The War Duke'S Prison Flower
“Bawa dia pergi.”
Perintah itu meluncur dari bibir Duke Orion dengan dingin yang membuat darah siapa pun membeku. Tidak ada penekanan suara, tidak ada teriakan, hanya datar—tapi justru karena itu setiap kata terasa lebih mematikan daripada ayunan pedang. Tatapannya menusuk, begitu dingin, nyaris tanpa kehidupan. Ruangan besar itu seketika sunyi, seolah udara sendiri enggan berani bergerak.
Rosella gemetar, tubuhnya rapuh seperti dedaunan yang diterpa badai. Ia menggeleng cepat, matanya basah penuh air yang jatuh berderet dari sudutnya. Rambut pirang panjang yang biasanya tertata kini berantakan menutupi wajah pucatnya, gaun lusuh putih melekat basah oleh keringat dingin di tubuhnya yang menggigil.
“T–tidak! Tuan Duke! Kumohon … jangan!” suaranya pecah, memohon dengan nada penuh putus asa. “Aku akan melakukan apa pun … apa pun yang kau perintahkan … asal jangan serahkan aku pada mereka!”
Namun lelaki itu—sosok yang memegang nasib ratusan jiwa—tetap diam. Wajahnya bagaikan batu, tak sedikit pun terguncang oleh ratapan di hadapannya. Bahkan sekilas, seolah matanya tidak benar-benar melihat Rosella, melainkan menatap tembus melewati dirinya.
Salah seorang jenderal maju, langkahnya berat. Valdrosh Duskbane. Tubuh besar dan kasar itu berdiri seolah gunung menjulang, rambut gondrong kusutnya jatuh ke bahu, dan sorot matanya memandang Rosella dengan jijik bercampur api nafsu. Senyum miringnya terbentuk, senyum pria yang terbiasa merampas tanpa pernah peduli pada jeritan korban.
“Tuan Putri Rosella yang tidak terhormat,” katanya, nadanya penuh olok-olok. Ia mendekat, menunduk sedikit, menatap gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan yang membuat kulit merinding. “Kau masih berani memohon kepada lelaki yang bahkan tak sudi menyebut namamu dengan hormat? Kau ini bukan siapa-siapa. Kau tawanan perang. Itu saja.”
Tawa kasar terdengar dari sisi lain, disusul suara berat penuh ejekan. “Hahaha! Benar! Daripada membusuk di ruang dingin ini, bukankah lebih baik dia berguna … menemani kita di tenda sebelah? Hm?”
Rosella menjerit, histeris, tangannya meraih kaki meja di sampingnya, mencengkeram erat seakan benda mati itu adalah jangkar terakhir untuk menyelamatkannya. Kukunya menancap begitu keras hingga retak, darah tipis mulai keluar. Tubuhnya ditarik ke belakang oleh tangan-tangan kasar para prajurit, gaunnya terseret, lututnya menghantam lantai batu, tapi ia tetap mencoba bertahan.
“Tuan Duke! Kumohon! Jangan biarkan ini terjadi padaku!” suaranya parau, bercampur tangis.
Namun, sang Duke tetap tak menoleh, tak berkata apa pun. Diamnya adalah hukuman. Diam yang lebih kejam daripada sepuluh ribu cambukan.
Rosella meronta sekuat tenaga, tapi sia-sia. Jeritan terakhirnya memecah udara, namun tak ada yang menghiraukan. Ia diseret keluar ruangan, kukunya mencakar lantai, meninggalkan goresan samar bercampur darah di sepanjang jalannya.
Malam itu adalah awal dari neraka.
~oo0oo~
Hari demi hari, bulan demi bulan, Rosella hidup bukan sebagai manusia, melainkan sebagai boneka yang direnggut tanpa ampun. Tubuhnya dirusak, harga dirinya dihina, jiwanya dilumat hingga hampir tak bersisa. Ia tidur di kandang kuda, makan dari sisa-sisa basi yang dilempar penjaga. Rambut pirang yang dulu berkilau berubah jadi belitan kusut. Kulitnya pucat, matanya kosong.
Enam bulan. Atau mungkin enam tahun. Waktu tak lagi punya arti.
Namun satu hal tetap tersisa, ia masih bernapas. Meski seharusnya ia sudah mati berkali-kali, Rosella bertahan.
Sampai malam itu. Malam hujan yang mengguyur seperti ratapan langit, malam di mana dingin merayap ke tulang.
Di kandang kuda, ia kembali dipaksa. Veyrund, Kaelric, Valdrosh—serigala-serigala yang sama. Mereka menyerang, menertawakan, menghina. Tapi kali ini, Rosella berbeda.
Ia tidak menangis.
Tidak menjerit.
Tidak memohon.
Ia diam.
Tangan kurusnya bergerak perlahan, meraih gunting besar berkarat yang tergeletak di sisi kandang. Dan saat tubuh besar Veyrund menindihnya—gunting itu menancap dalam ke leher pria itu.
