Terjerat Pernikahan Kontrak
Hania berada di dalam kamar pengantin bersama sang suami. Sang gadis hanya bisa duduk sambil mer3mas ujung sprei tanpa tahu apa yang harus dilakukan setelahnya.
Sang suami, William, hanya memandang dari balik cermin. Dia memperhatikan Hania. Karena merasa tidak ada obrolan, William berinisiatif untuk memulai.
"Kamu sekarang menantu keluarga William, cobalah untuk menerimanya. Toh ibumu sudah mulai menjalani operasi jantung dan keadaannya baik-baik saja kan? Apa yang kamu takutkan?" ucap William masih fokus di depan cermin sambil melepaskan jas hitamnya.
Hania masih diam. Seolah malas untuk menanggapi obrolan dari sang suami.
"Han? Kita hanya menikah selama satu tahun. Kamu akan hidup berkecukupan. Soal ibumu, aku bisa menjaminnya. Dia akan baik-baik saja selama kamu tidak melawan."
Kata-kata ini memicu pandangan sinis dari Hania. Dia mulai beranjak dari posisi duduknya lalu menatap wajah sang suami.
"Bagaimana dengan ibumu? Beliau hampir saja membuatku celaka. Dia benci padaku, Pak."
"Huft! Soal ibuku, tenang saja. Aku akan membereskannya. Dia hanya kesal karena aku menikah denganmu, bukan dengan wanita pilihannya. Zahra terlalu menempel, aku tidak suka."
"Lalu? Kenapa harus aku yang menanggung beban ini, ha? Coba jelaskan?"
"Karena kamu satu-satunya orang yang membenciku. Kamu tidak akan pernah jatuh cinta padaku meksipun setahun penuh berada di sisiku. Sudahlah, Hani. Lebih baik kamu tidur. Besok, kamu harus duduk bersamaku di meja makan untuk sarapan. Jangan hiraukan Ibu dan Weni, mereka memang seperti itu."
"Cih, menikah saja dengan dirimu sendiri, Pak! Kalau bukan karena ibuku yang sedang sekarat, mana mau aku nikah sama pria sialan sepertimu! Kontrak? 1 tahun? Ini lebih dari penjara yang bapak ciptakan karena selama 5 tahun bekerja, aku selalu menjadi yang terbaik meski harus menentang mu!"
"Hahaha terserah apa katamu, aku mandi dulu. Aku harap kamu juga mandi, apa mau mandi bersamaku?"
"Cih, jangan harap! Aku tidak sudi!"
___
Satu jam berlalu ...
Malam di kamar pengantin yang megah, tidak seperti malam sebelumnya. Hania merasa susah tidur. Meski sang bos sudah tidur, dia enggan untuk menutup mata.
"Huft, apa keputusan untuk menikah kontrak dengan Pak William adalah sebuah kesalahan?" batinnya terus berpikir. Hania merasa kalau keputusan ini terlalu cepat, hanya karena ibunya. Tapi, saat berada di situasi genting, anak mana yang tidak ingin ibunya hidup?
Hania belum bisa menerima keputusannya sendiri. Tidurnya tidak tenang.
Ponsel William tiba-tiba berdering, Hania bodo amat saat William membuka mata dan menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa? Kenapa telepon malam-malam? Tahu waktu gak sih?" ucap William kesal.
"Maaf Pak Will. Ada proyek yang harus ditandatangani. Saya sudah kirim lewat email, tapi kok bapak belum merespon. Jadi, saya terpaksa menelepon," jawab sang sekretaris, Pak Demon.
"Astaga, ya ya Mon. Kalau bukan karena kamu, aku udah ngamuk. Oke, ada kerjaan lain?" cetus William menunda kemarahan demi tandatangan.
"Tidak ada Pak, itu saja."
"Hm."
William melirik ke arah Hania yang memunggunginya. Dia tersenyum smrik sambil membuka email di ponselnya.
Setelah selesai tanda tangan, William mendekati sang istri. Pria itu duduk sisi lain ranjang, tidak hanya duduk, ternyata lama-lama William rebahan di samping Hania.
Seketika Hania terperanjat. "Hey! Mau apa kamu, Pak? Kalau sampai kamu berani menyentuhku, aku habisi kamu, Pak!" seru Hania dengan suara tinggi, tubuhnya spontan menegang saat merasakan ranjang berguncang karena William merebahkan diri di dekatnya.
William hanya tertawa kecil. Tawanya sinis namun tenang, seperti seseorang yang tahu dia sedang memegang kendali.
"Kamu terlalu tegang, Han. Kita ini pasangan suami-istri sekarang. Aku hanya tidur. Di atas ranjangku. Dengan istriku. Salah?" bisiknya pelan namun dingin di telinga Hania.
Hania langsung menggeliat menjauh, tapi lengan William yang kuat tiba-tiba melingkar di pinggangnya, menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Hania berontak sekuat tenaga, mendorong, menendang, mencakar, namun pelukan itu tidak longgar sedikit pun.
"Lepas! Aku bilang lepas! Dasar pria gila! Kamu pikir karena kita sudah menikah aku jadi milikmu, ya? Kamu pikir aku ini barang, ha?!"
William tidak menjawab. Ia hanya menatap wajah Hania yang penuh amarah di bawah cahaya lampu temaram. Ada senyum tipis di wajahnya. Senyum yang menyebalkan, membuat Hania ingin menamparnya berkali-kali.
"Kamu selalu berisik saat marah, seperti dulu saat kita berdebat di kantor. Tapi aku suka," katanya santai, nadanya terdengar enteng seolah mereka sedang bercakap ringan di balkon, bukan dalam situasi canggung di malam pertama mereka.
Hania mendesis marah. “Aku benci kamu!”
William tertawa pelan. Tawa yang dalam dan penuh ejekan. Suaranya menggema pelan di kamar yang sunyi.
"Hahaha... Kamu memang lucu kalau marah. Benci banget ya sampai mau cabik-cabik aku?" ucapnya sembari akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuh Hania.
Dengan cepat, Hania langsung bangkit dari ranjang, wajahnya merah padam, bukan karena malu—tapi karena muak. Napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, jelas-jelas menahan emosi yang hampir meledak.
"Dasar psikopat! Kamu pikir semua bisa kamu kendalikan, ya?! Hidup orang! Harga diri orang!" makinya sambil meraih bantal dan selimut.
William hanya mengangkat satu alis, masih rebahan santai dengan satu tangan di belakang kepala, tubuh tegapnya tetap di atas ranjang, tak tergoyahkan sedikit pun oleh kemarahan Hania.
"Kalau kamu tidak bisa tidur denganku, setidaknya jangan buat drama, Han. Sudah larut. Besok kamu harus senyum manis depan keluargaku. Main peran kan jagonya kamu," katanya dengan suara malas namun tajam.
Hania mendengus. “Lebih baik tidur di jalanan daripada satu ranjang sama kamu, Pak!”
Tanpa menunggu respon William, Hania berbalik menuju sofa besar di sisi kamar. Ia melemparkan bantal ke sana dengan kasar lalu menjatuhkan diri, membungkus tubuhnya dengan selimut setengah hati.
Sofa itu jelas tak sebanding empuknya dengan ranjang, tapi untuk malam ini, jauh lebih baik daripada harus mendengar napas William di dekat telinganya.
William hanya mengamati dari ranjang, mata tajamnya mengikuti gerak Hania yang kini rebahan memunggunginya lagi. Lalu, ia menarik napas panjang, menutup matanya perlahan.
Dasar pria licik, dia hanya ingin tidur di ranjangnya dengan cara menyuruhku pergi tanpa mengusir! Pria aneh!"
___
Pagi harinya, meja makan ...
Hania dan William duduk berdampingan. Bu Ragna dan anak kedua bernama Weni, menatap tajam ke arah Hania.
"Peraturan pertama di rumah ini adalah menantu tidak boleh mencuci piring, memasak, menantu hanya boleh berbelanja dan mempercantik diri. Meski aku tidak suka dengan istrimu, setidaknya aku masih berbaik hati, Will."
"Lakukan sesukamu, Ibu. Tapi, jangan sampai membuat istriku merasa tidak nyaman saat tinggal di rumah ini. Istriku adalah wanita paling aku cintai. Ibu paham kan kalau aku sudah cinta? Bahkan ibu saja tidak akan pernah bisa menghentikan ku, anda paham nyonya Ragna?"
"William! Hati-hati dengan mulutmu! Bagaimana bisa kamu begitu kasar sama ibu karena cinta butamu pada gadis ini? Sadar Will! Dia lintah darat!"
***
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
2025-08-11
1