NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:349
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perjamuan

Hari-hari pertama di Sarang Tawon adalah sebuah baptisan api yang kejam. Tim yang terbiasa hidup dalam kemewahan steril Empress Tower kini harus beradaptasi dengan realitas yang brutal. Suara azan Subuh yang syahdu bercampur dengan teriakan para pedagang dan deru mesin diesel dari perahu-perahu nelayan yang berangkat. Udara pagi yang seharusnya segar terasa berat, dipenuhi oleh aroma laut yang asin, sampah yang membusuk, dan keputusasaan yang samar namun nyata dari ribuan jiwa yang hidup berdesakan di labirin gang-gang sempit ini.

Di tengah semua itu, "Dapur Alkemis" lahir.

Awalnya, warung tenda mereka disambut dengan kecurigaan. Di Sarang Tawon, tidak ada yang gratis. Setiap pemberian selalu datang dengan harga tersembunyi. Orang-orang berjalan melewati warung itu, melirik panci besar yang mengepulkan uap harum, mata mereka penuh dengan kewaspadaan yang telah mendarah daging. Mereka melihat seorang pria tampan yang tidak mereka kenali (Leo) memasak dengan keseriusan seorang maestro, seorang wanita cantik yang auranya terlalu agung untuk tempat ini (Isabella) memotong bawang dengan canggung, dan beberapa wajah sangar (Marco dan Si Kembar) yang berdiri mengawasi. Itu adalah sebuah anomali, dan di Sarang Tawon, anomali seringkali berarti bahaya.

Anak-anak adalah yang pertama kali memecahkan kebekuan. Didorong oleh rasa lapar yang mengalahkan rasa takut, sekelompok anak jalanan yang kurus dan dekil mendekat dengan ragu-ragu. Riko, dengan senyumnya yang paling ramah, berjongkok dan menyodorkan sebuah mangkuk kecil berisi soto ayam hangat.

"Coba saja, Dik," katanya lembut. "Tidak bayar."

Satu anak yang paling berani maju, mengambil mangkuk itu, mengendusnya, lalu menyeruput kuahnya. Matanya terbelalak. Itu mungkin adalah makanan terlezat dan paling bergizi yang pernah masuk ke perutnya. Dalam sekejap, seluruh mangkuk itu bersih. Melihat temannya baik-baik saja, yang lain pun ikut maju.

Momen itu adalah retakan pertama di dinding ketidakpercayaan. Para orang tua, yang melihat anak-anak mereka makan dengan lahap, mulai mendekat. Seorang ibu tua dengan punggung bungkuk menerima semangkuk soto dari Maya, dan air mata mengalir di pipinya yang keriput saat ia merasakan kehangatan kaldu itu. "Terima kasih, Neng," bisiknya.

Pada siang hari, antrean telah mengular di sepanjang gang. Leo bergerak seperti mesin, tidak pernah berhenti mengaduk, menambah bumbu, dan memastikan setiap mangkuk yang keluar memiliki kualitas yang sama. Ia tidak hanya memberi mereka makanan; ia memberi mereka sebuah pengalaman. Rasa hormat. Untuk pertama kalinya, mereka tidak diperlakukan seperti sampah masyarakat, tetapi sebagai tamu yang layak mendapatkan hidangan terbaik.

Isabella, yang pada awalnya merasa terhina dengan tugas memotong sayuran, perlahan mulai memahami. Ia mengamati wajah-wajah dalam antrean itu. Ia melihat kelelahan, keputusasaan, tetapi juga ketahanan yang luar biasa. Ia melihat cerminan dari dirinya sendiri di mata mereka—para pejuang yang telah dilupakan oleh dunia. Sebuah perasaan aneh mulai tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang bukan belas kasihan, melainkan... koneksi. Ia bukan lagi seorang Ratu yang memandang rendah rakyatnya dari menara gading. Ia adalah salah satu dari mereka, tangannya kapalan karena pisau, pakaiannya berbau bawang.

