NovelToon NovelToon
Terjerat Pernikahan Kontrak

Terjerat Pernikahan Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kumi Kimut

Romantis - Komedi

"Gak bisa Will, kita cuma nikah sementara kan? Bahkan ibumu juga benci sama aku?" -Hania-

"Tapi hamilmu gak pura-pura, Han? Aku bakal tanggung jawab!" -William-

***

Kisah dimulai saat Hania terpaksa menerima tawaran sang bos untuk menjadi istri kontraknya tapi setelah satu bulan berlalu, Hania mabuk karena obat perangsang yang salah sasaran dan mengakibatkan Hania hamil!

Bagaimana kisah ini berlanjut? Akankah Hania menerima pinangan kedua kali dari suami kontraknya atau kembali pada mantan tunangan yang sudah tobat dan ingin membahagiakannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kumi Kimut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Andra masih duduk di kursi, tubuhnya tampak kaku meski matanya kosong menatap ke arah cangkir kopi yang sudah lama dingin. Kata-kata Dani terus terngiang di kepalanya, memukul bertubi-tubi rasa bersalah yang belum juga pudar. Tapi setiap kali wajah Hania muncul di ingatannya—senyumnya, tatapan matanya, bahkan suaranya yang lembut—hati Andra justru makin terasa terbakar.

“Tidur, Ndra. Udah malam. Kamu butuh istirahat,” ucap Dani, suaranya terdengar setengah malas tapi juga penuh ketegasan. Ia sudah terbiasa menghadapi kebandelan sahabatnya itu. “Besok kalau kamu masih kepikiran, ya sudah. Tapi jangan begadang cuma buat nyiksa diri.”

Andra mengangkat kepalanya, menatap Dani yang sudah kembali merebahkan diri di ranjang. Namun bukannya menjawab, ia malah berdiri. Tangannya meraih jaket yang tergantung di kursi, lalu menyampirkannya ke bahu.

“Ndra? Hei, kamu mau kemana?” Dani bangkit separuh tubuh, menatap curiga.

Andra hanya menghela napas, suaranya rendah, hampir seperti gumaman. “Aku… butuh udara. Nggak bisa diem di sini.”

Sebelum Dani sempat menahan, Andra sudah membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu apartemen menutup pelan, meninggalkan Dani yang hanya bisa mengusap wajahnya frustasi.

“Gila nih orang… jangan sampai dia bikin masalah lagi,” gumam Dani sambil kembali menatap langit-langit kamar. Meski begitu, kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya. Ia tahu betul, sekali Andra dikuasai perasaan, pikirannya sering kali tak terkendali.

Udara malam kota menyambut Andra dengan dingin yang menusuk. Ia berjalan tanpa arah, hanya membiarkan kakinya melangkah di trotoar yang sepi. Lampu jalan berderet, cahaya kuningnya menyoroti langkah yang semakin cepat.

Di kepalanya, satu kalimat terus berputar: Hania bahagia nggak sih sekarang?

Andra merogoh saku jaketnya, mengambil rokok, lalu menyalakan satu batang. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tapi itu tidak membuat sesaknya berkurang.

Ia berhenti di sebuah taman kecil di tengah kota. Bangku besi kosong menunggu, dan Andra menjatuhkan tubuhnya di sana. Rokoknya hampir habis, tapi pikirannya makin bergejolak. Ia mengingat gala dinner tadi—tatapan Hania yang sekilas sempat bertemu dengan matanya. Ada kehangatan yang dulu ia kenal, tapi juga ada jarak yang tak bisa ditembus. Dan di sampingnya, William. Lelaki itu memegang tangan Hania seolah tak akan pernah melepaskan.

Andra mengepalkan tangan. “Apa dia benar-benar bahagia sama William?” gumamnya.

Sebuah suara tiba-tiba memecah lamunannya. “Kamu nggak akan pernah tenang kalau terus nanya hal itu, Ndra.”

Andra menoleh cepat. Seorang pria tua, tukang parkir yang sering mangkal di sekitar taman, berdiri tak jauh darinya sambil merapikan rompi lusuhnya. Ia tersenyum samar, lalu berjalan pelan melewati Andra.

Kata-kata sederhana itu menusuk lebih dalam dari yang Andra kira. Seakan dunia pun ikut menegurnya.

Ia mengembuskan napas panjang, mematikan sisa rokoknya di aspal. Matanya menatap kosong ke arah langit kota yang kelabu, tanpa bintang.

