Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - MASKER - Alya & Erico ( POV )
“Sudah 1 minggu ini Arimbi tidak ada dimana pun. Apa kau tahu kemana perginya ?” tanyaku pada Erico yang saat itu sedang menulis di halaman belakang sekolah. Akhir – akhir ini dia sering datang ke tempat itu untuk mendapatkan ide ceritanya yang baru.
Sebelum liburan dia sempat bertemu dengan Arimbi yang kala itu sedang menangis sendirian dan Arimbi mengajaknya menuju dimensi lain, sementara Erico saat itu belum siap dengan pemandangan yang ada di hadapannya sehingga kesalah pahaman terjadi diantara mereka.
“Hei, Rico ... apa kau mendengar apa yang kukatakan ?” sapaku lagi kali ini dengan suara agak keras karena tampaknya ia tak mendengar pertanyaanku. Pria dengan logat Jakarta itu tersentak, “Eh, lu bisanya cuma ngagetin orang. Apa ga tahu kalo gue jadi kehilangan inspirasi,”
“Itu salah lo, gue udah manggil bolak – balik tapi ga didenger,” bentakku tak mau kalah.
“Oke. Oke ... tadi lo tanya apaan ?”
“Lu liat Arimbi, ga ? sudah 1 minggu ini dia ga kelihatan batang hidungnya,”
Erico mengerutkan keningnya, “Aduh ...udah lo cari di rumahnya atau belum ? Setahu gue dia masuk sekolah terus .. hanya saja emang rasa – rasanya menjauhi kita. Lagian ngapain aja lo mikirin dia ?”
“Eh, dia itu temen kita. Lo punya perasaan, ga ? Lo kira gue ga tahu kalo lo naksir dia sejak pandangan pertama ? sekarang malah berlagak tidak peduli,”
“Darimana lo denger gossip konyol itu ?” Erico memalingkan wajahnya, tapi aku sempat melihat rona merah di pipinya. Dasar penipu.
“Banyak yang bilang, bro ... lo bisa nipu orang lain tapi ga bisa nipu gue. Gue tahu lo dari semenjak kecil, luar dalem. Jadi jangan coba – coba nipu gue,”
“Ehm, sebelum ke tempat ini, gue liat dia lagi sama siswi pindahan dari SMA Keteng III di kelas II Sos. 4, mereka menuju ke ruang gamelan. Kalo ga salah namanya Cindy Permatasari sama yang satunya lagi Ma ... Ma ... gue lupa,”
“Maribeth,” sahutku, semenjak dua cewek itu datang Arimbi sering berkumpul bersama mereka. Hebat sekali mereka berdua padahal aku butuh waktu lama untuk menjalin persahabatan dengan Arimbi, “Baik, gue akan mencarinya sendiri daripada pria penipu macem lo ...” kataku sambil melangkah pergi sementara Erico hanya mengibas – ngibaskan tangan kanannya seakan menyuruhku pergi. Dia memang begitu, acuh tak acuh.
Ruang gamelan, ruang multimedia, lab bahasa, lab komputer, toilet dan semua tempat yang sering dikunjungi oleh Arimbi saat menyendiri, tapi, tak ada siapapun disana. Aku bertanya ke hampir semua siswa yang kujumpai, jawabannya selalu tidak memuaskan. Untuk kesekian kalinya aku mirip orang gila hanya demi mencari keberadaan Arimbi. Dan akhirnya, tibalah aku di sebuah tanah lapang sebelah timur sekolah dekat dengan ruang perpustakaan.
Aku melihat Arimbi, Cindy dan Maribeth duduk di bawah sebuah pohon cemara yang rimbun. Hm.. hawa di tempat ini cukup sejuk juga, hidungku bisa mencium aroma segar yang keluar dari dedaunan hijau tanaman – tanaman di sekelilingnya. Arimbi tampaknya menikmati suasana di tempat itu sekalipun masker masih menutupi hidung dan mulutnya. Yah, sejak kelas dua, ia memutuskan untuk mengenakan masker karena dimanapun ia berada selalu disajikan oleh pemandangan – pemandangan yang mengerikan. Ia tak peduli dianggap aneh oleh siswa – siswi lain juga para dewan guru. Ia hanya tak ingin melihat berbagai macam derita yang pernah terjadi di sekolah SMA Keteng II Banyuwangi ini di masa lampau. Ia bosan berlari, bosan menangis dan bosan karena rasa takut yang ada di dalam dirinya.
“Hei, kalian ternyata ada di tempat ini,” sapaku.
“Kau mencariku Alya ?” tanya Arimbi. Aku memonyongkan bibirku, “Kalian pandai sekali mencari tempat untuk menyendiri. Mengapa tak ajak aku sekalian ?”
