Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Makan malam hampir selesai.
Pelayan baru saja menyingkirkan piring utama dan menuangkan anggur ketika suasana di meja mulai terasa lebih tenang, tapi di antara tawa ringan Miranda dan Rosa, terselip nada yang lebih serius.
Rosa menatap sahabatnya dengan tatapan penuh makna.
Miranda membalas dengan senyum kecil, seolah keduanya sudah saling paham apa yang akan dibicarakan.
Rosa meletakkan gelasnya pelan.
“Miranda… aku sebenarnya sudah lama berpikir. Anak-anak kita ini sudah cukup dewasa. Ryan juga sudah punya karier yang mapan, begitu juga Clarissa. Aku pikir… kenapa tidak kita jodohkan saja mereka?”
Miranda tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan.
“Aku juga berpikir begitu, Rosa. Aku sudah bilang pada Clarissa, kalau Ryan itu pria yang luar biasa. Aku bahkan bilang, dia cocok untukmu, Risa.”
Clarissa tersipu.
“Mama…”
ia tertawa kecil, tapi jelas terlihat kalau ia tak keberatan dengan ide itu.
Rosa menoleh ke Ryan, senyumnya penuh harap.
“Gimana, Ry ? Menurut Mami, ini kesempatan baik. Miranda sahabat lama Mami, keluarganya baik, dan Clarissa anak yang sopan, cantik, berpendidikan. Rasanya Mami tenang kalau punya menantu seperti dia.”
Ryan meletakkan gelas di tangannya perlahan.
Wajahnya tetap tenang, tapi dari sorot matanya terlihat kalau ia sudah siap dengan jawaban.
Hening sejenak.
Hanya terdengar alunan musik jazz dari sudut ruangan.
“Mami… aku menghargai niat baik Mami dan Tante Miranda. Tapi aku tidak setuju dengan perjodohan ini.” kata Ryan datar nadanya penuh ketegasan.
Suasana meja langsung berubah tegang.
Clarissa menatap Ryan kaget tak percaya, ia langsung mendapat penolakan tanpa basa basi, Miranda melirik ke arah Rosa yang kini tampak terkejut dan ia juga tidak percaya.
Rosa mencoba tersenyum walau suaranya bergetar, menahan rasa malu.
“Ryan… Mami cuma ingin yang terbaik buat kamu. Mami pikir—”
Ryan memotong, nada suaranya lembut, tapi mantap tak terbantahkan.
“Mami, aku sudah dewasa. Aku bisa memilih sendiri siapa yang ingin aku cintai dan jalani hubungan serius.”
Miranda mencoba menengahi dengan sopan.
“Mungkin Ryan masih belum siap, Rosa. Kita bisa pelan-pelan—”
Ryan menatap langsung ke arah Miranda.
“Bukan soal belum siap, Tante. Aku… sudah punya seseorang.”
Kata-kata itu membuat Rosa terdiam.
Wajahnya memucat sesaat, matanya membesar penuh keterkejutan.
“Kamu… bilang apa, Ryan? Kamu sudah punya kekasih?” kata Rosa dengan nada terkejut dan tak percaya.
Ryan mengangguk tegas.
“Iya, Mami. Aku nggak mau menipu siapa pun, termasuk Clarissa dan Tante Miranda. Aku sudah menjalin hubungan dengan seseorang.”
Clarissa yang sejak tadi menunduk, kini menatap Ryan dengan mata berkaca.
Sementara Miranda terlihat canggung, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya.
Miranda berusaha tersenyum sambil berkata.
“Ah… rupanya begitu. Nggak apa-apa, Rosa. Mungkin memang Ryan bukan jodohnya Clarissa, ya.”
Tapi Rosa masih terpaku, napasnya berat.
Ia mencoba tetap tenang di depan sahabatnya, tapi hatinya terasa bergemuruh.
“Siapa… gadis itu, Ryan?” tanya Rosa lirih, tapi masih menjaga wibawanya.
Ryan hanya tersenyum tipis.
Ia menatap ibunya dengan tenang, lalu berkata perlahan, namun penuh makna.
“Mami akan segera tahu.”
Hening menyelimuti meja makan mewah itu setelah pengakuan Ryan.
Tak ada lagi tawa, tak ada percakapan ringan seperti beberapa menit sebelumnya.
Yang tersisa hanyalah keheningan yang canggung dan tatapan-tatapan yang sulit diartikan.
Miranda mencoba menjaga wibawanya, namun senyum yang ia paksakan tampak kaku.
“Sepertinya… makan malamnya sudah cukup, ya, Rosa. Aku rasa kita pamit duluan.” kata Miranda.
Ia menoleh lembut ke arah Clarissa.
“Ayo, Rissa, kita pulang.”
Clarissa masih menunduk, wajahnya memerah, bukan hanya karena malu, tapi juga karena kecewa.
Ia menggenggam ujung tas kecilnya erat-erat, lalu menatap Ryan dengan sorot mata yang sulit ditebak: antara kagum, sedih, dan tak rela.
“Selamat malam, Ryan… semoga gadis itu benar-benar beruntung memiliki seseorang seperti Anda.” kata Clarissa dengan senyum yang dipaksakan.
Ryan menatapnya sekilas, matanya tetap datar tanpa ekspresi.
“Terima kasih, Clarissa. Hati-hati di jalan.” kata Ryan singkat, sopan tapi dingin.
Kalimat sederhana itu terdengar begitu formal, seolah ia sedang berpamitan pada rekan kerja, bukan gadis yang baru saja dijodohkan dengannya.
Clarissa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa perih yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
Ia menoleh ke ibunya yang sudah berdiri, lalu bangkit dengan perlahan.
Sambil menarik napas panjang, ia mengikuti langkah Miranda keluar dari restoran itu.
