NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di antara salju dan senja

Salju terus menurunkan butir-butir dinginnya sepanjang perjalanan hingga rombongan tiba di sebuah penginapan tua yang berdiri di tepi jalan berbatu. Bangunannya sederhana, berdinding kayu gelap yang mulai dimakan usia, tapi cukup kokoh untuk menampung para prajurit yang berjaga dan para tawanan yang kelelahan. Di luar, api unggun kecil menyala, menebarkan cahaya jingga yang bergulat dengan kabut putih yang kian menebal, seolah berusaha menolak kegelapan malam.

Rosella tidak pernah benar-benar sadar bagaimana ia dibawa masuk. Tubuhnya terkulai di pelukan prajurit, rambut pirangnya basah menempel pada wajah pucatnya. Hanya sesekali terdengar helaan napas berat, lalu sunyi kembali menguasai.

Ketika kelopak matanya mulai bergetar, dunia tampak kabur. Aroma kayu bakar yang merayap dari perapian bawah memenuhi inderanya, bercampur dengan wangi logam dingin dari perisai yang diletakkan di sudut ruangan. Rosella membuka mata perlahan, tubuhnya masih lemah, kepalanya berdenyut seperti dihantam ribuan palu. Pandangannya langsung tertumbuk pada sosok tinggi yang berdiri di dekat jendela kamar penginapan.

Orion.

Duke itu bersandar santai pada dinding, mantel hitamnya menjuntai menutupi sebagian lantai kayu. Dari balik jendela yang terbuka, angin malam membawa serpihan salju masuk, menempel di pundaknya sebentar sebelum cair. Senyumnya tipis, lebih mirip guratan sinis daripada keramahan, dan sorot matanya yang tajam membuat udara di dalam kamar terasa lebih dingin daripada di luar.

Rosella terlonjak kecil—refleks tubuhnya menegang. Pusing menyerang saat kepalanya berusaha menoleh, membuatnya meringis sambil menahan sisi pelipis. Tatapannya tertuju pada jendela yang terbuka lebar, tempat butiran salju jatuh bebas. Napasnya memburu. Ada sesuatu di dalam dirinya ... bekas luka lama yang membuat dadanya sesak hanya dengan melihat putih itu menutupi dunia.

“Jangan .…” Suaranya nyaris berbisik, serak. “Tutup jendelanya .…”

Orion mengangkat alis, menundukkan kepala sedikit, seolah tengah menahan tawa yang ingin keluar. “Ah …,” ujarnya perlahan, nada suaranya sengaja dipanjangkan. “Jadi benar, kau takut pada salju?”

Rosella memalingkan wajah, berusaha keras mengatur napas, tapi tubuhnya gemetar. Ia menatap lantai, tidak ingin pria itu membaca kelemahannya. Namun justru itulah yang membuat Orion semakin tertarik.

Dengan langkah tenang, ia menghampiri jendela. Satu tangan kokohnya mendorong daun kayu itu hingga menutup rapat, menghentikan desiran angin dingin yang merayap masuk. Ia menoleh, sudut bibirnya terangkat dalam senyum miring yang penuh ejekan.

“Seorang putri yang lahir di Vermont,” katanya, suaranya terdengar dingin namun penuh sindiran. “Tapi takut pada salju? Ironis sekali.”

Rosella menelan ludah, matanya bergetar. Ia ingin membantah, ingin melawan, tapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Meski begitu, ada api yang masih bersemayam di matanya. “Aku bukan takut,” jawabnya lirih tapi tegas. “Aku hanya muak dengan dinginnya.”

Orion melangkah mendekat, sepatu botnya berderak di lantai kayu. Ia berhenti tepat di sisi ranjang, menunduk menatap Rosella yang masih terbaring. Jemarinya terulur, menyibakkan helai rambut pirang yang menempel di pipi gadis itu. Sentuhan dingin logam cincin di jarinya membuat Rosella meringis pelan.

“Kau boleh memilih kata apa pun untuk menutupi kelemahanmu,” bisiknya rendah, hampir seperti bisikan rahasia di telinga. “Tapi tubuhmu berbicara lebih jujur daripada mulutmu, Rosella.”

Rosella menoleh menatapnya tajam, meski matanya berkaca-kaca karena ketakutan yang berusaha ia tekan. “Dan kau ...!” Suaranya bergetar, “Seorang Duke yang bangga pada darah dinginnya, tapi masih menyempatkan diri mengawasi tawanan yang pingsan. Itu juga ironis, bukan?”

Untuk sesaat, Orion terdiam. Tatapan birunya menajam, seolah menimbang kata-kata itu. Lalu ia tersenyum, kali ini lebih lebar, tapi tetap dengan hawa dingin yang sama. Ia berdiri tegak kembali, menyilangkan tangan di dada.

“Tidurlah, Putri. Esok masih panjang,” ucapnya akhirnya. “Dan jangan khawatir … aku akan pastikan jendelanya tetap tertutup. Tidak ada salju yang akan menyentuhmu malam ini, kecuali aku menginginkannya.”

Kalimat itu terucap samar, seperti racun yang menetes pelan. Rosella membeku mendengar kata-kata itu. Sejenak ia merasa jantungnya berhenti, lalu berdetak terlalu cepat seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Jemarinya meremas selimut kasar yang menutupi tubuhnya, bukan karena dingin, tapi karena perasaan asing yang bercampur antara takut, muak, dan benci.

Ia mencoba bangkit, tubuhnya bergetar menahan lemah. Sikutnya menopang kasur jerami, tapi rasa pusing membuat pandangannya berkunang. Orion hanya berdiri memerhatikan, tidak menolong, tidak juga menghentikan. Matanya tajam, seolah menikmati setiap detik perjuangan Rosella melawan kelemahannya sendiri.

“Jangan kira aku akan roboh hanya karena salju.” Suara Rosella lirih tapi penuh perlawanan. “Aku masih bisa berdiri, bahkan di hadapanmu.”

Orion terkekeh pendek, suara rendah itu mengisi kamar kecil, bercampur dengan bunyi kayu yang berderit. “Berdiri?” Ia melangkah maju, bayangannya menutup cahaya lilin. “Kau bahkan nyaris jatuh hanya karena mencoba bangun dari ranjang lusuh ini.”

Rosella menegakkan tubuh dengan sisa tenaganya. Keringat dingin membasahi pelipis, wajahnya pucat, tapi sorot hazel di matanya tetap membara. “Lebih baik jatuh berkali-kali, daripada hidup dalam kendali seseorang sepertimu.”

Hening sejenak. Orion menatapnya tajam, lalu mendekat dan duduk di tepi ranjang. Jemarinya terulur, menekan pelan dagu Rosella agar menoleh padanya.

“Lihat mataku, Rosella,” bisiknya rendah. “Apa yang kau lihat?”

Rosella menahan napas. Tenggorokannya tercekat, tapi ia tetap menjawab, suaranya bergetar namun jelas. “Aku melihat seorang pria yang bersembunyi di balik kekuasaan, tapi takut mengakui bahwa dirinya hanya manusia biasa.”

Orion terdiam sepersekian detik, sebelum akhirnya terkekeh pelan. Tawanya dingin, namun samar ada nada getir di dalamnya. Ia menunduk lebih dekat, jarak wajah mereka hanya sejengkal dari Rosella.

“Berani … tapi bodoh,” gumamnya. “Kau benar-benar menarik, Rosella.”

Ia lalu berdiri, meninggalkan tepi ranjang, dan berjalan menuju kursi kayu di sudut kamar. Kursi berderit pelan saat ia duduki, mantel hitamnya jatuh teratur di sisi. Ia menyilangkan tangan di dada, menatap Rosella yang masih terengah.

“Jangan coba-coba kabur,” ucapnya datar. “Kau terlalu lemah untuk menapaki lantai ini, apalagi melawan badai di luar. Jika kau jatuh, aku tidak berniat repot menjemput mayatmu dari tumpukan salju.”

Rosella menatapnya dengan napas berat. Matanya menyala, meski tubuhnya gemetar. Suaranya pelan tapi tajam, memecah sunyi yang menekan.

“Kau tidak takut aku mati … kau hanya takut kehilangan permainanmu.”

Kata-kata itu jatuh bagai belati, menebas udara. Senyum miring Orion kembali muncul, perlahan tapi jelas. Ia tidak membantah. Hanya memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya menusuk, dan untuk sesaat, ada kilatan samar antara kagum dan terusik di balik dinginnya mata biru itu.

Sunyi merambat kembali. Lilin di meja bergoyang, sumbunya pendek, nyaris padam. Angin merayap dari celah dinding, membawa suara berderit kayu yang terdengar seolah menjadi saksi ketegangan di kamar itu.

Rosella akhirnya merebahkan diri lagi, menarik selimut hingga ke dagu. Matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kayu yang kusam, menolak menyerah pada rasa pusing. Dalam hatinya ia berjanji, suatu hari ia akan membalikkan permainan itu, menjadikan sang Duke yang sekarang mencibirnya merasakan rasa takut yang sama.

Orion masih duduk di kursi, tegak, tenang, namun tatapannya tak pernah benar-benar meninggalkan gadis itu. Jemarinya mengetuk sandaran kursi pelan, berirama dengan detak waktu yang terasa terlalu lambat.

Malam itu panjang. Salju turun tanpa henti di luar jendela, menelan dunia dalam putih pekat. Tapi dingin paling menusuk bukan datang dari luar melainkan dari tatapan dua pasang mata yang saling menantang dalam kamar sempit itu.

~oo0oo~

Rasa kantuk akhirnya menyeret Rosella masuk ke dalam. Napasnya melambat, tubuhnya terlelap, namun wajahnya tetap tegang. Keningnya berkerut, jemari tipisnya mencengkeram selimut lusuh seolah ada sesuatu yang membebaninya. Dari kursi di sudut kamar, Orion mencondongkan tubuh, menyipitkan mata. Ia tahu itu bukan tidur yang damai, gadis itu sedang dipeluk mimpi.

Dalam tidurnya, Rosella mendapati dirinya berada di hamparan luas. Bukan salju, bukan kabut perang, melainkan padang musim gugur. Langit senja berwarna jingga keemasan, pepohonan berjajar jauh di sana, melepaskan dedaunan merah dan emas yang berguguran pelan. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah yang menenangkan, berbeda jauh dari pengap dan dinginnya penginapan.

Ia berdiri di tengah padang itu, linglung, matanya bergetar. “Di mana … ini?” pertanyaan itu hanya bergaung di dalam kepalanya.

Lalu ia melihat sosok itu.

Seorang perempuan berdiri di ujung padang, diterpa cahaya senja. Rambutnya panjang, pirang pucat, berkilau seperti benang emas. Wajahnya lembut—wajah yang selama ini hanya pernah Rosella lihat di lukisan tua di aula istana. Jantungnya berdegup kencang, dadanya sesak. Itu … ibunya.

“Ibu .…” Suaranya tercekat, mata Rosella langsung basah oleh air yang membanjiri pelupuk. Kakinya bergerak tanpa sadar, melangkah maju. “Apakah benar … ini kau?”

Perempuan itu tersenyum samar. Tatapannya hangat, penuh kasih sayang—sejenis kehangatan yang selama ini hanya jadi bayangan dalam doa-doa seorang anak. Ia mengangkat tangannya perlahan, seolah memanggil Rosella untuk mendekat.

Rosella berlari kecil, dedaunan beterbangan di sekelilingnya. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya. “Aku … aku tidak pernah mengenalmu,” isaknya pecah di udara. “Aku hanya melihatmu di lukisan. Tapi hatiku selalu … selalu merindukanmu .…”

Tangannya terulur, hampir menyentuh jemari lembut itu. Namun angin tiba-tiba berembus kencang, dedaunan terangkat, dan sosok itu mulai memudar. Panik merayapi Rosella. “Jangan pergi!” jeritnya. “Sekali saja, biarkan aku merasakan bahwa aku punya seorang ibu!”

Sosok itu tetap tersenyum. Bibirnya bergerak, melafalkan satu kata, penuh kasih.

“Rosella .…”

Dan seketika, padang musim gugur runtuh. Cahaya jingga lenyap. Hanya kegelapan yang tersisa.

Di ranjang penginapan, tubuh Rosella bergeliat kecil. Bulir air mata jatuh dari sudut matanya, mengalir di sepanjang pipi pucat itu. Ia tidak bergumam, tidak menjerit—hanya menangis dalam diam, wajahnya dipenuhi kerinduan yang tak pernah terjawab.

Orion berdiri. Langkahnya pelan namun mantap saat ia mendekat, bayangannya menelan cahaya lilin yang hampir padam. Ia berhenti di sisi ranjang, menunduk menatap wajah Rosella. Gadis yang di hadapannya selalu berani melawan, kini tampak rapuh hanya karena seorang anak perempuan yang merindukan ibunya.

Jemari Orion terangkat, sempat ragu di udara. Lalu perlahan, ia mengusap air mata yang masih hangat di pipi Rosella. Sentuhan itu ringan, hampir tak nyata, seolah ia sendiri tak mengerti alasan di balik tindakannya.

Mata birunya berkilat aneh. Sudut bibirnya terangkat samar, bukan ejekan, bukan senyum hangat, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya, sulit ditebak.

“Menarik …,” bisiknya lirih, nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kau berjuang mati-matian melawan aku, tapi hatimu justru melawan dirimu sendiri.”

Ia menarik kembali tangannya, berdiri tegak, lalu melangkah kembali ke kursi di sudut ruangan. Tatapannya tidak pernah lepas dari gadis itu.

Di luar, salju turun tiada henti, menelan malam.

Di dalam kamar, Duke Orion duduk diam terlalu lama, matanya menyimpan sesuatu yang bahkan ia sendiri mungkin belum siap akui.

.

.

.

Bersambung ....

Hello guys, gimana kabar kalian? Thanks yang udah setia baca cerita ini jangan pernah bosen ya. Support aja dalam diam kalian semoga aku nggak berhenti bikin cerita di tengah jalan🤭

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!