Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sisa luka dan rasa dendam
Api luka dan dendam
Sisa-sisa bara masih mengepul dari bekas medan perang pertempuran..
Angin membawa aroma duka, anyir darah dan serpihan harapan yang ikut terbakar bersama jasad-jasad yang tak sempat dikenali....Hanya suara langkah kaki dan hembusan napas berat yang menyertai tiga lelaki yang kini duduk bersandar di balik tebing curam,mencoba menghindar dari pandangan musuh.
Pak Jono meringis menahan luka bekas hantaman benda tumpul di kepalanya.
Sementara Kapten Rahmat menggenggam sebuah tongkat runcing, berjaga jika pasukan dari suku pantai kembali melacak jejak mereka.
Di sebelahnya, Gilang termenung.
Diam ...bukan karena lelah, tapi jiwanya masih bergelut dengan amarah dan kehilangan.
“Kita... Kita tinggal tersia tiga orang!!” gumam Pak Jono lirih, menatap kosong ke arah lembah yang masih membara.
Gilang memutar wajah, sorot matanya tajam,
Lalu berteriak sembari menutupi wajahnya dengan kedua lengannya
“coba saja kita dari awal gak pernah ikut campur urusan orang orang kampung.. Mungkin mereka gak bakal matii.haaaaaaaaaaaaaah.. "
Pak Jono menoleh cepat, matanya membelalak, “Maksud kamu apa?! Kamu pikir kita punya pilihan lain? Kita harus selamat, Gilang!”
“Selamat?” Gilang berdiri, suaranya meninggi. “selamat apanya anjiing? Aldi, Raka, Seno… bahkan Jefri mereka semua mati hangus, anjiiing! Lu tau Hangus? Karena apa?? Karena kita terlalu berharap lebih sama monyet monyet primitive itu...!”
Kapten Rahmat menepuk bahu Gilang, mencoba menenangkan.
“Sudah sudah.. Ini Bukan tentang siapa yang salah. Kita hanya terjebak. Di tempat yang tak kenal ampun.”
Namun Gilang tak menjawab. Ia duduk, menggertakkan gigi, seolah menyimpan dendam bukan pada siapa pun, tapi pada dirinya sendiri.
Malam itu mereka berjalan dalam diam. Bersama beberapa anggota suku hutan yang selamat..
para lelaki tua dan perempuan dewasa yang lolos dari pembantaian.
Mereka tak lagi memikirkan tempat tinggal. Satu-satunya tujuan mereka adalah bertahan.
Di depan, seorang pria tua suku itu yang dipanggil Turei,menunjukkan jalan menuju lembah tersembunyi, konon tempat itu dianggap ‘tanah mati’, lokasi yang dihindari oleh suku pantai karena dipercaya terkutuk.
“Kita hanya akan bertahan di sana sampai mereka berhenti mengejar,”
ujar Turei dalam logat terpotong-potong.
“Lalu kita putuskan... apakah tetap di pulau ini, atau temukan jalan pulang kalian.”
Kapten Rahmat menatap Pak Jono dan Gilang.
Tak ada yang menjawab, tapi tatapan mereka cukup menyiratkan satu hal,mereka masih ingin pulang, meski belum tahu bagaimana caranya.
Beberapa hari berlalu.
Mereka menetap di lembah tersembunyi itu, memanfaatkan gua alami sebagai tempat berlindung. Makanan didapat dari tumbuhan liar, air dari celah batu yang mengucur seperti mata air kecil.
Namun, ketegangan di antara mereka belum juga mereda.
Suatu malam, Gilang duduk di luar gua, menatap langit yang kelabu tanpa bintang. Pak Jono menghampiri, membawa buah hutan dalam kantong daun.
“Gilang,” ucap Pak Jono pelan,
“kita semua berduka.Aku pun kehilangan arah. Tapi... kita nggak bisa terus saling menyalahkan.”
Gilang diam, tak menoleh.
“Kalau kamu ingin marah, marahlah. Tapi jangan lupa, kita masih hidup, Lang. Masih ada kemungkinan pulang.”
Gilang akhirnya bersuara, pelan namun tajam, “semalam saya memimpikan mereka, Pak. Mereka bilang dia nyesel ikut kapal itu. Mereka nyesel kenal saya. Dan saya bangun dengan rasa bersalah yang nggak hilang-hilang.”
Pak Jono terdiam. Kemudian duduk di sebelahnya. “Saya juga bermimpi. Aldi bilang dia ingin pulang. Tapi tubuhnya udah dingin, mukanya gosong. Dia bilang... dia titip ibunya.”
