Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Om Garda, Ayah Sahabatnya
Samar-samar kedua mata gadis berambut hitam legam itu terbuka. Ia meraih ponsel di atas meja rias, pukul setengah tiga dini hari. Tenggorokannya mendadak terasa kering. Ia menyingkap selimut, memperhatikan gadis berpiyama merah muda tengah berbaring nyenyak di sampingnya.
Untung Bening sudah hafal seisi rumah keluarga tersebut. Jadi, ia bisa keluar menuju dapur dengan tenang, tanpa harus membangunkan si empunya rumah. Bening sudah kerap menginap di sana, apalagi kalau papa dari sahabatnya itu sedang dinas keluar kota.
“Loh, kamarnya Om Garda, kok, pintunya kebuka? Bukannya Om Garda lagi nggak di rumah?” gumam Bening seraya mengucek mata.
Namun, karena tak mau memedulikan rasa penasarannya, Bening bergerak ke dapur. Mengambil segelas air dingin untuk mengobati tenggorokannya yang terasa kering. Gerakan Bening tertahan, ia merasa seseorang mendekat. Bayangan terpantul ke arah kitchen set.
Bening menggenggam gelas di tangannya. Tak mungkin rumah mewah itu berhantu, ‘kan? Loh, tapi hantu juga seharusnya tidak memiliki bayangan.
Dengan hati-hati Bening berbalik, kemudian menjerit tatkala melihat pria yang berdiri di belakangnya. Garda sama terkejutnya saat melihat Bening menjerit. Perempuan itu refleks berbalik karena Garda datang hanya dengan menutup tubuh bagian bawah menggunakan handuk.
“M-maaf, Om. Aku nggak sengaja. Aku nggak tau kalau Om ada di situ. Maaf,” gumam Bening. Mendadak pipinya memanas karena tak sengaja melihat Garda yang bertelanjang dada.
Lagian jam tiga bagi begini, untuk apa Garda hanya melilitkan handuk di pinggang untuk menutupi tubuh bagian bawah?
“Justru saya yang minta maaf, Bening. Saya mengejutkan kamu. Tadi saya pikir kamu Nata,” katanya. Suara berat Garda menelusup ke telinga Bening dan entah mengapa suara itu selalu membangkitkan perasaan aneh dalam dirinya.
Meski keadaan ruangan tidak terlalu terang, hanya memantulkan sinar lampu hias, tetapi Bening bisa melihat perut Garda yang kekar dan keras. Jelas itu perut yang terbentuk karena olahraga. Di usianya yang tak muda lagi, Garda masih sangat memperhatikan tubuh.
“A-aku pikir Om nggak di rumah. Maaf,” kata Bening.
“Saya baru pulang setengah jam lalu. Karena agak gerah, saya mandi.”
Sesaat setelahnya, Bening tak mendengar suara Garda lagi. Gadis itu menghitung detik demi detik terlewat. Degup jantungnya menderu lebih cepat. Ia berbalik hendak kembali ke kamar, daripada dipergoki oleh Nata—lengkapnya Natasha—sedang berbicara dengan Garda.
Namun, langkah Bening kembali tertahan. Garda muncul dari kamarnya yang tak jauh dari dapur. Rumah yang lebih banyak didominasi oleh kaca lebar itu memantulkan bayangan mereka. Garda berdiri di tempat, saling menatap dengan Raras yang terpekur di depan anak tangga menuju lantai dua.
Rongga dada Bening kian berisik. Biasanya jika menginap, Garda tak pernah ada di rumah. Mengingat kesibukannya sebagai CEO di perusahaan furniture milik keluarga. Namun, malam ini Bening merasa sedikit aneh; canggung melihat Garda ada di sana.
“Ada yang ingin kamu katakan?” tanya Garda.
Fokus Bening terpecah. Ia menggeleng, lalu berbalik menaiki anak tangga untuk kembali ke kamar Nata.
“Bening … apa yang kamu pikirkan?” Ia bergumam. Menormalkan detak jantungnya yang menggila.
Ia mengusap kedua pipi yang masih terasa panas. Matanya baru saja menangkap pemandangan paling gila di rumah ini. Melihat ayah sahabatnya bertelanjang dada dengan perut dan otot yang kekar. Begitu seksi dan panas. Sangat jauh berbeda dari ayahnya yang gendut dan pemabuk.
“Ya Tuhan, aku pasti sudah gila!” Bening menggeleng. Mengusir fantasi liarnya tentang Garda. “Om Garda adalah papa sahabat kamu, Ning. Cukup!”
Buru-buru Bening menjauh dari pintu. Karena kejadian tadi Bening mendadak sulit tidur. Ingatannya tentang tubuh Garda mengusik sekali. Ia berdiri di balkon, menunggu matanya disapa kantuk.
Alih-alih tenang, Bening dibuat kaget lagi oleh sebentuk bayangan dari salah satu kamar di lantai satu. Lampu kamar itu menyala,Bening menajamkan tatapan. Meski hanya lewat bayangan di gorden, Bening bisa melihat gerakannya. Itu kamar Garda.
Dari siluet itu Bening melihat Garda membuka handuk yang dikenakan, lalu melemparnya sembarang. Dalam benak Bening muncul hal paling gila yang malam itu terbesit, bahwa sekarang Garda sedang benar-benar bertelanjang. Terlihat siluet Garda tengah mengenakan pakaian, lalu dalam hitungan detik, pintu geser menuju halaman belakang terbuka.
Bening masih di tepi balkon, mencengkeram tepian sambil mengamati Garda yang baru keluar dari sana. Garda sudah memakai piyama, sekarang tengah menghisap rokok. Kedua mata Bening membulat ketika Garda mendongak, memergoki keberadaannya.
Dari jarak yang tak begitu jauh, dengan ketinggian yang berbeda, Bening bisa melihat Garda mengamatinya tanpa henti. Pun Bening tak mengalihkan tatapan sama sekali. Membiarkan dirinya saling menarik dalam tatapan yang begitu intens. Dengan tensi yang semakin terasa aneh.
Gemuruh dalam rongga dada Bening kian menjadi. Ini salah, Ning. Ia terus memberontak, mengingatkan dirinya sendiri.
Tak seharusnya ia tertarik pada pria dewasa seperti Garda. Apalagi kepada ayah dari sahabatnya sendiri.