Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Cahaya remang dari lampu hp Calya menerangi kamar. Calya berbaring kaku, mencoba menjauhkan dirinya dari Aska yang memeluknya erat. Di luar, hujan deras menampar jendela, suaranya seperti bisikan iblis yang mengejek nasibnya. Ia benci Aksa. Benci pada kacamata tebalnya, benci pada rambutnya yang acak-acakan, benci pada kemejanya yang selalu rapi, tapi entah mengapa, terasa kuno. Namun, yang paling ia benci adalah kenyataan bahwa ia dijodohkan dengannya.
Calya, dengan segala kecantikan dan kepopulerannya, merasa seperti permata yang dilemparkan ke lumpur. Ia sudah punya dambaan hati, seorang pria yang sempurna di matanya, seorang pria yang hidup dalam gemerlap kota, bukan Aksa yang terasa seperti bayangan.
"Aksa, lepaskan aku," bisik Calya, suaranya bergetar. Aksa tidak menjawab, hanya mengeratkan pelukannya. Aroma buku dan kopi dari tubuh Aksa menusuk indra penciumannya, membuatnya mual. "Aku bilang lepaskan!" Kali ini, suara Calya lebih tegas, namun hanya dibalas dengan keheningan. Aksa hanya menenggelamkan wajahnya di rambut Calya.
Tiba-tiba, kilatan cahaya terang menyambar, menerangi seluruh ruangan. Disusul oleh suara guntur yang memekakkan telinga, membuat kasur bergetar. Calya menjerit kecil dan langsung merapatkan tubuhnya ke Aksa. Ia menutup matanya, menyembunyikan wajahnya di dada Aksa. Ia benci petir. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan, bahkan rasa bencinya pada Aksa seolah-olah lenyap ditelan rasa takut.
Aksa yang merasakan tubuh Calya menegang, akhirnya membuka matanya. "Jangan takut, Calya," bisiknya dengan suara lembut. "Aku di sini."
Air mata Calya mengalir. Ia benci dirinya yang lemah, yang membutuhkan pelukan dari laki-laki yang paling ia benci. Ia merasa seperti pecundang yang tidak bisa lari dari takdir. Ia ingin melawan, namun tubuhnya menolak. Malam itu, di tengah badai, Calya menemukan ketenangan di dalam pelukan Aksa. Rasa hangat yang menjalar dari tubuh Aksa, detak jantungnya yang teratur, dan bisikan lembutnya, semua itu berhasil menenangkan badai dalam hatinya.
Calya perlahan mulai merasakan kantuk. Ia menyerah pada rasa lelah dan rasa aman yang tak terduga. Malam itu, Calya tertidur di pelukan Aksa, dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Ia tidak tahu, apakah ia membenci Aksa karena ia adalah takdirnya, atau karena ia takut jatuh cinta pada laki-laki yang ia kira tidak ia inginkan.
Matahari pagi menembus celah gorden, sinarnya yang lembut menyentuh wajah Calya. Ia menggeliat, merasakan kehangatan yang tak biasa. Bukan, ini bukan kehangatan selimutnya. Ini adalah kehangatan tubuh Aksa. Calya membuka matanya lebar-lebar, jantungnya langsung berdegup kencang. Ia terkejut, mendapati dirinya berada dalam pelukan Aska, dengan kepala bersandar nyaman di dada laki-laki itu. Lebih parah lagi, tangannya melingkar erat di pinggang Aksa.
"Bodohnya aku!" bisik Calya, suaranya tercekat. Ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia, Calya yang selalu menjaga jarak dan membenci Aksa, malah berakhir seperti ini? Rasa malu yang luar biasa membanjiri dirinya. Wajahnya terasa panas. Ia buru-buru melepaskan pelukannya, menarik tangannya seolah-olah Aska adalah api.
Aksa yang terbangun karena gerakan Calya, membuka mata perlahan. Ia tersenyum tipis. "Pagi, Calya."
"Jangan senyum!" seru Calya, "Jangan pernah senyum! Dan lupakan apa yang terjadi semalam!"
Aksa hanya terkekeh pelan. "Bagaimana bisa aku melupakan malam di mana calon istriku memelukku begitu erat karena takut pada guntur?"
Calya menutupi wajahnya dengan bantal. "Diam! gue ga tahu apa yang lo maksud!"
"Kau bahkan tidur di dadaku," goda Aska.
Calya melempar bantal ke wajah Aska. "Aska! gue benci sama lo!"
Aska menangkap bantal itu dengan mudah. "Aku tahu. Tapi, itu tidak menghentikanmu untuk memelukku." Ia bangun dari kasur. "Kau lapar? Aku akan membuatkan sarapan."
Calya mendengus. "Gue ga akan makan apapun yang lo buat. Gue ga mau mati keracunan."
Aksa hanya tersenyum. "Tenang saja, masakanku tidak seburuk itu." Ia berjalan menuju dapur. Suara dentingan panci dan wajan terdengar beberapa saat kemudian. Aroma wangi telur goreng dan roti panggang mulai tercium, membuat perut Calya bergejolak. Namun, ia bersikeras untuk tidak makan. Ia duduk di meja makan dengan wajah ditekuk, melipat tangannya di dada.
Aksa datang dengan dua piring berisi roti panggang, telur mata sapi, dan sosis. "Ayo makan," ajak Aksa lembut, meletakkan piring di hadapan Calya.
"Gue ga mau," jawab Calya ketus.
Aksa menghela napas. "Calya, kau harus makan. Kau butuh energi."
"Gue ga butuh energi!" balas Calya.
Aksa memandang Calya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kenapa kau begitu membenciku?" tanyanya pelan.
Calya terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. "Gue... gue ga suka pada lo. Titik," jawabnya, menghindari tatapan Aksa.
Aksa mengambil satu potong roti dari piringnya, mengolesinya dengan selai dan menyerahkannya pada Calya. "Setidaknya makan ini. Aku tahu, aku tidak seperti pria yang kau impikan. Tapi, aku berjanji akan menjagamu."
Calya membuang muka. Ia tidak mau mengakui, bahwa di balik kebenciannya, ada sedikit rasa aman saat berada di dekat Aksa. Ia merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Ia ingin lari dari Aksa, dari takdirnya. Namun, ia tidak tahu, ke mana lagi ia harus lari.
Calya sedang merenung di meja makan, menatap sarapan yang masih utuh, saat ponselnya berdering nyaring. Nama "Mama" tertera di layar. Dengan malas, Calya mengangkat panggilan itu.
"Halo, Ma," sapa Calya dengan nada datar.
"Halo, Sayang," suara mamanya terdengar riang dari seberang telepon. "Maaf ya, Mama dan Papa masih harus di sini. Ada sedikit masalah di proyek yang harus kami selesaikan."
Dada Calya berdesir. Firasatnya tidak enak. "Berapa lama lagi, Ma?"
"Mungkin sekitar satu minggu lagi. Jadi, kamu di rumah sama Aksa dulu ya. Mama dan Papa titip kamu sama dia."
Ponsel di tangan Calya hampir jatuh. Satu minggu? Satu minggu bersama laki-laki cupu itu? Dengan Aska? Calya menggigit bibirnya, menahan amarah yang membuncah. "Satu minggu? Ma, itu terlalu lama, ma aku dirumah aja ya ga mau disini!"
"Tidak ada yang terlalu lama, Sayang. Mama dan Papa percaya Aska bisa menjagamu dengan baik. Lagi pula, kalian harus mulai terbiasa bersama."
"Calya ga mau, Calya mau pulang aja" belum sempat Calya menlanjutkan ucapannya langsung dipotong sang mama dan mengatakan untuk tetap bersama Aksa jika tidak sang mama akan marah
Calya menghela napas pasrah. Ia ingin membantah, tapi ia tahu tidak ada gunanya. "Baiklah, Ma. Hati-hati di sana," ucapnya, lalu memutus sambungan telepon.
"A-ah sialan!" umpat Calya. Ia menggebrak meja, membuat Aska yang baru saja kembali dari dapur terkejut. "Satu minggu! gue harus tinggal di sini selama satu minggu, Arghhh hidup gue gini amat dah gue ga mau disini aisss!"
Aksa menatap Calya dengan tatapan bingung. "Ada apa, Calya?"
"Mama dan Papa bilang, mereka akan di luar kota selama satu minggu! Dan mereka bilang, gue harus tinggal di sini sama lo ahhh menyebalkan!" Calya menunjuk Aska dengan jari telunjuknya. "Ini pasti akal-akalan mereka, kan? Mereka ingin kita dekat!"
Aska terdiam, tidak menjawab. Ia hanya menatap Calya.
"Kan! Benar kan! gue tahu! Kalian semua bekerja sama untuk menjebakku!"
Setelah pertengkaran kecil yang sengit, mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aksa sudah memakai kacamata tebal dan kemeja andalannya, sementara Calya memakai seragamnya yang modis.
"Ayo berangkat," ajak Aksa. Ia sudah berdiri di depan pintu, siap untuk pergi.
Calya menatapnya dengan tatapan tajam. "gue naik taksi, lo stop deketin gue, sanaaaa."
"Kenapa? Aku sudah siapkan mobil," Aksa menunjuk ke arah mobilnya yang terparkir di halaman.
"Ngga! gue bilang ga mau ya ga mau, lo bisa denger ngga?. Lo itu ngga ngert-ngerti apa? uda gue bilang jauh-jauh nanti ada yang tau gimanamau taro dimana muka gue," Calya menolak dengan tegas. Ia tidak ingin ada satu pun teman sekolahnya yang melihat dia pergi bersama Aksa.
Aksa menghela napas. "Calya, kita kan sudah dijodohkan. Cepat atau lambat, orang-orang akan tahu."
"Lo berhenti ngomong gitu! Selama selama gue bisa nyembunyiin, gue bakal menyembunyikannya!" Calya berjalan keluar dan langsung memesan taksi.
Aksa hanya bisa menatapnya. Ia tahu, Calya belum siap menerima kenyataan. Dengan langkah berat, ia masuk ke dalam mobilnya dan melaju, meninggalkan Calya yang berdiri sendirian di pinggir jalan, menunggu taksi, dengan perasaan yang campur aduk.