Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.
Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."
Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Keributan di tengah pasar malam
"Alden kemana ya? Kok lama banget." ujar Dania kepada Rani. Pasalnya temannya itu berpamitan pergi ke toilet, tapi sudah 30 menit lamanya ia tak kunjung kembali.
"Iya, lama banget." balas Rani sambil menoleh ke sekeliling berharap temannya itu segera tiba, mereka harus segera pulang karena suasana sudah semakin larut.
"MAKSUD LO APA ALBIAN?!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berteriak tidak jauh dari tempat mereka duduk.
"Itu, bukannya suara Alden ya?" tanya Rani. "Iya, itu suara Alden. Kenapa ya dia?" ujar Dania khawatir.
Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berlari ke arah suara. Dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat Alden sedang bertengkar dengan seseorang yang sama sekali tidak mereka kenali.
Beberapa orang berusaha untuk melerai pertikaian keduanya. Tapi, musuh Alden itu terlihat sangat agresif dan tidak peduli dengan situasi sekitar.
"Ada apa ini ribut-ribut?!" ujar seorang petugas keamanan yang menghampiri.
"Awas lo!" ujar pemuda berbadan atletis itu sambil menunjuk ke arah Alden. Alden hanya menatapnya dengan tatapan tajam, rahangnya mengeras dan nafasnya masih memburu.
"Ini tempat umum!! Jangan membuat keributan di sini!!" ujar petugas keamanan kepada kedua pemuda yang terlibat pertengkaran itu.
"Iya, maaf Pak." ujar Alden meminta maaf tapi tatapan matanya masih tertuju pada Albian.
Albian melepaskan cengkraman tangan orang-orang yang memeganginya, lalu ia berjalan pergi begitu saja dengan wajah yang merah padam.
"Sudah, bubar-bubar!" ujar petugas keamanan itu, melihat banyaknya orang yang masih berkerumun di sana.
Satu persatu orang meninggalkan tempat itu, meninggalkan Alden sendirian di sana. Dania dan Rani langsung menghampiri dengan tatapan khawatir.
"Alden, kamu gapapa?" tanya Dania khawatir.
"Gapapa kok," ujar Alden dengan nada yang masih sedikit kesal. Ia menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan diri.
"Dia tadi siapa Alden? Ganteng sih, tapi parah banget." ujar Rani dengan gelengan kepala.
"Albian, salah satu orang yang membenci ku saat sekolah. Dan dia juga orang dibalik fitnah yang aku dapatkan dulu." jelas Alden dengan helaan nafas berat.
"Jadi dia penyebab kamu putus sekolah?" tanya Dania mengingat Alden pernah mengatakan demikian sebelumnya.
Alden mengangguk perlahan, kilasan matanya masih menunjukkan emosi setelah pertengkaran tadi.
Sementara Rani, gadis itu terkejut karena ia tidak tahu bahwa Alden putus sekolah. Ia mengira bahwa Alden sudah tamat sekolah dan memilih berjualan untuk menghilangkan status pengangguran.
Tapi ternyata dugaannya salah. Alden belum tamat sekolah melainkan putus sekolah karena beberapa ulah orang yang tidak menyukainya.
"Kamu yakin mereka yang menyebar fitnah?" tanya Rani kemudian.
"Aku tahu mereka yang melakukannya. Karena aku dengar dan lihat sendiri apa yang mereka katakan saat itu." ujar Alden.
Dania dan Rani sama-sama terkejut, keduanya terdiam tanpa kata. Mereka berdua tidak percaya bahwa Alden mengalami kehidupan yang rumit di masa lalu.
"Udah malam, ayo pulang. Orang tua kalian pasti khawatir," ujar Alden di sela-sela keheningan.
"Iya, udah larut juga." ujar Rani. "Iya, tapi kamu gapapa?" ujar Dania yang masih terlihat khawatir.
"Gapapa, aman kok. Cuma luka kecil aja," balas Alden santai.
Dania mengangguk perlahan, mereka bertiga berjalan meninggalkan area pasar malam, menuju rumah masing-masing.
Konflik dengan Albian, sebenarnya hanya karena masalah sepele. Tapi, karena Albian yang terus memprovokasi tentang ayahnya membuat Alden terbawa emosi.
Alden sudah terbiasa dengan ejekan dan hinaan tentang dirinya. Tapi, Alden tidak bisa menerima jika ayahnya dijelekkan oleh Albian, meskipun Alden sendiri merasakan sakit dan kekecewaan yang mendalam terhadap ayahnya.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
"Lho, ibu belum tidur?" ujar Alden ketika ia membuka pintu kontrakannya.
Ibunya yang duduk sendirian di sofa, langsung menoleh ke arahnya. "Belum, nak. Firasat ibu tidak enak sedari tadi. Apa kamu baik-baik saja?"
Alden terkejut, ia tidak menyangka bahwa ibunya mempunyai feeling yang tepat dengan apa yang Alden alami saat ini. Naluri seorang ibu, memang tidak pernah meleset jika itu tentang buah hatinya.
"Terus ini lagi, kenapa?" tanya ibunya sedikit meninggi ketika menunjuk sudut bibir Alden. "Nak? Ayo jawab ibu, kamu baik-baik aja kan?" ujar ibunya, melihat Alden yang hanya bungkam.
Alden menghela nafas, ia melangkahkan kakinya dan duduk di samping ibunya. "Tidak begitu baik, Bu."
Alden mengambil jeda untuk sejenak dan ia bisa melihat wajah ibunya yang cemas. "Tadi aku bertengkar lagi dengan Albian." lanjutnya.
"Ya Allah, nak... Anak itu lagi? Apa lagi yang dia lakukan, nak..." ujar ibunya sambil mengelus dada.
"Seperti biasa Bu, dia cari gara-gara. Untung saja orang-orang melerai kami berdua. Kalo enggak mungkin udah kelewat batas, Bu." ujar Alden tidak menjelaskan tentang penyebab ia dan Albian bertengkar.
"Kamu harus berhati-hati dengan anak itu, Alden. Ibu gak mau kejadian dulu terulang lagi." ujar ibunya.
Alden tersenyum lalu mengangguk perlahan. "Aku ngerti Bu. Aku ke kamar dulu ya, Bu." pamitnya hanya diangguki singkat oleh ibunya.
Setibanya di kamar, Alden langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya. Ia memandangi langit-langit kamarnya.
Perasaannya terasa campur aduk, antara bahagia bisa menghabiskan waktu dengan kedua temannya. Tapi di lain sisi, ia merasa emosi dengan sifat Albian yang selalu semena-mena.
Alden sudah sangat sabar menghadapi pemuda itu. Tapi, semakin Alden bersabar Albian justru semakin memuncak.
Alden bisa saja membalas perbuatan Albian. Tapi, untungnya apa bagi Alden? Alden tidak ingin mengotori tangan dan mulutnya hanya karena terbawa emosi.
"Biarlah waktu yang akan membalas," batinnya.
Alden melihat jam di dinding kamarnya, menunjukkan pukul 01.00. Sudah larut malam, tapi Alden tidak bisa memejamkan matanya.
Alden memutuskan untuk mengambil buku bacaan di atas mejanya. Mengesampingkan tentang pikirannya sejenak.
Ting!
Saat fokus membaca, Alden mendapatkan sebuah pesan dari Dania. Alden mengernyitkan dahi, sudah jam segini seharusnya Dania sudah tidur.
"Alden, apa kamu udah tidur?"
"Belum. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Besok sekolah, kan?" balas Alden.
"Gapapa, belum ngantuk aja. Lukanya udah di kompres?"
Dania mengetikkan balasan dengan penuh kepedulian membuat sudut bibir Alden tertarik sedikit.
"Kamu khawatir ya?" dengan bodohnya Alden mengetikkan balasan itu.
"Udah tau khawatir, malah ditanya!"
Balas Dania dengan nada kesal, Alden tiba-tiba merasa gugup dan jantungnya berdegup kencang.
Alden sendiri merasa bingung harus mengetikkan balasan apa. Perhatian Dania kali ini membuatnya benar-benar kehabisan kata-kata.
Alden mengetikkan balasan, tapi ia langsung menghapusnya kembali. Gugup, entah kenapa Alden tiba-tiba terasa sangat gugup ketika membaca pesan terakhir dari Dania.
Jarinya ingin mengetikkan balasan lagi, tapi pesan dari Dania lebih dulu muncul di layar ponselnya.
"Tidur lagi, Alden. Udah malam, semoga besok lebih baik ya!"
Alden terpaku, menatap layar ponselnya dan lagi-lagi mendapati pesan penuh kepedulian dari Dania.
Alden sudah terbiasa dengan sifat Dania yang peduli, karena memang pribadinya yang seperti itu. Tapi, kali ini Alden merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mulai mengambil alih perasaannya.
Alden menggelengkan kepalanya, menepiskan pikiran aneh yang mulai menguasai dirinya. Setelah beberapa saat, akhirnya Alden mengetikkan balasan kepada Dania.
"Iya, makasih Dania. Kamu juga istirahat, besok sekolah lho."
Setelah mendapatkan balasan pesan dari Dania, lalu Alden menyimpan ponselnya. Ia menutup bukunya dan menyandarkan tangannya di atas bantal.
"Dania... Kamu membuatku merasa sedikit berbeda," gumamnya lirih pada dirinya sendiri.
^^^Bersambung...^^^