“Kalau begitu aku minta maaf. Sebenarnya, aku hendak mengajakmu tadi, tapi, kau lagi berduaan dengan Erico jadi aku tak berani mengganggu,” goda Arimbi. Aku membelalakkan mataku, “Apa yang kau katakan, Freaks ?!” sahutku tanpa ada rasa kesal atau marah, buru – buru aku berlari dan menggelitik pinggang Arimbi sehingga membuat wanita itu tertawa terbahak – bahak, “Cukup ... cukup... aku hanya bercanda, Lya ...”
Aku menghentikan aksiku dan duduk di samping kiri Arimbi, “Untuk kali ini aku ampuni kau, freaks ... tapi, kenapa tiba – tiba kalian ada di tempat ini ? Boleh kutahu alasannya ?”
Belum lagi Arimbi membuka bibirnya, Cindy buru – buru menyahut, “Kak Alya, ya ... Kak Arimbi pernah bercerita bahwa kakak bisa juga melihat hal – hal yang tak kasat mata ?”
Aku memalingkan wajahku ke arah Arimbi, “Kau bercerita apalagi tentangku, Rim ? Lalu siapa ketiga anak kecil yang berdiri tak jauh dari Cindy ?” tanyaku sambil menunjuk ke sebelah kanan Cindy. Yah, aku melihat selain Arimbi, Cindy dan Maribeth masih ada 3 sosok lagi, yang jelas mereka bukanlah manusia.
“Kau juga melihatnya, Lya ?” tanya Arimbi,
“Mereka adalah sahabat – sahabat Cindy semenjak masih kanak – kanak. Sosok anak wanita dengan lingkaran hitam pada kedua matanya bernama INTAN. 2 bocah laki – laki itu adalah kakak – beradik Tobby dan Timmy,” jelas Arimbi.
“Mereka adalah teman – teman Cindy sejak kecil, kak ... kami selalu bersama – sama sampai sekarang,” Cindy menimpali. 3 sosok itu menganggukkan kepala, astaganaga Cindy ternyata mempunyai kemampuan seperti yang kami semua punya bahkan mampu bersahabat dengan mereka, benar – benar anak yang istimewa. Tak heran hampir semua orang – orang indigo rata – rata berkumpul di tempat – tempat yang jauh dari keramaian. Mereka asyik membicarakan urusannya masing – masing.
“Lya ... “ sapaan Arimbi menghentikan lamunanku, “Kami sebenarnya membicarakan tentang bagaimana caranya supaya aku bisa melepaskan diri dari gangguan wanita berbaju hijau yang menyaru sebagai ibuku,”
“Lalu, apa yang Cindy dan Maribeth sarankan ?” tanyaku.
“Aku butuh seseorang yang benar – benar bisa membantuku. Orang pintar. Kudengar kau punya kenalan orang pintar tersebut ?”
Aku mengernyitkan dahiku, berpikir keras mengembalikan semua memori tentang orang pintar / paranormal yang pernah kutemui semenjak mata batinku dibuka oleh Arimbi, hingga akhirnya tertuju pada sebuah nama, “KI PRANA, dialah orangnya. Mudah – mudahan bisa membantu,” sahutku, “Tapi, untuk menghubunginya kita butuh bantuan dari Erico, dia adalah sahabat karib Erico. Dia ada di halaman belakang sekolah,”
Arimbi dan yang lain tersenyum, “Tapi, apa kau tahu gossip yang saat ini beredar di sekolah kita ?” tanyaku mulai jahil.
“Apa itu ?” tanya Arimbi.
“Gossip tersebut adalah Erico sedang berpacaran denganmu, Rim,” sahutku. Arimbi membelalakkan matanya, belum sempat ia berkata apa – apa, aku sudah mendahuluinya, “Aku juga kena imbasnya, Rim ... aku malah disebut – sebut sebagai mak comblang kalian, menyebalkan,” Arimbi berdiri dan dengan sigap ia mencubit pahaku, “Aauuww, sakit ...” teriakku sambil membalas cubitannya, Arimbi juga berteriak kesakitan. Cubit – cubitan hingga kejar – kejaran pun terjadi, sementara Cindy dan Maribeth serta yang lain hanya melempar senyuman simpul. Kami bagaikan anak – anak kecil berebut manisan, tapi, biarlah kapan lagi aku bisa menggoda Arimbi seperti ini, kami menikmatinya.
***
Aku, Arimbi dan yang lain menemui Erico. Cowok sejuta ide dan gagasan itu masih saja menulis di halaman belakang sekolah. “Hei, dari venus untuk Rico di Bumi ... bisa didengar !” teriakku usil. Erico terperanjat, hingga pena yang menari – nari di permukaan kertas putih memaksa si penulis membuat goresan panjang, “Shit, kenapa lo selalu datang gangguin gue, sich ?!” seru Erico.
“Simpan emosimu, bro ... lihat siapa yang datang,” kataku sambil menggeser badanku dan Arimbi muncul membuat pria itu kikuk, hilanglah sudah emosinya saat berhadapan dengan sosok yang amat disukai semenjak pandangan pertama. Wajahnya merona sekali dan aku bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu di atas normal juga keringat dingin yang mengalir dari dahinya.