Bianca juga menemukan perannya. Ia berhasil merakit sebuah stasiun pengisian daya bertenaga surya dari panel-panel bekas dan aki mobil curian. Di tengah pemadaman listrik yang sering terjadi di Sarang Tawon, "Warung Charger Hantu" miliknya menjadi oase teknologi, di mana para remaja bisa mengisi daya ponsel butut mereka secara gratis. Ia menjadi pahlawan lokal dengan caranya sendiri.

Selama beberapa hari, "Dapur Alkemis" menjadi pusat dari kehidupan di Sarang Tawon. Itu adalah tempat di mana gosip menyebar, di mana anak-anak bisa tertawa aman di bawah pengawasan Marco yang galak namun baik hati, dan di mana orang-orang bisa merasakan secercah harapan.

Tapi harapan, seperti yang Leo tahu, adalah komoditas yang berbahaya. Dan itu tidak luput dari perhatian sang penguasa.

Pada hari kelima, saat antrean sedang paling panjang, mereka datang. Empat pria bertubuh besar dengan wajah penuh bekas luka dan tatapan mata yang kosong berjalan menerobos kerumunan, membuat orang-orang menyingkir dengan ketakutan. Mereka mengenakan jaket kulit hitam dengan lambang seekor bangau putih yang bergaya di punggungnya. Pasukan Bangau.

Pemimpin mereka, seorang pria dengan codet di pipinya, meludah ke tanah di depan warung. "Bisnis yang bagus," katanya dengan nada mengejek, matanya menatap Leo. "Pasti untungnya besar."

Marco langsung melangkah maju, tubuhnya yang besar menjadi perisai di depan Leo. "Ada masalah?" geramnya.

"Tidak ada masalah," kata pria bercodet itu sambil tersenyum sinis. "Hanya kunjungan rutin. Bisnis sebagus ini... pasti butuh perlindungan. Uang keamanan mingguan. Lima juta. Mulai hari ini."

Udara menjadi tegang. Orang-orang dalam antrean mulai mundur perlahan, tidak ingin terjebak dalam baku hantam yang tak terhindarkan.

Tapi Leo, dengan sangat tenang, meletakkan sendok supnya. Ia menyeka tangannya di celemek dan melangkah keluar dari belakang meja, melewati Marco. Ia tersenyum ramah pada pria bercodet itu.

"Tentu saja," kata Leo. "Setiap bisnis butuh lingkungan yang aman." Ia kemudian menoleh pada Riko. "Riko, tolong ambilkan empat mangkuk soto spesial. Porsi paling besar, pakai semua topping."

Para preman itu tampak bingung. Mereka datang untuk mengintimidasi, bukan untuk ditawari makan siang.

Leo menatap pemimpin mereka. "Maaf, kami belum menghasilkan uang. Tapi kami punya banyak soto. Silakan dinikmati. Anggap saja ini sebagai cicilan pertama." Ia berhenti sejenak, senyumnya tidak pernah luntur. "Dan tolong, sampaikan pesan pada bosmu, Bangau. Katakan padanya, aku bukan musuh. Aku seorang pebisnis, sama sepertinya. Dan aku punya proposal bisnis yang mungkin akan sangat ia minati. Aku ingin bertemu."

Sikap Leo yang tenang dan tak terduga itu melucuti semua agresi mereka. Mereka datang mengharapkan perlawanan, mendapatkan rasa hormat dan semangkuk soto yang aromanya sangat menggoda. Setelah ragu sejenak, pemimpin mereka mengangguk kaku. "Aku akan sampaikan pesanmu." Mereka mengambil mangkuk-mangkuk soto itu dan pergi, meninggalkan kerumunan yang menatap dengan takjub.

Leo telah menghadapi sekelompok serigala lapar, dan alih-alih melawan, ia justru memberi mereka makan.

Berita tentang kejadian itu menyebar seperti api di Sarang Tawon. Orang baru ini, si Koki, ia tidak takut pada Bangau. Tapi ia juga tidak menantangnya. Ia melakukan sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa mereka pahami.