Angin malam mengantar kesunyian. Tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menatap hening.
Sementara itu, di sisi lain lembah, Turei berdiskusi dengan Kapten Rahmat. “Mereka tak akan lama. Suku pantai haus darah, tapi mereka hanya mengejar sampai batas hutan. Setelah itu mereka akan menghilang.”
“Kami butuh cara keluar dari pulau ini,” ujar Kapten Rahmat.
Turei mengangguk,
“Ada satu tempat. Dulu, beberapa orang dari langit seperti kalian datang dan tinggalkan perahu besar di pantai timur. Tapi penuh tanaman dan racun. Tidak semua bisa ke sana.”
Kapten Rahmat terdiam.
“Kita akan coba. Apapun itu. Aku tak akan mati di sini tanpa berjuang.”
Terlihat di kejauhan Gilang yang mulai tenang sedang tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia terlempar dalam ingatan terakhir saat kapal KM Laut Jaya 08 dihantam badai...
Ombak besar seperti monster mengguncang kapal. Kilatan petir menyambar layar radar. Suara alarm darurat meraung-raung. Gilang terhuyung di lorong kapal, mencari pegangan. Jefri di belakangnya berteriak, “Gilang! Ini kapal mau patah!”
Lalu... gelap. Hanya suara air. Dan ketika membuka mata, Gilang sudah terdampar di pantai penuh kabut.
Ia terbangun dengan napas tersengal. Lalu menatap ke arah gua tempat Pak Jono tidur.
“Gua nggak mau mati di sini... kita harus keluar... harus,” gumamnya lirih, seolah menanam tekad baru.
Beberapa hari berlalu setelah peristiwa pertempuran itu terjadi, suasana duka masih menguasai tempat itu , tempat baru jauh dari jangkauan suku pantai, berbeda dari sebelumnya dimana tiap malam selalu terasa nuansa hangat namun sekarang nuansa itu menjadi nuansa kematian...
Awan kelabu menggantung seperti tirai duka yang tak pernah diangkat. Hembusan angin yang tadinya kering dan hangat kini berganti menjadi dingin dan lembap, membawa serta aroma garam laut yang menyengat.
Musim kemarau berakhir dan musim hujan datang dengan wajah muram, menambah gelap lembaran hidup yang sudah porak-poranda.
Dari kejauhan, suara petir menggelegar memecah keheningan sore itu.
Kabut tipis yang semula hanya menyelimuti lembah, kini bergandengan dengan awan mendung dan kilatan kilat.
Di antara sela pohon-pohon basah, hujan rintik mulai turun, perlahan berubah menjadi deras seperti cucuran air dari langit yang tak lagi mengenal belas kasihan.
Pak Jono menarik selimut tipis dari daun lebar yang sudah mulai basah.
Ia memandang ke luar gua, menyaksikan air mengalir dari sela-sela batu, membentuk genangan kecil di tanah.
Di sampingnya, Gilang menggeliat lemah, luka bakar di bahunya mulai perih kembali terkena lembap.
"Musim hujan..."
gumam Kapten Rahmat, suaranya serak.
"Sudah mulai," sahut Turei sambil menaruh seikat daun obat di atas batu datar..
“Musim kematian dan kelahiran... musim di mana langit membuka luka lamanya.”
Sementara itu, jauh di sisi barat pulau, ombak menggulung seperti naga raksasa yang murka.
Di atas kapal besar milik tim SAR, kapten berdiri di sisi anjungan, matanya tajam menembus badai di ufuk.
"Gelombang semakin tinggi, komandan. Dua belas meter dan naik terus," laporan teknisi kapal bergema di dalam radio komunikasi.
“Angin dari barat daya, 30 knot dan meningkat,” sahut yang lain.
“Pantai timur hampir mustahil didekati. Pantai barat pun makin tertutup kabut dan gelombang.”
Santosa mendengus,
“Sudah lima hari kita hanya mengawasi dari jarak aman. Kita tak bisa terus begini!”
Namun gelombang menjawab dengan hempasan keras yang mengguncang kapal. Radar bergetar, sistem peringatan berbunyi terus-menerus.
“Kalau kita nekat, kapal ini bisa karam,”
ujar navigator, serius.
Santosa memukul dinding logam di sampingnya. “bangsaaaaat...!”
Akhirnya, keputusan pahit itu diambil. Dengan pertimbangan cuaca ekstrem, angin barat daya yang mulai berhembus terus-menerus, serta ancaman badai tropis yang mulai membentuk pusaran dari arah Samudra Hindia, kapal SAR harus menarik mundur ke pelabuhan Aceh. Evakuasi korban KM Laut Jaya 08 untuk sementara... dihentikan.
