
Vikto melangkah masuk, menatap Adinda dengan mata merah menahan emosi.
“Kamu pikir semua masalah ini akan selesai kalau kamu pergi? Kamu salah, Dinda. Justru Kakak yang akan kehilangan alasan untuk bertahan di rumah ini.”
Adinda hanya bisa menatapnya dengan air mata yang mulai jatuh di pipi.
“Aku cuma... gak mau jadi beban, Kak.”
Vikto mendekat, lalu berjongkok di hadapan Adinda yang masih duduk di kursi roda.
“Beban? Kamu bukan beban, Dinda. Kamu alasan kenapa Kakak masih kuat di tengah semua tekanan ini.”
Suasana kamar menjadi hening. Hanya terdengar isak pelan dari Adinda yang tidak lagi bisa menahan tangisnya.
Vikto menatap wajah itu dalam diam, kemudian berkata lirih, “Kalau kamu tetap ingin pergi... biar Kakak yang ikut menemani.”
Adinda terdiam cukup lama. Air mata yang menetes tak sanggup ia hentikan lagi. Suasana kamar terasa sunyi, hanya isak pelan dan suara napas berat dari keduanya yang terdengar.
“Jangan ikut campur, Kak...” ucap Adinda lirih, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku gak mau Kakak makin disalahin gara-gara aku. Aku cukup menanggung semuanya sendiri.”
Vikto menggeleng pelan, menatap Adinda dengan mata yang penuh keteguhan.
“Kamu salah, Dinda. Hidup itu bukan cuma soal siapa yang kuat menanggung beban sendiri, tapi juga tentang siapa yang berani berbagi luka bersama.”
Adinda menunduk. “Tapi aku gak pantas, Kak. Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma perempuan yang gagal dalam pernikahan, gak punya apa-apa, bahkan berdiri pun masih harus dibantu.”
“Cukup, Dinda,” potong Vikto tegas tapi lembut. Ia menatapnya dalam-dalam, membuat Adinda tak sanggup membalas tatapan itu.
“Kamu gak perlu jadi siapa-siapa untuk Kakak. Kamu cuma perlu ada, itu sudah cukup.”
Ucapan itu membuat dada Adinda terasa sesak.
Air matanya kembali jatuh, kali ini tanpa bisa dikendalikan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, sementara bahunya bergetar hebat.
Vikto menatapnya dalam diam, lalu perlahan mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Adinda dengan lembut.
“Jangan pernah berpikir untuk pergi lagi, ya. Kalau kamu pergi, Kakak gak tahu harus mencari kamu di mana.”
Adinda perlahan menurunkan tangannya, menatap Vikto dengan mata basah.
“Tapi... bagaimana kalau Mama Kakak benar-benar marah? Aku gak mau jadi alasan Kakak kehilangan keluarga.”
Vikto menarik napas panjang, menahan perasaan yang hampir meledak.
“Kalau mereka marah karena Kakak memilih melindungi seseorang yang sedang terluka... biarlah. Kakak sanggup menanggung semuanya, asal kamu jangan pergi. Kalau kamu bersikeras pergi, Kakak akan selalu bersamamu."
Air mata Adinda mengalir lagi. Ia tak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa menunduk dan menggigit bibir, sementara hatinya terasa bergetar hebat oleh kalimat itu.
Mbak Tia yang sejak tadi berdiri di sudut kamar hanya bisa menunduk haru. Ia tahu, yang sedang tumbuh di antara mereka bukan sekadar rasa kasihan, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam.
'Mungkinkah Tuan Vikto menyukai Nona Adinda? perhatiannya melebihi seorang suami kepada istrinya. Bahkan, lebih dari sekedar perasaan cinta.' Batin Mbak Tia mencoba untuk menerka-nerka.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..