Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya
Rian menyambut kedatangan rombongan dari rumah sakit dengan senyum lebar dan sikap ramah yang khas. Sebagai lurah muda yang dikenal hangat di mata warga, ia tahu betul bagaimana menjaga wibawa di tengah masyarakat. Orang pertama yang ia hampiri tentu saja adalah Dokter Suryo — dokter kandungan senior yang juga menjadi ketua rombongan hari itu.
“Selamat datang di kampung kami, Dokter. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk hadir di acara kecil kami,” ucap Rian sambil menjabat tangan pria berusia separuh baya itu dengan penuh hormat.
“Sama-sama, Pak Lurah. Justru kami yang berterima kasih karena sudah diundang. Kegiatan seperti ini penting sekali untuk masyarakat,” jawab Dokter Suryo dengan ramah.
“Sudah lama saya ingin mengadakan acara semacam ini, Dok. Alhamdulillah akhirnya bisa terlaksana juga,” ujar Rian sambil tersenyum puas. Pandangannya kemudian beralih ke rombongan di belakang sang dokter. “Kalau boleh tahu, ini ada siapa saja, Dok?” tanyanya, walau sebenarnya matanya sudah sejak tadi tertuju pada sosok wanita yang berdiri di barisan kedua, perempuan yang selalu tampak tenang dan berwibawa, namun berhasil membuat dadanya bergetar halus setiap kali melihatnya.
“Oh, ini saya bawa beberapa rekan,” jelas Dokter Suryo. “Yang ini Dokter Ichwan, spesialis mata. Dan ini Mbak Jelita, psikolog baru di rumah sakit kami. Beliau nanti akan memberikan edukasi tentang kesehatan mental, apalagi sekarang banyak kasus yang muncul di usia muda.”
Rian refleks menahan napas sejenak. Jelita.
Akhirnya ia tahu nama gadis itu.
Senyum kecil merekah di wajahnya tanpa bisa ditahan. Cantik... sesuai dengan namanya, batinnya.
“Halo, Mbak Jelita. Senang bisa bertemu kembali,” ucap Rian sambil mengulurkan tangan dengan sopan.
Jelita menerima jabatan tangan itu, menggoyangkannya pelan sambil mengangguk ringan. “Iya, Pak Lurah. Senang bisa ikut di kegiatan ini.”
“Silakan, Dokter Suryo, Dokter Ichwan, dan Mbak Jelita, mari duduk di tenda utama,” ujar Rian sambil menuntun mereka ke tempat yang sudah disiapkan.
Namun sesampainya di sana, Rian mendapati sesuatu yang membuatnya sedikit tidak enak hati. Di barisan depan, kursi yang seharusnya disediakan untuk pihak rumah sakit sudah terisi dan salah satunya oleh Nadya.
“Mohon pindah dulu ya, Mbak Nadya. Kursinya untuk tamu dari rumah sakit,” ucap Rian sopan.
Namun belum sempat Nadya bergerak, Dokter Ichwan sudah menimpali dengan nada santai, “Tidak perlu repot, Pak Lurah. Biarkan saja seperti ini. Mbak Jelita bisa duduk di samping saya. Lagi pula, saya rasa Mbak Nadya lebih nyaman duduk di sebelah calon suaminya.”
Kalimat itu membuat Rian sontak kaku di tempat. Ia langsung menoleh cepat ke arah Jelita, khawatir gadis itu salah paham.
“Eh—bukan, Dok!” sergah Rian cepat, wajahnya sedikit memerah. “Saya dan Mbak Nadya tidak punya hubungan apa-apa.”
Nadya tersenyum manis, tapi nadanya ambigu saat menambahkan, “Benar, Dokter. Saya dan Mas Rian memang belum memiliki hubungan.”
Rian menatapnya tajam — tatapan tegas yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang sedang menahan kesal. Tapi ia tak ingin membuat suasana canggung, apalagi di depan para tamu. Ia memilih menarik nafas dalam dan menahan diri.
Sementara itu, Jelita tampak tetap tenang. Ia tersenyum kecil, lalu memilih duduk di kursi belakang, tepat di barisan kedua.
“Lho, kok di belakang, Mbak Jelita?” tanya Rian dengan nada lebih lembut.
“Tidak apa-apa, Pak Lurah. Saya di sini saja. Lebih mudah kalau mau mencatat nanti,” jawabnya sopan sambil tersenyum tipis.
Rian hanya mengangguk, meski dalam hati ia ingin sekali meminta gadis itu duduk di depan, bahkan di sampingnya. Tapi waktu tak bisa ditunda sebab acara segera dimulai. Pembawa acara naik ke panggung dan membuka kegiatan pagi itu dengan semangat.
Sebagai pembicara pertama, Dokter Ichwan maju ke depan. Dengan bahasa yang sederhana, ia menjelaskan tentang kesehatan mata, terutama penyakit katarak yang kerap menyerang para lansia. Penjelasannya membuat warga antusias. Beberapa lansia bahkan berani bertanya langsung dan mendapat jawaban rinci dari sang dokter.
Rian tersenyum bangga melihat warganya begitu aktif. Sesekali pandangannya melirik ke arah Jelita yang tengah mencatat sesuatu di buku kecilnya. Ada ketenangan yang aneh setiap kali melihat gadis itu fokus bekerja.
Waktu berjalan cepat. Tepat saat azan zuhur berkumandang, pembawa acara naik kembali ke panggung.
“Baik, Bapak dan Ibu, kita istirahat dulu untuk sholat dan makan siang. Tapi jangan pulang, ya. Setelah ini akan ada sesi berikutnya yang sangat menarik, terutama buat para wanita muda dan generasi milenial serta Gen Z. Jadi ingat, nanti harus balik lagi ke sini,” ujarnya menutup sesi pertama dengan tawa kecil.
Orang-orang mulai beranjak, sebagian menuju tempat wudhu dan sebagian lagi menuju meja hidangan yang sudah disiapkan. Rian berdiri, melepas nafas pelan dan tanpa sadar matanya kembali mencari sosok Jelita di antara kerumunan.
Namun kali ini, Jelita sudah tidak di tempatnya.
Senyum Rian memudar perlahan. Ia menatap ke arah luar tenda, berharap bisa melihat ke mana arah gadis itu pergi. Jangan-jangan ke tempat makan? batinnya sambil melangkah pelan ke luar.
Ketika sudah berada di area makan, Rian tidak sama sekali melihat Jelita disana. Masih fokus mencari dan melihat di sekelilingnya, sebuah suara menginterupsi Rian.
“Mas Rian mau makan dulu? Nadya ambilin, ya makanannya.” Nadya datang dan menawari Rian untuk mengambilkan makan siang untuk pria itu. Suara Nadya yang lembut namun sedikit besar membuat beberapa orang yang ada disekitar sana memperhatikan mereka.
“Enak banget Pak Lurah, dapat calon istri yang cantik, lembut, terus perhatian lagi kayak Nadya,” ucap salah seorang warga.
“Iya, Pak Lurah beruntung banget ini lho, Pak,” sahut warga lain.
Rian hanya bisa tersenyum tipis mendengar ucapan-ucapan warganya itu. Entah kenapa mereka begitu semangat menjodohkan dirinya dengan Nadya.
“Tidak perlu Mbak Nadya. Saya mau sholat dulu saja.” Tanpa mendengarkan jawaban Nadya, Rian langsung meninggalkan tempat itu dan langsung berjalan ke arah masjid. Ia berlari kecil menyusul Dokter Suryo dan Dokter Ichwan yang telah berjalan duluan di depannya.
Setibanya di pelataran masjid, mereka segera melangkah menuju area tempat wudhu. Setelah membasuh diri dan menunaikan sunnah wudhu dengan tenang, Rian melangkah masuk ke dalam masjid melalui pintu samping. Begitu kakinya menjejak lantai masjid, hawa sejuk langsung menyambutnya.
Namun, kesejukan itu bukan berasal dari pendingin ruangan ataupun kipas angin, melainkan dari pemandangan yang kini terpampang di hadapannya.
“Masya Allah, nggak salah pilih aku.”
***
Jangan lupa like, vote, dan sesajennya buat author biar semakin semangat nulisnya ya 🥰🥰 biar retensinya juga bagus 🤭🤭
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