Di lembah tersembunyi, para pengungsi dari sisa-sisa suku duduk mengelilingi api kecil yang nyalanya hampir padam karena hujan.
Hati mereka pun seperti bara...
masih menyala namun hampir padam.
Mereka tahu, saat ini tidak ada harapan dari luar. Mereka harus bertahan, setidaknya sampai badai reda.
Kapten Rahmat berjalan mendekati Pak Jono yang sedang memperbaiki atap darurat dari anyaman ranting.
“Kita tidak bisa mengandalkan siapa-siapa lagi, Pak Jono,".
ucapnya pelan.
“tim SAR pun pasti mundur. Laut tak bersahabat. Angin makin menggila. Kita harus berpikir... mungkin satu-satunya jalan keluar adalah dari darat. Menembus jalur mereka, atau cari tempat tinggi untuk sinyal darurat.”
Pak Jono terdiam. Ia menatap langit yang mengguyurkan hujan tiada henti.
Gilang yang masih duduk di ujung gua akhirnya bersuara,
“Kalau pun ada sinyal, siapa yang akan datang?”
“Setidaknya... kita harus mencoba,”
jawab Kapten Rahmat, tegas.
“Badai seperti ini bisa bertahan berminggu-minggu...”
lirih Gilang.
“Dan aku rasa... pulau ini nggak cuma dilindungi oleh hutan dan suku. Tapi sesuatu yang lebih tua. Lebih gelap.”
Pak Jono menoleh, menatap Gilang lama.
“Apa maksud kamu?”
Gilang menggeleng.
“Entahlah... mimpi burukku makin sering. Seolah tempat ini... tidak menginginkan kita keluar hidup-hidup.”
Tak ada yang menjawab.
Namun di kejauhan, terdengar jeritan burung malam yang tak biasa. Suara yang tak pernah muncul di siang hari, apalagi dalam kondisi badai. Angin kembali menggila, ranting-ranting pohon patah, dan hutan kembali menyuarakan suaranya yang purba.
Pulau itu... memang belum selesai bercerita.
Dan di tengah musim hujan yang mengguyur tanpa henti, mereka bertiga..Kapten Rahmat, Pak Jono, dan Gilang,harus mulai menentukan apakah akan terus bertahan... atau menantang maut sekali lagi demi keluar dari neraka basah bernama Pulau Hantu?
Sementara Gilang duduk termenung di balik tumpukan batu, tubuhnya masih gemetar oleh kelelahan dan rasa kehilangan.
Angin basah yang berembus dari arah barat daya membawa aroma tanah basah bercampur getir, seperti bau kematian yang diam-diam mengendap di antara rimbunnya dedaunan.
Ia kembali teringat mimpinya semalam.
Mimpi yang ia anggap hanya bunga tidur akibat trauma dan rasa bersalah.
Dalam mimpi itu, ia melihat sebuah lembah gelap, penuh bisikan yang tak dapat dimengerti, dan sosok-sosok tak bermata yang mengintai dari balik kabut.
Awalnya Gilang mengabaikan semua itu hingga hari ini, ketika mereka akhirnya menemukan tempat perlindungan sementara di sebuah lembah tersembunyi, jauh dari jangkauan suku pantai.
Namun sesuatu terasa janggal.
Tak ada suara burung.
Tak ada jejak binatang. Tanahnya lembap meski belum diguyur hujan. Dan kabut-kabut tebal itu terus melekat di kaki-kaki pohon bahkan saat matahari sempat muncul sesaat tadi.
"Tempat ini... aneh, Pak,"
gumam Gilang perlahan, menatap Pak Jono yang sedang membuat api unggun kecil untuk menghangatkan luka-luka.
Pak Jono hanya diam, memicingkan mata ke arah bukit, seolah ikut merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Dan saat malam benar-benar turun, mereka mulai mendengar suara itu dari dalam kabut. Suara rintihan.
Suara seperti tangisan... namun terlalu dalam, terlalu tua, seperti berasal dari jiwa yang tertinggal selama ratusan tahun.
Gilang terdiam. Tubuhnya mulai membeku, bukan karena dingin, melainkan karena sadar satu hal
Mimpinya bukan sekadar bunga tidur.
Mimpi itu adalah peringatan.
Dan kini mereka berteduh di lembah yang sama dengan yang ia lihat. Lembah yang rupanya bukan tempat perlindungan...
...melainkan lembah kutukan dan kematian.
> To be continued...