Rosa hanya bisa menatap kepergian sahabat dan anaknya itu dengan campuran rasa malu dan kecewa.
Tatapannya kemudian beralih pada Ryan, putranya yang kini duduk tenang, bahkan terlalu tenang, seolah tak terjadi apa pun.
Rosa menatap Ryan tajam.
“Kamu sadar nggak sih, Ry. apa yang baru saja kamu lakukan? Kamu mempermalukan Mami di depan sahabat Mami sendiri!”
“Aku cuma jujur, Mi. Bukankah Mami selalu bilang, kejujuran itu lebih baik daripada basa-basi?” kata Ryan dengan suara rendah.
Rosa menghela napas panjang, menatap anaknya dengan mata berkaca, campuran antara marah dan tidak percaya.
“Kamu… benar-benar keras kepala seperti Daddy mu.”
Ryan hanya diam, meneguk air mineral di depannya tanpa banyak bicara.
Ia tahu kata-katanya membuat ibunya kecewa, tapi ia tidak menyesal sedikit pun.
Sementara itu, di luar restoran, Clarissa berhenti sejenak di depan pintu mobil, menatap ke arah dalam restoran dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Air matanya hampir jatuh, namun ia cepat menghapusnya sebelum ibunya menyadari.
“Kenapa… dia harus menolakku secepat itu ? Padahal aku baru saja mulai menyukainya.” Gumam Clarissa.
Miranda menepuk pundak anaknya lembut.
“Lupakan saja, Sayang. Kalau dia memang ditakdirkan untukmu, dia akan datang dengan sendirinya. Tapi kalau tidak… ya, mungkin dia bukan yang terbaik.”
Clarissa mengangguk pelan, meski hatinya masih berat.
Ia masuk ke dalam mobil, sementara bayangan Ryan yang duduk tegak di dalam restoran perlahan menghilang dari pandangannya.
...✈️...
Mobil melaju tenang di tengah malam kota yang mulai lengang.
Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan, menciptakan bayangan berganti-ganti di wajah Mami Rosa yang tampak muram sejak keluar dari restoran.
Ryan duduk di belakang kemudi, tatapannya fokus menembus jalanan ibu kota, sementara di kursi samping, Mami Rosa menyandarkan kepala dengan pandangan kosong.
Keheningan di dalam mobil begitu terasa, hanya terdengar suara mesin yang mendengung lembut.
Sudah hampir dua puluh menit tak ada satu kata pun keluar di antara mereka.
Namun, di balik diamnya, Rosa sebenarnya sedang berpikir keras.
Ia memang kesal.
Kesal karena Ryan menolak rencana perjodohan yang ia atur dengan penuh harapan.
Namun di sisi lain, hatinya diam-diam merasa… sedikit lega.
Jika Ryan sudah punya kekasih, berarti setidaknya anaknya tidak sekeras batu seperti yang ia kira.
Anaknya bisa jatuh cinta.
Rosa menoleh sekilas ke arah Ryan, lalu perlahan membuka suara.
“Ryan…”
Ryan menoleh sedikit, suaranya tenang.
“Iya, Mi?”
“Tentang… gadis yang kamu bicarakan tadi.”
Ia berhenti sejenak, menatap keluar jendela, lalu melanjutkan.
“Dia benar-benar kekasihmu?”
Ryan menoleh penuh kali ini, sedikit terkejut tapi tetap tenang.
“Kenapa Mami tanya begitu?”
Rosa menghela napas pelan.
“Karena kamu tidak pernah bilang apa pun sebelumnya. Mami bahkan tidak tahu kamu sedang dekat dengan siapa. Lalu tiba-tiba kamu bilang sudah punya kekasih… di depan Miranda dan Clarissa pula.”
Ryan tersenyum samar, lalu menunduk sedikit.
“Mungkin karena Mami nggak pernah kasih aku kesempatan untuk bercerita.”
Rosa terdiam, tatapannya menajam bukan marah, tapi lebih pada rasa bersalah yang tak mau ia akui.
Ia berdehem pelan, mencoba menjaga wibawanya.
“Baiklah. Mami tidak akan marah… asal kamu jujur.” Nada suaranya melunak
“Siapa dia, Ryan? Mami ingin tahu. Setidaknya Mami ingin mengenal gadis yang sudah bisa membuat anak Mami yang dingin dan keras kepala ini...berubah.”
Ryan tersenyum kecil, tapi pandangannya tetap ke depan.
Ryan berpura-pura santai.
“Nanti juga Mami kenal, Mi. Belum saatnya sekarang.”
Rosa menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa belum saatnya? Apa kamu malu memperkenalkannya pada Mami?”
Ryan menoleh, menatap ibunya dalam-dalam.
“Bukan malu… aku cuma mau pastikan dulu, apakah dia benar-benar mau tetap di sisiku atau tidak.”
Kata-kata itu membuat Rosa terdiam sejenak.
Ia memandangi wajah anaknya, lalu senyum tipis perlahan muncul di bibirnya.
“Baiklah, Ryan. Tapi kalau gadis itu memang bisa membuatmu bahagia… Mami ingin bertemu dengannya.” kata Rosa lirih penuh kepasrahan.
Ryan menunduk sedikit, menyembunyikan senyum yang tak bisa ia tahan.
“Nanti, Mi. Sabar...Akan ada waktunya.” kata Ryan pelan.
Dan setelah itu, mobil kembali sunyi.
Namun kali ini, keheningan itu terasa lebih hangat.
Untuk pertama kalinya, Rosa tidak hanya melihat Putranya sebagai pilot sukses, tapi sebagai seorang pria yang… mungkin sedang jatuh cinta.
...✈️...
...✈️...
......✈️......
^^^Bersambung...^^^