Jeritan menggema. Darah memercik, mengalir deras, membasahi jerami dan wajah Rosella. Tubuh raksasa itu tumbang, menghentak lantai dengan dentuman berat.
Namun kebebasan singkat itu hanya sesaat. Kaelric menghantam wajahnya dengan keras, dan Valdrosh, dengan geram, menusukkan belati ke perut Rosella.
Tusukan itu membuat tubuhnya melengkung, napasnya tercekat. Darah hangat mengalir deras, membasahi gaun lusuhnya. Rosella jatuh, tubuhnya gemetar di antara lumpur dan hujan yang masuk melalui celah atap kandang.
Tapi bukan luka itu yang paling menyakitkan.
Tangannya bergetar meraba perutnya—dan saat itulah ia merasakan denyut halus yang melemah. Kehidupan kecil di dalam rahimnya … anaknya.
Air mata bercampur hujan mengalir di pipinya. Senyum getir terukir di bibirnya, senyum terakhir yang penuh kutukan.
“Bahkan … jika aku harus menjadi hantu … aku akan membalas dendamku pada kalian semua …!”
Itulah sumpah terakhirnya. Dunia merenggut segalanya, tapi dendam itu tertanam, tumbuh bersama napas terakhirnya.
Tubuhnya lunglai, terbaring tak bernyawa.
“Sudah mati,” gumam Kaelric, menyeka darah di sarung tangannya.
Valdrosh mendengus, memandang tubuh lemah itu dengan jijik. “Dia menyusahkan sejak awal. Setidaknya sekarang dia diam.”
“Kalau Duke tahu soal ini ….” Kaelric tampak ragu.
“Tidak akan,” potong Valdrosh datar. “Orion tidak peduli pada hal sepele. Perempuan ini tak lebih dari sampah. Buang saja.”
Mereka mengangkat tubuh Rosella, membungkusnya seadanya, lalu menunggang kuda di bawah hujan deras. Perjalanan sunyi menuju danau utara terasa panjang. Hanya suara tapak kuda, hujan, dan derasnya angin malam.
Di tepi danau berkabut, mereka berhenti.
Tanpa doa, tanpa belas kasihan, tubuh Rosella dilempar ke dalam air.
Byur!
Tubuh itu tenggelam perlahan, gaun lusuhnya mengembang sebentar, lalu ditelan kegelapan. Gelombang kecil merambat ke segala arah, menghilang seolah tak pernah ada yang jatuh.
Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.
Kecuali … waktu.
~oo0oo~
“Hhh—Haaah!”
Rosella terbangun, napasnya tercekik. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia duduk tegak di atas jerami, tangannya mencengkeram lehernya sendiri, matanya liar menatap sekeliling.
Dinding batu lembap. Lantai jerami busuk. Jeruji kayu. Bau besi tua.
Ia meraba wajahnya, perutnya. Utuh. Tanpa luka.
“Tidak mungkin! Ak–aku sudah mati.”
Bisikan itu terhenti ketika air mata jatuh. Ingatan tentang bayi di dalam kandungannya menyayat hati. Ia menunduk, memeluk perutnya. “Anakku ….”
Tangisnya pecah, tapi berbeda. Kali ini bukan hanya kesedihan, melainkan kesadaran baru, ia hidup kembali.
Langkah perlahan membawanya ke celah jendela kecil. Fajar belum tiba. Hanya langit hitam pekat yang menatapnya.
Tahun 1589, di bawah kepemimpinan Kekaisaran Ashgrath. Hari kedua belas.
Hari pertama ia menjadi tawanan.
Rosella menggenggam jeruji kayu. Matanya menyala, bukan lagi kosong, melainkan berisi bara dendam.
“Orion, Valdrosh, Kaelric, Veyrund …,” desisnya lirih, setiap nama bagai kutukan. “Aku akan membuat kalian semua merasakan neraka yang pernah kalian ciptakan untukku.”
Tiba-tiba suara prajurit terdengar mendekat, bersamaan dengan bunyi kunci yang dimasukkan ke dalam lubang.
“Bangun, tawanan! Duke memanggilmu!”
Rosella menoleh. Wajahnya sama, tapi sorot matanya berbeda. Dinginnya menelan ruangan. Ia berdiri perlahan, tanpa tergesa, dan melangkah keluar dengan gaun lusuhnya menyapu lantai batu.
Dalam hatinya, ia berjanji.
‘Aku akan tersenyum di hadapanmu, Orion. Seperti gadis lemah yang kau kira tak berdaya. Dan saat kau lengah … aku akan menghancurkanmu dari dalam.’
Rosella menurut tanpa membantah, pintu besi tertutup di belakangnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak kematian itu, Rosella melangkah dengan tenang, membawa dendam yang kini hidup bersamanya.
Dendam tidak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu untuk bangkit.
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments