NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 #Makan Malam

Makan malam pun tiba, tuan muda Nadeo dan Aliza turun ke ruang makan. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan cahaya hangat, memantul indah di permukaan meja panjang yang sudah tertata rapi. Di atas meja, terhidang sebuah steak dengan potongan daging tebal, masih mengepulkan aroma harum yang membuat perut siapa pun langsung bergejolak ingin mencicipinya. Aroma mentega dan rempah yang meresap sempurna seakan menari-nari di udara, mengundang cacing di perut untuk segera diberi makan.

Aliza menelan ludahnya pelan, menahan diri agar tidak terlihat terlalu bernafsu. Sedangkan tuan muda Nadeo hanya duduk dengan wibawa khasnya, meraih pisau dan garpu seakan setiap gerakannya sudah diatur oleh elegansi.

“Duduklah,” ucapnya tenang namun penuh tekanan.

Aliza menurut, menarik kursi perlahan sebelum akhirnya menundukkan kepala. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena lapar, tapi juga karena harus makan semeja dengan tuan muda yang penuh wibawa itu.

Tidak ada suara apa pun, hanya dentingan sendok dan pisau yang terdengar mengisi ruangan luas itu. Suasana begitu kaku, hingga setiap gerakan kecil pun terasa jelas.

Tiba-tiba, Nyonya Claudia membuka suara, memecah keheningan.

“Nadeo,” ucapnya sambil menaruh sendok dengan pelan di piring. Tatapannya beralih penuh wibawa pada putranya. “Minggu depan Clara akan kembali dari luar negeri. Mama ingin kamu menjemput dan membawanya ke rumah ini.”

Aliza yang sedang menunduk seketika menegang. Jari-jarinya yang memegang garpu hampir gemetar. Nama itu—Clara. Ia belum pernah mendengarnya langsung, tapi entah mengapa ada rasa asing yang mendadak menusuk dadanya.

Nadeo, yang sedari tadi tampak tenang, menghentikan potongan steaknya di tengah jalan. Rahangnya mengeras, namun ia tidak langsung menjawab. Hanya tatapan dingin matanya yang melirik singkat ke arah Aliza, sebelum kembali menatap ibunya.

Keheningan kembali merayap, tapi kali ini lebih berat dari sebelumnya. Dentingan garpu yang menyentuh piring terdengar nyaring di telinga Aliza, membuatnya semakin menunduk, tak berani menatap siapa pun.

Tuan muda Nadeo meletakkan pisau dan garpunya perlahan. Wajahnya tegas, matanya dingin namun menyimpan bara yang hampir tak terbendung.

“Jangan pernah sebut nama wanita itu di hadapanku, Ma,” ucap Nadeo dengan suara berat namun jelas. Setiap katanya bagaikan palu yang menghantam meja makan. “Aku sudah menikah… dan tolong hargai istriku di rumah ini.”

Aliza sontak terdiam kaku, jantungnya berdebar tak karuan. Ia tak pernah membayangkan akan mendengar pembelaan sebesar itu dari suaminya, di depan sang nyonya besar. Ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir di dadanya, bercampur dengan rasa takut akan reaksi selanjutnya.

Nyonya Claudia menatap putranya dengan sorot mata tajam. Urat halus di pelipisnya tampak menegang, menandakan ia menahan amarah.

“Kamu berani membantah Mama demi perempuan itu, Nadeo?” tanyanya dingin, nada suaranya menusuk.

Udara di ruang makan menjadi semakin sesak. Aliza hanya bisa menggenggam ujung roknya erat-erat, mencoba menahan gemetar.

Nyonya Claudya menarik napas panjang, bibirnya melengkung tipis seperti senyum yang dingin. “Mama tahu semuanya, Nadeo. Semua sandiwara yang kamu mainkan—pura-pura mencintai perempuan itu, pura-pura bahagia. Padahal yang sebenarnya kamu lakukan adalah membalas dendam pada Clara karena dia pergi ke luar negeri. Mama juga tahu kamu masih mencintainya. Ingat, Nadeo, Mama hanya ingin Clara jadi menantu satu-satunya, bukan perempuan itu.”

Dinding ruang makan seolah menyempit. Suara langkah pelayan di latar belakang teredam oleh ketegangan; hanya napas yang terdengar berat. Aliza merasa seakan semua mata menempuhnya seperti panah. Wajahnya memucat, namun ia berusaha tetap diam—tak sanggup menjawab hinaan yang tak langsung ditujukan padanya.

Nadeo menatap ibunya lama; matanya yang biasanya penuh kendali kini berkilat. Ada api di sana, tapi juga sesuatu yang lain—keputusan yang telah lama dipendam. Ia berdiri tiba-tiba, kursi menggesek lantai, dan semuanya terdiam menunggu ledakan.

Nadeo memotong ucapan Nyonya Claudya dengan tegas, suaranya rendah namun melebar memenuhi ruang makan sehingga semua orang terhenti.

“Cukup, Ma. Aku ingin makan dengan tenang.” Ia mengangkat dagu menatap lurus ke arah ibunya, tatapannya sejuk tapi tak bisa disalahartikan. “Ingat, ini rumahku. Semua kebutuhan Mama—aku yang tanggung. Jadi jangan pernah sekali-kali mengatur urusan pribadiku. Kalau Mama tidak suka, silahkan pergi dari rumah ini.”

Keheningan menempel sejenak; hanya suara jam dinding yang berdetak tajam. Wajah Nyonya Claudya memerah—antara marah dan tercengang. Tangannya yang semula memegang sendok mengepal pelan. Para pelayan menunduk, ragu untuk bergerak, sementara Aliza merasakan napasnya tercekat oleh campuran takut.

Nyonya Claudya menelan ludah. Ia menatap putranya, menilai, mencari celah. Sesaat tampak ada kerut di dahinya—sebuah janji yang belum padam. “Kamu berani sekali, Nadeo,” bisiknya, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk orang lain. Lalu ia menghela napas panjang, menundukkan kepala seolah menimbang pilihan.

Di meja, suasana berubah: dari perang terbuka menjadi ketegangan yang mendidih di bawah permukaan.

Nadeo sudah selesai makan dan berdiri dari kursinya. Kursi kayu berderit pelan saat ia mendorongnya ke belakang. Aliza yang masih baru saja menyentuh separuh makanannya refleks ikut berdiri, menunduk sopan, takut jika ia dianggap tidak menghargai.

Namun langkah Nadeo terhenti. Ia menoleh, menatap piring Aliza yang masih menyisakan daging dan sayuran. Sorot matanya tajam namun penuh makna.

“Habiskan makanmu,” ucapnya tegas, suaranya dalam menusuk keheningan. “Aku tidak suka melihat orang membuang makanan… karena itu semua hasil dari kerja kerasku.”

Aliza terdiam, matanya melebar. Ada sesuatu di balik kata-kata itu—bukan hanya teguran, tapi juga ajaran, juga rasa tanggung jawab yang ia pikul sebagai seorang suami. Ia menunduk, jemarinya sedikit gemetar saat kembali duduk. “Ba… baik, Tuan,” jawabnya lirih, hampir tak terdengar.

Nadeo menatapnya sebentar, lalu melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar tertinggal di udara. Aliza pun menunduk lagi, menekan dadanya yang berdebar hebat. Di satu sisi ia merasa ditegur, tapi di sisi lain, entah kenapa ada rasa hangat—seolah Nadeo benar-benar ingin ia belajar menghargai setiap hal, sekecil apa pun.

Sementara itu, dari ujung meja, Nyonya Claudya hanya tersenyum tipis, tatapannya menusuk seperti belati. “Kita lihat saja… sampai kapan kamu bisa membuatnya merasa berharga, Nadeo,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar oleh siapa pun.

1
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!