Namun jauh di dalam hati, tekad itu justru semakin keras. Kalau dia bahagia, aku akan lihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalau ternyata nggak… aku akan pastikan dia balik sama aku.

Andra berdiri dari bangku, memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. Malam masih panjang, dan pikirannya belum menemukan jawaban. Ia melangkah lagi, meninggalkan taman itu—menuju entah ke mana, dengan bara api yang belum padam di dadanya.

Di apartemen, Dani masih gelisah. Ia menatap pintu yang tertutup rapat sambil menghela napas berat. “Semoga aja lo nggak bikin kekacauan baru, Ndra…”

Dan entah kenapa, firasatnya mengatakan badai baru akan segera datang.

___

Sementara itu, di sebuah bar kecil di sudut kota, Andra duduk seorang diri. Gelas whiskey setengah penuh ada di tangannya. Matanya merah, bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena kurang tidur. Ia tidak pulang semalaman.

Bayangan Hania terus menghantui pikirannya. Bagaimana gadis itu tersenyum di samping William, bagaimana William memperlakukan Hania seolah dialah segalanya. Rasa sesak itu terus menghantam dadanya.

“Apa dia… semalam sama dia?” gumam Andra, suaranya serak, penuh kemarahan bercampur penyesalan.

Tangannya mengepal kuat, hampir meremukkan gelas di genggamannya. Aku nggak bisa biarin Hania sepenuhnya jadi milik William. Dia dulu milikku. Aku harus dapetin dia lagi.

Pikiran itu berputar, menguat, menyalakan api yang semakin besar di dalam dirinya.

Bartender yang melihat Andra hanya bisa menggeleng. “Pak, kalau sudah terlalu banyak, mending istirahat dulu.”

Tapi Andra tidak mendengar. Matanya kosong, pikirannya hanya dipenuhi satu nama: Hania.

___

Di Hotel ...

Esok paginya, sinar matahari menyelinap lewat celah tirai tipis kamar hotel tempat mereka menginap setelah acara semalam. Hania terbangun lebih dulu. Tubuhnya masih terasa lelah, namun hatinya dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan. Ia menoleh pelan ke samping, menatap wajah William yang masih terlelap.

Wajah itu tampak damai, tenang, bahkan lebih lembut dibanding saat pria itu tengah sibuk dengan urusan bisnisnya. Hania menggigit bibir bawahnya, tak percaya bahwa dirinya sudah begitu jauh melangkah. Malam tadi, batas antara kontrak dan perasaan nyata seolah lenyap begitu saja.

“Will…” bisiknya lirih, hampir seperti takut kalau suara itu akan membangunkan pria yang ada di sampingnya. Jemarinya terulur, menyentuh pelipis William dengan lembut. Hatinya berdebar keras. Aku beneran jatuh cinta sama kamu…

Mengingat kembali detik-detik semalam, pipi Hania merona. Ia tak menyangka dirinya menyerahkan kesucian pada pria yang awalnya hanya status “bos”-nya, kemudian menjadi suami kontrak. Kini semua itu terasa berbeda. Tidak ada lagi paksaan, tidak ada lagi pura-pura—setidaknya dari pihaknya. Hania tahu, hatinya sudah benar-benar memilih William.

William menggeliat kecil, matanya perlahan terbuka. Tatapannya yang masih berat oleh kantuk langsung bertemu dengan sorot mata istrinya. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Pagi, Han…” suaranya berat, serak, tapi hangat.

Hania buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. “P-pagi…” jawabnya terbata.

William tertawa kecil, lalu tangannya terulur menarik tubuh Hania ke dalam pelukan. “Kamu kenapa? Malu sama aku?” tanyanya setengah menggoda.

“Bukan… cuma… aku masih nggak percaya ini semua nyata,” gumam Hania, suaranya hampir tak terdengar.

William menatapnya serius. “Ini nyata, Han. Apa yang kita lewati semalam, apa yang aku rasain… itu semua nyata. Aku janji, aku nggak akan pernah anggap itu cuma bagian dari kontrak.”

Kata-kata itu membuat hati Hania hangat. Ia menatap William, kali ini berani membiarkan matanya terkunci pada sorot mata suaminya. Ada keyakinan yang tumbuh di sana, sesuatu yang membuat rasa takutnya perlahan menguap.

___

William baru saja ingin menarik Hania lebih dekat ketika nada dering ponselnya memecah suasana tenang pagi itu. Ia mendengus kesal, meraih ponsel di nakas tanpa benar-benar melihat siapa yang menelepon. Namun begitu nama Bu Ragna muncul di layar, wajahnya langsung berubah masam.

“Kenapa harus sekarang sih…” gumamnya dengan nada jengkel.

Hania yang masih berada dalam pelukan William menatapnya cemas. “Itu… Ibu, kan?” tanyanya pelan.

William mendesah panjang, jari-jarinya seakan enggan menekan tombol hijau. “Aku lagi nggak pengen dengar suaranya, Han. Pasti ada aja yang dia komplain. Aku males.”

Hania mengelus lengan suaminya, mencoba menenangkan. “Will, bagaimanapun dia tetap ibumu. Mungkin ada hal penting. Kamu nggak bisa terus-terusan menghindar.”

William menatap wajah istrinya lama, seakan ingin mencari alasan untuk tidak mengikuti sarannya. Namun sorot mata Hania yang lembut, penuh keyakinan, perlahan meluluhkan kekerasan hatinya.

Dengan enggan, ia menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel ke telinga. “Halo, Bu…” suaranya terdengar dingin.

“Halo, William. Akhirnya kamu angkat juga telepon Ibu. Dari tadi malam Ibu coba hubungi kamu,” suara Bu Ragna terdengar tegas dari seberang. “Kamu sibuk apa sampai susah sekali dihubungi?”

William memejamkan mata, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. “Maaf, Bu. Aku lagi ada urusan.”

Hania menatapnya penuh perhatian, jemarinya menggenggam tangan William erat, memberi kekuatan diam-diam.

“Urusan apa? Jangan bilang sama perempuan itu lagi!” nada suara Bu Ragna meninggi. “William, kamu tahu sendiri Ibu tidak pernah setuju dengan hubungan ini. Ibu sudah siapkan calon yang jauh lebih pantas buat kamu. Anak pengusaha besar, latar belakang jelas, bisa dukung karier kamu—”

“Cukup, Bu.” William akhirnya memotong dengan suara berat. “Aku sudah bilang berkali-kali, pilihan hidupku ada di tanganku. Bukan di tangan Ibu.”

Hening sesaat di ujung telepon, lalu suara Bu Ragna terdengar lebih dingin. “Kamu akan nyesel, William. Perempuan itu cuma bikin kamu jatuh. Dia bukan kelasmu.”

William ingin menjawab dengan keras, tapi genggaman Hania di tangannya mengingatkannya untuk tetap tenang. Hania menggeleng pelan, memberi isyarat agar William tidak meladeni lebih jauh.

Dengan napas panjang, William menutup pembicaraan. “Aku menghargai pendapat Ibu, tapi keputusan ada padaku. Kalau Ibu nggak bisa terima, aku nggak bisa memaksa. Sekarang aku tutup teleponnya.”

Klik. Sambungan terputus.

Suasana kamar kembali sunyi. William menatap layar ponselnya, lalu meletakkannya dengan kasar di meja. “Aku benci setiap kali dia merendahkan kamu, Han. Aku benci dia nggak pernah lihat siapa kamu sebenarnya.”

Hania tersenyum lembut, meski hatinya sempat tersayat oleh ucapan Bu Ragna yang sempat ia dengar samar. “Aku nggak apa-apa, Will. Aku tahu posisi aku di mata Ibumu. Tapi yang penting… kamu ada di sisiku. Itu sudah cukup.”

William memeluknya erat, menenggelamkan wajahnya di bahu Hania. “Kamu sabar banget, Han. Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu, meski harus melawan siapa pun. Bahkan Ibu sekalipun.”

Di pelukan itu, Hania menutup mata, mencoba menenangkan hatinya sendiri. Namun jauh di dalam, ia sadar, pertarungan mereka belum berakhir. Kehadiran Bu Ragna bisa saja menjadi badai besar yang menguji cinta mereka.

"Iya Will, aku percaya sama kamu kok, hanya saja aku ...."

"Ada apa Han?"

***

Bersambung ...

1
Eva Karmita
Andra kamu harus nya bersyukur punya teman seperti Dani yg selalu bisa menasehati kamu supaya hidup dijln yang lebih baik lagi, plisss dengerin nasehatnya..,, jarang sekali ada sahabat sebaik Dani mau jadi teman curhat yg baik.. dan biarkan Hania hidup bahagia dan tenang bersama William
KumiKimut: iya nih kak, awas saja kalau kebanyakan ganggu
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr
Eva Karmita
Tom and Jerry ini namanya lanjut thoooorr 🔥💪🥰
KumiKimut: iya kak, mas mksih udah mampir ya
total 1 replies
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!