Dua hari kemudian, sebuah undangan datang. Bukan dalam bentuk surat, tetapi dalam bentuk seorang anak kecil yang menyerahkan sebuah kartu remi—Raja Sekop—kepada Leo. Di baliknya tertulis: "Malam ini. Pukul 10. Balai Biliar Naga. Datang sendiri. Berdua."

Undangan dari Sang Bangau.

Malam itu, suasana di ruko persembunyian mereka tegang. "Ini jebakan," kata Pak Tirta. "Dia akan membunuh kalian berdua saat kalian melangkah masuk."

"Aku harus pergi," kata Leo. "Ini satu-satunya cara untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaannya."

"Kalau begitu kami akan mengepung tempat itu," kata Marco. "Jika terjadi apa-apa, kami akan menyerbu masuk."

"Tidak," kata Leo tegas. "Itu akan memicu perang. Kita akan pergi sesuai permintaannya. Hanya aku dan Isabella. Kita harus menunjukkan bahwa kita tidak takut, dan kita datang dengan hormat. Percayalah pada rencanaku."

Malam sebelum pertemuan itu adalah malam yang panjang dan penuh ketidakpastian. Mereka tahu bahwa hidup mereka bergantung pada kemampuan Leo untuk bernegosiasi dengan seorang psikopat. Setelah semua anggota tim yang lain tertidur, atau pura-pura tidur, Leo dan Isabella duduk berdua di kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya remang dari lampu jalanan di luar.

"Kau yakin tentang ini?" bisik Isabella.

"Tidak," jawab Leo jujur. "Tapi ini adalah langkah yang harus kita ambil."

Ia menatap Isabella. Di tengah lingkungan yang kumuh dan berbahaya ini, di tengah hilangnya semua kemewahan mereka, entah bagaimana, Isabella tampak lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada lagi gaun desainer atau perhiasan yang mengalihkan perhatian. Yang tersisa hanyalah kekuatannya yang mentah, matanya yang berapi-api, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan yang ia tunjukkan dengan berada di sisinya di tempat terkutuk ini.

Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Isabella. "Terima kasih," bisiknya.

"Untuk apa?"

"Karena mempercayaiku."

Keintiman di antara mereka malam itu adalah sesuatu yang sunyi dan dalam. Tidak ada kata-kata yang berlebihan. Hanya ada pemahaman dari dua jiwa yang telah terikat oleh takdir yang paling aneh. Di atas kasur tipis mereka yang reyot, dengan suara-suara malam Sarang Tawon sebagai musik latar mereka, mereka menemukan pelarian dalam pelukan satu sama lain.

Gairah mereka bukan lagi sebuah ledakan, melainkan sebuah bara api yang menyala stabil dan hangat. Itu adalah sebuah tindakan yang menegaskan kehidupan di tengah bayang-bayang kematian yang mungkin menunggu mereka esok hari. Itu adalah cara mereka saling menyerap kekuatan, saling mengingatkan akan apa yang mereka perjuangkan. Sentuhan mereka penuh dengan kelembutan yang lahir dari perjuangan bersama. Ciuman mereka adalah sebuah janji tanpa kata. Adegan cinta mereka adalah sebuah oasis kedamaian di tengah gurun kekacauan, sebuah momen yang terasa suci karena kejujurannya. Itu "panas" bukan karena aksinya, tetapi karena kebenarannya—dua orang yang telah kehilangan segalanya kecuali satu sama lain, menemukan surga mereka di tengah neraka.

Balai Biliar Naga adalah jantung kegelapan dari kerajaan Bangau. Bau bir murah, asap rokok kretek yang pekat, dan testosteron memenuhi udara. Musik dangdut koplo berdentum dari speaker yang usang. Setiap sudut ruangan dipenuhi oleh preman-preman bertato, mata mereka mengikuti setiap langkah Leo dan Isabella saat mereka masuk.