“A... Arimbi,” katanya salah tingkah.
“Aku minta maaf atas perbuatanku yang dulu, Rico,” ujar Arimbi.
“Eh ... Ehm... a...aku sudah melupakannya, kok, ga apa – apa. Saya yang salah,” kata – kata Erico, bagiku terdengar lucu. Di belakang Arimbi, berlagak sok berani, tapi di hadapannya ia mati kutu. Rasain, lu, Rico ...
“Rico, bolehkah aku minta bantuanmu ?” tanya Arimbi tenang, senyumnya membuat wajah Erico makin memerah.
“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Rim ?”
“Kudengar, kau bersahabat dekat dengan Ki Prana. Apa benar ?”
“I ... Iya, rumahnya tak jauh dari rumahku. Kalau boleh tahu untuk apa kau hendak bertemu dengannya ?”
“Dengar ... mungkin bagimu ini tidak masuk akal ... tapi, ini adalah kenyataan dan kuharap kau segera mempertemukanku dengannya,” penegasan Arimbi ini membuat Erico tak mampu berkata apa – apa lagi, “Baik. Kapan kau ingin bertemu dengannya,”
“Secepatnya. Lebih baik besok, mumpung sekolah sedang libur UTS,” sahutku dan Arimbi hanya bisa menganggukkan kepala, “Karena lo suka menulis cerita kayak gituan, siapa tahu bisa menambah ide cerita lo. Gue yakin karangan lo bisa best seller,” sambungku, “Bukankah semua yang lo tulis tokoh utamanya adalah wanita pujaan hati lo, Arimbi ?” bisikku dengan suara perlahan berharap supaya Arimbi tak mendengarnya tapi, “Lya, apa kau ingin kucubit lagi ? Jangan bicara sembarangan, dong,” Arimbi menyahut.
Aku berlagak blo’on, “Aku tidak membicarakanmu, Rim...” sengaja aku berbohong. Tapi, Arimbi menatapku dengan tajam, “Intan yang memberitahu, mengapa kau selalu usil, sich ?” sambil berkata demikian lagi – lagi jari jemarinya bergerak cepat mencubit pangkal lenganku. Kali ini aku benar – benar kesakitan, “Aduh ! Baiklah aku mengaku salah, jangan kaucubit lagi, sakit tahu ...” teriakku.
“Siapa itu Intan ?” tanya Erico.
“Lo ga tahu, ya ... selain kami masih ada teman – teman Cindy, tuh lihat dia berdiri di samping kanan lo ...” ujarku sambil menunjuk ke samping kanan Erico. Pria itu melompat ke kiri, “Jangan main – main, dong ...” teriaknya.
“Gue bersungguh – sungguh. Apa lo ga ngerasa kalau kaki kanan lo nginjek Timmy salah satu teman Cindy juga,” aku terus menggoda pria ceroboh itu hingga akhirnya ia berlari mendekatiku, “Serius, tadi gue rasa di sekeliling gue banyak sekali orang,” katanya, “Baiklah, gue akan menghubungi Ki Prana. Jangan main – main lagi. Kini ceritain mengapa gue harus menghubungi Ki Prana,”
Arimbi segera menceritakan perihal wanita berbaju hijau yang kerap kali datang dalam mimpi – mimpinya. Wanita itu sepintas terlihat ramah, penuh kasih sayang sorang ibu, tapi, kemudian berubah menjadi sosok yang menakutkan dan mencoba menyeretnya ke sebuah tempat yang gelap dan asing dimana ia tak mungkin bisa kembali. Arimbi ingin meminta pendapat dari Ki Prana mengenai hal tersebut. Erico mengangguk – anggukkan kepala entah dia paham atau pura – pura paham. Apapun alasannya ia harus segera menghubungi sahabat karibnya itu.
“Baiklah,” ucapan Erico ini tampak penuh semangat sepasang matanya berbinar – binar, apapun yang akan terjadi, ini adalah sebuah pengalaman yang paling berharga dalam hidupnya, “Kita bertemu di rumah
Arimbi besok pukul 5 sore,”
“Pukul 5 sore di rumah Arimbi,” sahutku, “Jangan – jangan lo ga tahu rumah Arimbi ? lo sudah mengenalnya hampir 3 tahun. Masa ga tahu rumah Arimbi di Banyuwangi ini ?” godaku.
“I Know ... I know... lo mau bareng gue atau berangkat sendiri ?”
“Kendaraan lo lebih bagus daripada punya gue. Boleh, dong sekali – kali numpang. Apa kamu keberatan, Rim ?” aku sengaja menabrakkan bahu kiriku ke bahu kanan Arimbi dan saat jari – jemari Arimbi kembali terjulur hendak mencubitku, buru – buru aku menjauh, “Maaf... maaf, Rim. Aku hanya bercanda,”
***