Mereka diantar melewati meja-meja biliar yang ramai ke sebuah pintu di bagian belakang. Di baliknya, terdapat "ruang takhta" Bangau. Ruangan itu sederhana, hanya ada satu meja poker besar, beberapa kursi, dan sebuah kulkas tua yang berdengung.

Bangau duduk di kepala meja, tidak melakukan apa-apa, hanya mengamati mereka dengan senyumnya yang tenang dan meresahkan. Ia kurus, hampir seperti kerangka, dan mengenakan kemeja batik sederhana. Ia sama sekali tidak terlihat seperti seorang raja preman, dan itulah yang membuatnya sangat menakutkan.

"Selamat datang di istanaku," kata Bangau, suaranya lembut. "Silakan duduk. Mau minum?"

"Kami baik-baik saja," kata Isabella dingin.

"Aku dengar kau punya proposal bisnis untukku, Koki," kata Bangau, matanya kini tertuju pada Leo.

Leo duduk, tampak santai. "Benar. Bisnisku adalah memberi makan orang. Bisnismu... adalah mengendalikan mereka. Aku lihat ada potensi sinergi."

"Sinergi?" Bangau tertawa pelan. "Itu kata yang besar untuk seorang tukang soto."

"Aku bukan sekadar tukang soto," kata Leo. "Sama sepertimu yang bukan sekadar preman."

Leo memulai penawarannya. Ia tidak menawarkan uang atau senjata. Ia menawarkan sesuatu yang jauh lebih berharga.

"Kau adalah raja di Sarang Tawon, Bangau," kata Leo. "Tapi duniamu kecil. Kau dibatasi oleh para pemain besar di luar sana. Polisi yang selalu melecehkanmu, para politisi yang memerasmu, para pemasok yang menipumu. Kau adalah seekor ikan besar di kolam kecil yang airnya terus-menerus dikuras."

Bangau berhenti tersenyum. Leo telah menyentuh sarafnya.

"Aku bisa memberimu akses ke lautan," lanjut Leo. "Aku punya koneksi. Koneksi finansial di luar negeri yang bisa mencuci uangmu hingga bersih berkilau. Koneksi logistik yang bisa membawakanmu barang apa pun yang kau inginkan, dari mana pun di dunia, tanpa melewati pelabuhan busuk di utara itu. Aku bisa mengubahmu dari seorang raja preman menjadi seorang pebisnis internasional."

Bangau menatapnya lekat-lekat. "Kenapa kau melakukan ini? Apa untungnya bagimu?"

"Aku butuh basis operasi," jawab Leo jujur. "Aku butuh tempat yang aman dari musuh-musuhku. Musuh-musuh yang jauh lebih besar darimu. Aku akan memberimu dunia, sebagai gantinya kau memberiku tempat berlindung di duniamu. Dan aku butuh orang-orangmu. Bukan untuk bertarung, tapi untuk membangun. Membangun jaringan distribusi, membangun sistem komunikasi. Aku ingin mengubah Sarang Tawon ini dari sebuah sarang preman menjadi sebuah perusahaan yang efisien."

Tawaran itu begitu ambisius, begitu gila, hingga membuat Bangau terdiam.

"Kau banyak bicara, Koki," kata Bangau setelah hening yang panjang. "Tapi bicara itu murah. Aku butuh bukti."

"Tentu saja," kata Leo, seolah sudah menduganya. Di sinilah pertaruhan utamanya. "Anggap saja ini sebagai uang muka, sebagai tanda itikad baik."

Ia menggeser sebuah ponsel burner ke seberang meja. "Besok malam, tepat pukul satu dini hari, sebuah tim dari unit khusus negara—bukan polisi biasa—akan menyerbu gudang utamamu di Kali Adem. Mereka tahu tentang pengiriman senjata rakitan yang baru saja tiba dari Filipina. Mereka akan masuk melalui atap dan pintu depan secara bersamaan. Mereka akan menangkap semua orang dan menyita semua barang."

Wajah Bangau mengeras. Informasi itu terlalu spesifik, terlalu akurat. Bagaimana koki ini bisa tahu?

"Kosongkan gudang itu malam ini," kata Leo. "Pindahkan semua barang dan orang-orangmu. Biarkan mereka menemukan sarang yang kosong. Itu akan membuat atasan dari unit itu terlihat sangat bodoh. Dan itu akan membuktikan padamu bahwa informasi yang kumiliki lebih berharga daripada semua senjata di gudangmu itu."

Bangau menatap Leo, lalu ke Isabella, lalu kembali ke Leo. Matanya yang tenang kini berkilat dengan perhitungan yang dingin. Ini bisa jadi jebakan terbesar dalam hidupnya. Atau kesempatan terbesar.

"Baiklah, Koki," katanya perlahan. "Aku akan lihat apakah informasimu ini benar."

Leo dan Isabella mulai berdiri, merasa telah berhasil.

"Tunggu," kata Bangau, menghentikan mereka. "Ada satu hal lagi. Sebagai jaminan. Untuk memastikan ini bukan jebakan di mana kau melaporkanku ke polisi saat aku sedang memindahkan barang-barangku."

Ia menatap Isabella dengan senyumnya yang meresahkan. "Ratu-mu yang cantik akan tinggal di sini bersamaku. Sebagai tamu. Sampai besok malam, setelah 'penyerbuan' itu terjadi, atau tidak terjadi."

Udara di ruangan itu terasa membeku. Marco dan Pak Tirta, yang mendengarkan melalui komunikator, langsung bersiaga di luar.

"Itu tidak akan terjadi," kata Leo dingin, tangannya siap bergerak.

"Kalau begitu, tidak ada kesepakatan," balas Bangau santai. "Dan kalian berdua tidak akan pernah berjalan keluar dari pintu ini hidup-hidup."

Ini adalah skakmat. Leo tidak akan pernah meninggalkan Isabella sebagai sandera. Tapi menolak berarti perang terbuka yang akan membunuh mereka semua.

Saat Leo sedang berpacu dengan otaknya mencari jalan keluar, Isabella tertawa. Tawa yang jernih, merdu, dan penuh dengan arogansi seorang Ratu. Tawa itu begitu tak terduga hingga membuat Bangau dan anak buahnya terkejut.

"Kau pikir aku butuh perlindungan?" katanya pada Bangau, matanya berkilat geli. Ia kemudian menoleh pada Leo, senyumnya penuh dengan kepercayaan diri yang mutlak. "Aku akan tinggal. Buktikan ucapanmu, Alkemis."

Ia dengan sukarela menawarkan dirinya sebagai sandera. Sebuah pertaruhan yang luar biasa, sebuah pertunjukan kepercayaan total pada rencana Leo.

Wajah Bangau menunjukkan kekaguman yang tulus. "Kau punya wanita yang luar biasa, Koki."

Leo menatap Isabella, sebuah percakapan tanpa kata terjadi di antara mereka. Ia mengangguk pelan. "Jaga dia baik-baik, Bangau. Jika sehelai rambut saja jatuh dari kepalanya sebelum aku kembali, aku tidak akan hanya mengambil bisnismu. Aku akan mengambil jiwamu."

Dengan ancaman terakhir itu, Leo berbalik dan berjalan keluar dari balai biliar itu sendirian, meninggalkan Ratunya di sarang ular. Semuanya kini bergantung pada satu hal: apakah intelijennya benar? Apakah Hartono, sang agen ganda, memberinya informasi yang akurat? Atau apakah ia baru saja membuat kesalahan paling fatal dalam hidupnya? Perasaan saat berjalan menjauh dari Isabella, meninggalkannya dalam bahaya, adalah perasaan terburuk yang pernah ia rasakan. Revolusi mereka kini bergantung sepenuhnya pada kebenaran dari satu bisikan di dunia bayangan.

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!